Rindu, Selau Kejadian Lama

Muhammad Alfi Rahman
Chapter #12

Hotel Kucing

Saat kakiku melompat dari dek besi kapal ke ujung anjungan pelabuhan, aku sadar sekarang aku berada sudah berada di Bali. Tempat indah yang penuh dengan tanda tanya. Tempat yang misterius namun juga menyenangkan. Aku datang kesini bukan untuk bersenang-senang. Aku datang untuk mencari sebenarnya apa yang kucari dari dalam diriku sendiri.

Dalam keberangkatanku kali ini, aku hanya membawa tas ransel. Isinya hanya baju-baju ganti, mie instan, dan uang. Iya, aku menaruh sebagian uangku didalam ransel. Aku takut saja jika dompetku dicopet orang dan uang yang kubawa habis semuanya. Bukankah lebih baik seperti ini, aku menyisakan uang di ranselku separuh dari seluruh uang yang kubawa ke Bali. Dalam perjalanan ini pula, sengaja kutinggalkan handphone-ku di Surabaya. Aku tak ingin diganggu oleh siapapun dan mengganggu siapapun dalam perjalanan ini.

Saat aku berdiri di pelataran pelabuhan Gilimanuk, aku disambut bus jurusan Terminal Mengwi. Aku naik bus itu dan jika nanti sudah sampai di Terminal Mengwi, aku akan naik mikrolet jurusan Ubud. Saat kakiku menaiki bus, kulihat tak begitu banyak orang didalam. Beberapa kursi masih terlihat lengang dan kosong. Seperti kursi yang kududuki ini, aku duduk sendiri sambil menikmati indahnya pemandangan Pulau Bali. Jujur, ini kali pertama aku datang ke pulau ini. Sebelumnya, aku tak pernah datang kesini. Hanya karena buku yang menceritakan sejarah Bali itulah, aku jadi ingin kesini.

Kau tahu, penulis buku itu adalah orang Polandia. Dia diajak kesini oleh Walter Spies, sambil menikmati hawa sejuk Ubud dan kehangatan aroma bunga disekitarnya. Katanya, Ubud sangat indah. Banyak orang yang datang dan pergi kesana, untuk menikmati alam yang sepertinya tidak mereka miliki di negaranya sana. Di Eropa sana, tidak ada pohon kelapa menyiur dengan hutan tropis dan bebatuan penuh lumut dan hamparan sawah padi sejauh mata memandang. Tapi mereka memiliki salju, hal yang diidam-idamkan banyak sekali orang di Indonesia.

Aku ingat, aku ingin sekali tahu bagaimana rasanya salju itu. Kata temanku, salju itu seperti es krim. Tentu menyenangkan jika aku bisa memakan es krim yang terhampar di padang sejauh mata memandang. Ya, aku ingin sekali bermain salju. Sebenarnya, Indonesia memiliki salju juga. Tapi tempatnya jauh di Papua sana. Aku menganggap Papua jauh karena aku memang tidak familiar dengan mereka. Aku malah merasa lebih dekat Jepang dan Korea daripada Papua. Itu terjadi karena teman-temanku membicarakannya setiap hari. Entah Anime, Drama Korea, banyak hal yang dibicarakan. Sedangkan Papua, aku tak mengerti, rasanya sangat jauh bagiku.

Tidak semua tempat di Papua ada saljunya. Hanya dua titik tempat di Papua yang memiliki salju. Pertama adalah Puncak Sudirman kedua adalah Puncak Jayawijaya. Saat aku membaca itu, aku sedikit merasa aneh. Kenapa nama kedua puncak itu nama dengan bahasa jawa, bukankah itu berada di Papua. Tapi entahlah, aku juga tak tahu mengapa. Buku itu tidak menjelaskan detail tentang kedua puncak gunung bersalju itu. Nyatanya, kedua puncak itu memang punya salju dan terlalu susah bagiku untuk bisa kesana. Itu terlalu tinggi dan jauh dari angan-angan, karena letaknya berada di ketinggian hampir 5000 meter diatas permukaan laut.

