Aku tak pernah mengenal Ibu. Bagiku Ayah adalah keduanya; Ayah sekaligus Ibu. Wajah wanita itu hanya kulihat sekali. Di foto pernikahan yang tergantung di kamar Ayah, yang sejak SMA, kuminta Ayah untuk tidak meletakkannya lagi di sana.
Ibuku tidak meninggal saat melahirkanku. Saat ini dia masih hidup. Aku tahu Ayah sesekali masih berjumpa dengannya. Aku tak pernah mau ikut. Apakah Ibu meninggalkan Ayah, bercerai, atau ada situasi khusus? Aku tak tahu.
Usia 3 Tahun.
Ini adalah petualangan pertama dan terjauhku bersama Ayah. Ayah mengajakku ke Jakarta. Naik pesawat dan telingaku disumbat kapas. Kata Ayah, “Supaya tidak sakit.”
Aku dibawa ke Ancol dan main apa saja yang aku mau. Terpekik-pekik aku dibuatnya ketika seakan mau jatuh. Paling lucu yang aku ingat, Ayah terpaksa membawaku ke toilet laki-laki karena tidak mungkin Ayah menemaniku di toilet wanita. Wajah Ayah tampak panik sekaligus malu waktu itu.
Dan, paling seru ialah ketika bermain arung jeram. Kapalnya aneh. Terbuat dari plastik dan bundar seperti donat, tapi tidak bolong di tengahnya. Sewaktu naik, badanku masih kering. Ketika turun sudah basah semua.
Dan, tidak ada Ibu.
Usia 5 tahun.
“Cantiknya Ayah mana? Sini, sini, Ayah pasangin baju.” Kemudian, aku menggenggam rambut hitam Ayah yang sudah jongkok di depanku. Sehingga tubuhku leluasa dan seimbang untuk memasukkan kedua kaki ke dalam rok sekolah.
“Pinteeer.” Ayah mencium pipiku. “Sekarang sepatunya, ya, Cantik.”
Mataku masih mengantuk. Namun, tiap kali Ayah mengatakan aku cantik, makin terkumpul nyawaku, makin hilang kantukku.
Ayah mencemongkan bedak di wajahku. Kadang rata, seringnya berantakan. Ayah melakukan semuanya, mulai dari memandikanku, menyiapkan sarapan, hingga mengantarkanku ke TK. Di gerbang TK, Ayah melepasku dengan senyum dan lambaian tangan.
Teman-temanku kebanyakan diantar oleh Ibu mereka. Atau, oleh kedua orangtuanya. Tapi, aku tak pernah sedih karena ayahku adalah Ayah sekaligus Ibu bagiku. Lebih dari itu, Ayah selalu membelikanku dua permen gulali. Sedangkan yang lain, ada yang hanya dibelikan satu, ada yang tidak dibelikan sama sekali. Jadi, biarlah mereka diantar Ibu mereka, tapi mereka tidak dapat gulali. Ayahku paling hebat pokoknya.
Nanti begitu jam pulang, Ayah akan mengajakku berkeliling kota kecil kami. Naik angkot yang hanya ada empat kali sehari dengan rute kota kecil ini bolak balik ke desaku.
Dan, tidak ada Ibu.
Usia 7 Tahun.
Ini pertama kali Ayah mengajakku ke bioskop. Aku takjub luar biasa melihat layar televisi begitu besar. Sejak saat itu, aku suka film kartun yang bercerita tentang tuan putri. Aku menjadi tuan putri, di mana Ayah adalah rajanya. Kami tak memiliki ratu.
Sepulangnya kami, Ayah langsung membuatkanku gaun dari bahan-bahan alam. Bukan gaun sutra dan permata, melainkan dedaunan dan batok kelapa yang membalut badanku. Sudah seperti tuan putri kerajaan rimba.
Sesekali Ayah membawaku duduk di dahan pohon menunjuk Bukit Barisan sambil berkisah apa saja yang Ayah ingin ceritakan. Sore hari, jika itu hari Minggu, Ayah akan membawaku naik bianglala di pasar malam. Aku adalah tuan putri bagi Ayah di kerajaan kecil kami.
Dan, tidak ada Ibu.
Usia 16 Tahun.
Aku mulai suka membaca novel. Sebulan aku bisa menamatkan dua hingga tiga novel. Aku meminjamnya di perpustakaan sekolah, pada teman, atau di tempat persewaaan buku dekat pasar. Sehari dua ratus rupiah biaya pinjamnya. Aku tak pernah lebih dari lima hari menyewa sebuah novel. Lebih dari seribu sudah mahal rasanya. Juga karena aku begitu cepat menamatkannya.
Beberapa blok dari penyewaan buku itu, ada rental internet. Masa SMA juga menjadi masa pertama kali aku mengenal internet. Sekotak layar membuatku tenggelam dalam dunia mahalebar. Tak terbayangkan akan ada selain buku yang membuatku terbang bersama banyak hal.