Saat berada di Bali, aku selalu menanyai diriku dengan kata mengapa. Mengapa aku menjadi begini dan mengapa semua yang ada di sekitarku menjadi terasa sangat berbeda. Pertanyaan itu selalu mengiang-ngiang di dalam kepalaku, juga di dalam hatiku. Aku selalu bertanya-bertanya, dan tidak ada jawaban yang bisa memuaskanku. Semua orang terasa jauh, aku tidak bisa percaya pada siapapun lagi. Termasuk kepada diriku sendiri.
Disini, aku tidak melakukan banyak hal. Saat pagi hari bangun tidur di Hotel Kucing, aku berjalan-jalan keluar hotel sambil menghirup udara dalam-dalam. Berjalan-jalan disekitaran hotel, lalu kembali lagi. Duduk-duduk terdiam, kadang juga membaca buku. Hotel ini memiliki banyak buku, buku luar terutama. Para tamu yang tinggal disini memang sengaja meninggalkannya. Agar tamu-tamu lain seperti aku bisa membacanya.
Tak banyak juga buku yang bisa kubaca, hanya beberapa saja. Itu karena kemampuan otakku yang sulit memahami isinya. Itupun tentang filsafat. Hal yang membuatku ngantuk saat membacanya. Tapi entah mengapa, ada desakan dari dalam diriku untuk terus membacanya. Jadi, aku terus saja membacanya, meskipun aku sendiri tidak tahu apa yang sebenarnya dibicarkan dalam buku ini.
Yah, kupikir Bali memang indah, tetapi hatiku tetap saja keras seperti batu. Aku tetap keras kepala. Perasaan marah terus menerus meraba-raba tubuhku. Dadaku seperti terbakar, penuh dengan bara api. Tetapi aku sendiri tidak tahu apa yang membuatku marah, dan dengan siapa sebenarnya aku marah. Saat aku marah seperti ini, aku biasanya pergi jalan-jalan berkeliling hutan disekitar sini. Mendengar nyanyian alam dan menenangkan hatiku.
Saat aku kembali lagi ke hotel setelah berjalan-jalan dari hutan, kubuka pintu kamarku. Kamar kecil dengan dua kasur tingkat ini, sejatinya bisa diisi oleh empat orang. Tetapi karena hotelnya sepi, jadi hanya aku saja yang tidur disini setiap malam. Barusaja kubuka pintu kamarku, penjaga hotel tiba-tiba datang menghampiriku sambil membawa sapu. Sepertinya, ia barusaja menyapu bagian belakang hotel ini.
"Ayo minum kopi," katanya.
"Boleh pak," jawabku.
Daripada aku diam saja di dalam kamar, alangkah baiknya jika aku ikuti langkah pak penjaga ini. Pak penjaga ini tak begitu tua, usianya 40an. Ia bekerja disini sejak ia berumur 18 tahun. Setelah lulus SMA, ia langsung bekerja. Namanya Ketut, ia memintaku untuk memanggilnya Pak Ketut. Dengan logat Balinya yang kental, ia memintaku duduk di lobi depan. Aku duduk di lobi depan, dengan cangkir kosong yang dituangi kopi oleh Pak Ketut.
"Kau akan pulang?" kata Pak Ketut.
"Sepertinya iya, aku ingin pulang."
"Masih ada dua malam lagi, kau mau kemana?" tanya Pak Ketut.
"Sepertinya ya disini saja."
"Ya, apa tidak rugi jika datang ke Bali cuma ke hotel tua seperti ini?" tanya Pak Ketut dengan mengangkat cangkirnya.
"Ya tidak juga. Setidaknya aku sudah tenang," kataku.
"Kau sudah menemukan apa yang kau cari di Bali?" tanyanya.
"Entahlah."