SEPULUH tahun yang lalu, Nedir Aras mendapatkan tamparan pertamanya. Tak ada satu pun kasus yang sedang ditangani oleh Mirac Aras. Pada bulan-bulan sebelumnya, ia telah menuai kemenangan dari perkara yang sengaja dibuat untuk mengangkat popularitas seseorang yang menjadi terdakwa. Tamparan di pipi anak ketiganya tak mendatangkan rasa sesal. Nedir Aras naik pitam. Kedua tangannya tak bisa membalas tamparan yang dilayangkan oleh ayahnya. Ia tak mempertanyakan tentang sebab. Mirac Aras memanggil anak pertamanya yang dijadikannya sebagai pembanding. Bahwa ia tak hanya anak yang berbakat. Tapi juga taat, patuh, dan tidak menghadirkan panutan lain dalam hidup selain ayahnya sendiri.
"Ia mengikuti setiap kata yang kuucapkan. Ia membaca buku-bukuku. Hanya bukuku," Mirac Aras membelakanginya. Menghadapi tumpukan buku tentang hukum yang telah ia tulis selama hidup. Anak pertamanya yang memiliki wajah paling bersih dan postur tubuh yang sangat membanggakan, berdiri di antara kerah kemeja yang tegak di samping leher yang tak pernah berdaki. Aroma parfum khas lelaki mengingatkan siapa pun pada kesegaran hutan hujan yang memiliki akar pohon, juga batang yang tak pernah kering, tercium hingga jarak terjauh dari pintu masuk ruang kerja yang memiliki pendingin ruangan. Mirac Aras tidak berbohong. Sejak kecil, anak pertamanya selalu melihat ke arah matanya setiap kali ia memintanya untuk duduk demi menyimak kata-kata. Ratusan piagam yang pernah diraihnya, ia letakkan di atas meja kerja. Tidak sekaligus. Karena jumlahnya yang banyak, ia meletakkan beberapa saja. Anak pertamanya yang memiliki rambut halus, rapi, dan garis lurus di samping kanan, baru saja memasuki usia tujuh tahun. Mirac Aras menceritakan dengan sangat lengkap, setiap cerita yang mewakili lembaran piagam. "Saat itu, aku masih berusia dua puluh empat. Mereka tak hanya mengundangku sebagai seseorang yang duduk di bangku pengamat dan pendengar. Mereka memintaku untuk berbicara," kemudian dua jam waktu yang berlalu akan terlalui begitu saja. Anak pertamanya akan melontarkan pertanyaan untuk hal yang tak ia mengerti. Hal yang membutuhkan konfirmasi. Mirac Aras dengan semangat penuh, akan menjelaskan dengan memutar ulang cerita. Bagaikan menyimak ulasan sepak bola di layar kaca, anak pertamanya menyimaknya dengan tanpa melewatkan satu pun kata. Seusainya, anak pertamanya itu turut membantu ayahnya merapikan lembaran piagam penghargaan. Setiap lembar memiliki lapisan pelindung sendiri. Pun ruang untuknya menyimpan. Jumlahnya lebih dari satu album.
"Baba, bolehkah aku memasuki kamarku untuk belajar?" tanyanya.
"Tentu saja boleh, anakku sayang," Mirac Aras mencium kepala anak pertama sambil mengusapnya dengan penuh cinta. Mirac Aras mengantarkan puteranya ke depan pintu kamar kemudian membiarkannya berkutat dengan buku. Ia memiliki lemari buku yang tak hanya lebar.