Lama melamun dan mengayal saat menaiki bus, akhirnya bus sampai juga di Terminal Mengwi. Aku langsung mencari mikrolet jurusan Ubud dan menaikinya. Saat aku naik, beberapa ibu-ibu berpakaian kebaya khas bali sudah duduk didalam mikrolet. Mereka orang asli Bali, mereka ramah tersenyum menyapaku saat aku naik mikrolet ini. Tak menunggu lama setelah duduk, supir mikrolet datang dan mikrolet ini berangkat langsung ke Ubud.

Ubud berada diatas pegunungan, jalanannya menanjak dan disana seringkali mendung. Setidaknya itu informasi yang kudapatkan dari ibu-ibu yang duduk disampingku. Mereka adalah orang Bali desa, rumah mereka masih terus naik keatas gunung saat nanti aku turun di Ubud. Menurut mereka, Bali adalah tempat yang ramah, tapi sepertinya itu berganti setelah beberapa tahun kemarin.

Itu adalah kejadian ledakan bom di Bali yang menghancurkan sebuah pub di wilayah Kuta Bali. Mayoritas korbannya adalah orang luar negeri. Kata ibu disampingku, semua orang di Bali shock dan geram. Semua orang tidak ada yang menyangka jika hal ini terjadi di tanah Bali.

"Kami tahu bagaimana terorisme itu membuat geram, kami tahu," kata ibu itu. "Kami bukannya takut, tapi kami marah."

Aku mengangguk-angguk mendengarkan penjelasan ibu sambil duduk bergoyang-goyang diantara mikrolet ini. Mungkin yang dikatakan buku yang kubaca itu benar, orang-orang Bali adalah orang-orang yang tidak mengenal takut. Seharusnya aku begitu, seharusnya. Siapa tahu darisini nanti aku bisa mencari motivasi kuat dalam hidupku nanti.

"Rencananya berapa hari disini?," tanya ibu disampingku.

"Ya, mungkin hanya seminggu," kataku.

"Ya, tidak mengapa. Ada saudara disini?," tanyanya.

"Tidak. Tidak ada, aku hanya mengembara saja."

"Memang nanti kau akan tidur dimana saat di Ubud?" tanya ibu itu.

"Saya tidak tahu. Sepertinya saya akan mencari penginapan yang murah-murah saja."

"Oh, pergilah ke belakang Hotel Samudera. Disana ada penginapan murah," katanya.

"Oh, dibelakangnya?"

"Iya, jangan di hotel samuderanya. Itu mahal, tapi dibelakangnya. Hotel Kucing," katanya.

"Baiklah bu, terimakasih banyak," kataku.

Mikrolet akhirnya sampai juga di Hotel Samudera, aku turun dan melambaikan tanganku pada ibu-ibu tadi. Mikrolet pergi meninggalkanku ditengah-tengah jalan raya, tepat didepan sebuah hotel besar dengan gedung tinggi dengan lima lantai. Didepannya, lalu lalang orang-orang luar negeri berjalan kaki menghiasi pelataran hotel ini. Orang berkulit putih memakai pakaian tipis-tipis dan celana seksi berkeliaran di sekitar Ubud sini. Tapi yang kucari bukan itu disini, aku mencari nama hotel kecil yang disarankan ibu-ibu tadi. Seorang satpam sedang duduk-duduk malas di dalam pos kecil depan Hotel Samudera, sepertinya tahu dimana hotel yang kucari berada.

"Pak tahu hotel kucing?," tanyaku.

"Oh, berjalanlah turun, nanti ada gang disamping hotel. Lalu masuklah, hotel itu ada disana," katanya dengan duduk dengan masih memandangi jalanan.

Lihat selengkapnya