PADA detik berikutnya dari segala jenis suara yang mampu masuk ke dalam telinga, Zehra Hakan mendengar ledakan yang memekakan telinga. Cahaya hilang seketika dari wajah. Gelap merayapi seluruh bagian dari dinding yang bisa dijangkaunya. Dentuman itu terdengar tiga kali sebelum akhirnya reruntuhan yang lebih terdengar seperti bebatuan berlompatan hingga ke jalan. Ke halaman apartemen tempat lelaki itu tinggal. Dari arah luar pintu, terdengar panggilan dari istri lelaki itu. Ia memanggil kedua anaknya untuk segera menghampiri pintu yang dikunci.
Zehra Hakan meraba dinding dan tanpa sengaja menjatuhkan benda. Lampu, pigura, atau tas. Zehra Hakan tiba di pintu ketika istri lelaki itu telah berhasil memastikan kedua anaknya dalam keadaan baik-baik saja. Pintu itu masih dikunci oleh istri lelaki itu. Zehra Hakan mengetuknya. Istri lelaki itu dapat mendengarnya. Pun kedua anak yang sedang dipeluknya. Reruntuhan berikutnya terdengar. Suaranya diikuti oleh getaran yang membuat Zehra Hakan harus berpegangan pada dinding dan benda-benda yang bisa diraihnya. Tak lama kemudian, istri lelaki itu membuka pintu itu tanpa mempertanyakan. Mereka terbatuk karena debu yang tiba dari sela-sela jendela yang dibuka oleh anak pertamanya.
Zehra Hakan mengikuti punggung istri lelaki itu untuk melihat peristiwa yang telah terjadi. Sebuah gedung yang semula berdiri kokoh tak jauh dari apartemen tempatnya tinggal, telah menjadi puing-puing. Orang-orang yang semula tinggal dalam gedung itu berlarian dari reruntuhan. Air mata mereka menggenang. Namun, hal itu tidak membuat tangisan mereka terdengar. Mereka telah terbiasa dengan itu. Mendengar setiap puing yang jatuh bagaikan melihat arakan awan di langit yang lebih sering ditinggali oleh burung-burung pembawa kabar.
Dinding-dinding yang semula menjadi pemisah antara setiap ruang tempat mereka tinggal dan menahan sekuat tenaga agar tak mengeluarkan sedikit pun suara. Pada waktunya, tiba juga pada akhir waktu. Mereka yang terlelap, ikut tertimpa reruntuhan. Menyatu bersama kabel-kabel yang menghubungkan setiap tiang, setiap atap rumah, dan beberapa jendela yang tertutup rapat. Zehra Hakan dengan jemari bergetar, pernah melihat hal yang sama ketika salah satu di antara gedung di gecekondu telah memasuki masa tua. Saat paling tepat untuk kembali, rata, sejajar dengan tanah dan jalan yang menjadi pijakan kaki orang-orang.
Walau kadang, ada saja gedung-gedung yang kemudian diruntuhkan meski belum memasuki usia paling tepat untuk jatuh. Seperti biasa, orang-orang yang semula tinggal dan telah memiliki kemampuan untuk menebak dengan baik, akan mengangkat segala jenis benda yang telah dirapikan. Koper-koper dan tas berisi dokumen-dokumen berharga seperti sertifikat dan ijazah, satu tas berisi pakaian, serta bahan makanan yang bisa tahan lama meskipun tidak disimpan di dalam lemari pendingin. Mereka yang tidak tahu-menahu dengan jadwal, akan membawa pakaian yang melekat pada tubuh. Sejenak melupakan lembaran uang yang tersimpan dalam salah satu bagian yang kini tak terlihat lagi. Sekitar dua atau tiga jam, orang-orang yang memiliki keberuntungan karena reruntuhan itu tidak membuatnya mati, akan mencari tempat untuk sekadar menunggu orang-orang seperti petugas pekerja sosial yang akan membawanya ke tempat penampungan sementara untuk kembali bekerja.
Satu atau lima orang dari mereka yang beruntung, akan menempuh jalan sendiri-sendiri. Mereka yang pantang menjadi pengemis, akan melakukan berbagai jenis pekerjaan demi mendapatkan tempat untuk melanjutkan hidup. Sebagian dari orang-orang yang telah kehilangan segalanya sebelum gedung itu diruntuhkan, memilih untuk melajukan langkah kaki ke laut terdekat. Ke genangan biru yang memiliki kedalaman lebih dari seratus sepuluh meter. Istri lelaki itu segera menutup jendela. Mereka menunggu di atas sofa. Menunggu hingga listrik menyalakan lampu-lampu rumah.
Kegelapan yang sama menyelimuti seisi pabrik. Suara barisan langkah kaki bersepatu, terdengar memasuki lorong-lorong. Petugas itu memakai celana dan sepatu yang sama. Di tangan mereka, terdapat senter yang sinarnya bertemu dengan dinding-dinding pabrik yang beku dan dingin karena Januari hampir memasuki minggu pertama Februari. Petugas-petugas itu memastikan setiap pintu telah terkunci. Tak ada satu pun dari salah satu pegawai pabrik kain Nedir Aras yang menyelinap ke dalamnya karena suatu sebab. Bulatan cahaya memendar dari ujung lorong. Cahaya itu mengenai wajah salah satu petugas pemegang kunci. Ia baru saja berusaha menyalakan mesin generator untuk mengembalikan cahaya lampu di seluruh ruangan. Karena tak berhasil, petugas itu mencari cara lain. Ia bersama petugas-petugas pembawa kunci menuruni tangga yang biasanya dilalui oleh Nedir Aras. Suara sepatu itu semakin terdengar jelas, menggema setiap batu yang menempel menjadi dinding dan lantai. Salah satu petugas yang sangat mengetahui setiap kegiatan Nedir Aras, menuju satu ruangan yang pernah dijadikan ruang tempat menyiksa istrinya.