Tahukah kamu, bagaimana rasanya melihat langit yang ditumpahkan padanya entah berapa banyak bintang? Dan, mereka benderang tanpa ragu membuat sekujur tubuhmu gemetar? Terlalu indah. Bahkan, bertahun-tahun setelahnya, ketika kuingat kilasan langit malam itu, sensasinya masih sama. Itulah langit yang kusaksikan ketika berkemah di Gunung Gede. Langit yang menjadi latar belakang sosok Hatta. Sementara, langit Nanjing biasanya berupa kubah merah bersemburat ungu yang tiada berbintang. Menaramenara, dengan lampu neon noraknya, berlomba mewarnai langit malam menjadi merah, menenggelamkan cahaya bintang yang malu-malu. Belum lagi, billboard besar dengan lampu-lampu yang terlihat dari stadion kampusku. Berkali-kali, aku tertipu mengira pendar cahaya nan terang merupakan bintang, ternyata hanya layang-layang berlampu.
Ya, walaupun langit Nanjing di malam hari amatlah tidak elok, kota ini masihlah menyimpan begitu banyak keindahan—asalkan bukan langitnya saja.
Namun, hari ini, aku menyaksikan pemandangan paling indah di Nanjing. Deretan pepohonan dengan dedaunan yang menghalangi langit—dalam warna paling indah yang pernah aku lihat. Moka. Sungguh mengheningkan segala suara, pemandangan itu.