Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan sejarah. —Pramoedya Ananta Toer
Semenjak aku kecil, aku terbiasa menulis diary. Ibuku yang menanamkan kebiasaan itu kepadaku, bahkan juga Gilang. Aku memiliki setumpukan buku diary di dalam lemari, dari zaman SD hingga SMA. Aku juga punya blog yang kuisi semenjak SMP dan kutaruh di biodata Instagram dan Facebook-ku. Aku memilah-milih beberapa diary. Jemariku memilih diary dari zaman SMP. Aku tersenyum membacanya sambil berbaring di kasur. Ponsel di mejaku bergetar. Aku segera bangkit. ALHIKMAH LULU. Lulu? Menelepon? “Halo?” tanyaku heran. “Rin, Thifa sakit!” “Sakit apa?” Aku terkesiap. Sudah lama, sejak tidak ada kabar Thifa yang masuk rumah sakit. Kukira itu sebuah pertanda akan kemajuan kesehatan tubuhnya. “Gagal ginjal, Rin.” “Demi Allah?”
“Iya, kata Tyas.” Tyas, adik Thifa.
Astaga ... hatiku mencelus. Memang, aku jarang membuka update Instagram teman-temanku. Harusnya, aku enggak menganggapnya tidak penting begitu.
Aku memutuskan untuk membesuk Thifa di rumah sakit besok. Sudah lama juga aku tidak bertemu teman-teman pesantrenku.
***
Aku datang paling akhir, pun tadi masuk dengan berjingkat-jingkat. Padahal, biasanya selalu yang pertama. Namun, Afifah, Inggrid, dan Annur masih selalu bisa mendahuluiku, seperti di Alhikmah dulu.
Saat melihatku, ketiga temanku menatapku seolah ingin menerkamku. Lalu, Annur menghampiriku dan langsung memegang lenganku. Aku meringis tanpa suara.
“Ini anak!” bisik Annur, dengan suara cemprengnya.
“Masiiih aja!!!”
Kami berpelukan hangat. Kangennya bukan main. Ketiga temanku masih seperti dulu, malah semakin bersinar.
“Heh, Ririn, apa gue perlu pinjemin kerudung Thifa?” Inggrid mencibir.
Aku tersenyum, sedangkan teman-temanku menyoraki. Tiba-tiba, Thifa membuka mata. Dia sontak menatapku. Pada bola matanya ada keterkejutan bercampur kebahagiaan. Mulutnya membuka. Hatiku mencelus, dan tahu-tahu aku ingin menangis.
“Ririn?” sahutnya lemah. Aku menghambur dan memeluk Thifa. Dia sendiri tampak terharu.
“Duh, sori, ya, Thif, aku baru sampai. Keduluan sama mereka malah. Eh, ibumu ke mana?”
“Ke kantin. Biar istirahat dulu.”
Sore itu, luar biasa hangat. Tidak pernah terpikirkan kami dapat berkumpul lagi. Inggrid sampai naik bus dari Tangerang dan Annur dari Pandeglang. Aku mencium lagi aroma badan mereka yang khas. Masih sama.
“Kalian besok enggak sekolah?”
“Gue pulang malem ini, Rin, Annur juga.”
“Lho, kalian pulang sekarang aja, jangan malammalam!” seru Thifa.
“Heh, ngusir lo? Orang kita yang mau, kok! Wlee.” Inggrid menimpali sambil tertawa.