"Bang?"
"Abang, ngak apa-apa. Abang harap kamu jaga rahasia ini, Sab"
Cemas tergurat dari wajah Sabrina, adik satu-satunya Andaru.
Pucat wajahnya mungkin terasa capek dan lelah seharian Andaru menerima banyak tamu datang memberikan selamat dan doa atas pernikahannya.
"Tapi Bang? Abang lagi sakit. Abang ngak bisa diam dan sembunyiin sakit dari Naila,"
"Abang baik-baik aja. Kamu tenang aja, Sab"
Cemas dan khawatir kian tergurat dua tangan Sabrina memapah jalan Andaru masih saja berusaha senyum pada tamu-tamu baru saja keluar masuk dari dalam toilet. Lorong kecil memang terlihat padat dengan tamu undangan, kelihatan masih antai sebagian tamu didepan pintu masuk toilet dalam hotel dimana Andaru sedang melaksanakan resefsi pernikahannya dengan Naila.
Setelan jas putih, dalaman kemeja putih serta sepasang sepatu pantofel putih membuat terlihat dia tampak tampan sekali, tapi tetap saja wajah pucatnya kentara jelas terlihat. Sekali jemari kirinya mengendorkan lilitan dasi biru tua, serasa sedikit tidak terlalu menyekek lehernya.
"Bang!" sontak dua tangan Sabrina merangkul bahu kiri-kanan bahu Andaru hampir terjatuh.
Makin lemas dan pucat dirasa Andaru, seakan dia tidak ingin merusak kebahagian yang sebentar lagi akan di rasakannya.
"Bang?" makin bingung Sabrina kenapa Abangnya tidak masuk kedalam ballroom.
Sesaat wajah bingung Sabrina menoleh kearah pintu masuk ballroom, sudah tidak banyak terlihat tamu lagi keluar masuk. Rada ribet juga drees panjang warna salem, terbalut hijab senada warnanya yang di kenakan Sabrina malam itu, hampir saja ujung dressnya terserimpet ketika ujung sepatu hak tinggi warna merah tua menginjaknya.
"Sabrina ..."
Panggilan terdengar dari Syla sempat Sabrina menoleh kebelakang, tapi dia malahan mengejar Andaru berjalan.
Naila begitu cantik sekali terlilhat malam itu, gaun pengantin putih banyak untaian aneka warna-warna bunga menyelimuti. Tiara beruntai banyak pernak-pernik berkiliau batu permata menjadikan dia malam itu bagai ratu sejagat yang di kelilingi aneka warna bunga.
Lirikan Naila pada Syla, adiknya agar dia mengejar Andaru karena keluarga besarnya ingin pamitan segera pulang. Syla berlari pelan hanya mengangguk, sedangkan Naila masih harus menyalami keluarga besarnya yang akan segera pulang.
View city terlihat dari balkon hotel ternama di kota Jakarta beratap langit gelap malam dengan berselimut serpihan awan-awan kelabu menyamari keindahan sinar cahaya rembulan malam. Kedipan jutaan mata kecil bintang seraya mengajak riang semesta mega malam, namun kenapa tersimpan kesedihan panjang tersimpan rapi sekali
Dua tangan erat sekali berpegangan pada besi stantiles balkon, seraya ada rasa ketakutan yang bakalan malam itu sungguh terjadi. Sinar cahaya rembulan malam seraya ikut sendu menyinari wajah tampan Andaru masih terbalut pucat, tersenyum dia menoleh pada adiknya terlihat cantik tapi ada ketidak yakinan pada raut wajahnya.
"Mungkin ini jadi malam pertama Abang dan malam terakhir Abang, Sabrina."
Makin erat dua tangan mencengkram besi stanlies peyangga balkon pintu kamar di biarkan saja terbuka lebar, seraya dia tidak ingin pergi selamanya.
Tidak jadi langkah Syla akan mendekati, padahal dia sudah berdiri diantara balik pintu kamar hotel terbentang view city. Syla kentara jelas mendengar ungkapan kesedihan hati baru saja di utarakan Abang Iparnya itu. Dress warna sama yang dipakai Sabrina malam itu, serasa membawa dia kejurang keprihatinan bakalan diderita Naila, Kakaknya.