Rintik dan Rincik di Istanbul

Eka Retnosari
Chapter #14

HOŞ GELDiNiZ (SELAMAT DATANG) VII

Malam itu, sepulang dari pabrik kain yang tak pernah menjadi topik bahasan saat tiba di rumah, Nedir Aras yang tiba lebih dulu daripada Zehra Hakan, mengajak istrinya ke luar rumah. Sebelumnya, ketika Zehra Hakan membuka pintu rumah, ia terkejut mendapati suaminya telah tiba lebih dulu.  

Satu hari yang tidak pernah terjadi pada seumur hidupnya. Nedir Aras sedang duduk di ruang keluarga, di atas karpet yang telah ia bersihkan pada pagi pukul delapan. Di kanan dan kiri, Selim dan Ehsan sedang mengeluarkan berbagai jenis mainan yang ada dalam kotak mainan. Nedir Aras tidak bertanya, dari manakah ia. Zehra Hakan menjelaskan tentang pesan sekretarisnya dan pengisi daya telepon genggamnya. Di salah satu meja berisi gelas dan cangkir hadiah dari ibu dan ayahnya, terdapat telepon genggam milik Nedir Aras dalam keadaan mati. Perlu waktu beberapa saat hingga ia menyadari bahwa ia telah melakukan kesalahan.   

 “Selim, Ehsan, bermainlah di kamar,” Nedir Aras menggendong Ehsan dan menggandeng Selim. Tak lupa, ia memerintahkan Selim untuk membawa mainan-mainan kesayangan.  

 “Kau akan pergi ke mana, Baba?” tanya Selim. Nedir Aras tidak menjawab. Ia berkata, “Masuklah,” setelahnya, ia mengunci pintu kamar Selim dan Ehsan. Dengan kepala dan pandangan yang tertunduk, ia menarik sikut Zehra Hakan yang belum meletakkan keranjang berisi roti isi dan pengisi daya telepon genggam Nedir Aras. Di samping pintu keluar, ia meraih jaket dan syal abu-abu. Zehra Hakan bertanya, akan ke manakah. Nedir Aras tidak bersuara. Tak lupa, ia mengunci pintu rumah sebanyak dua kali kemudian memasukkan kunci ke dalam saku jaket. Zehra Hakan mengikuti dari belakang dengan dada berdebar.   

 “Masuk!” perintahnya kepada Zehra Hakan untuk segera memasuki mobil yang terparkir di depan pintu apartemen lima lantai yang dua pintu di dalamnya berisi kekosongan. Ruas jalan di sepanjang jalan yang membentang antara jalan utama dan supermarket di ujung jalan yang lain tak menyisakan sedikit pun pejalan. Bus yang membawa Zehra Hakan dari Eminönü, telah menurunkannya di pemberhentian yang berjarak lima meter tak jauh dari supermarket yang malam itu masih menggantungkan kata açık. Buka. Sisa perjalanan ditempuhnya dengan berjalan kaki. Beruntung bahwa ia tak pernah berminat untuk memakai sepatu dengan hak lebih tinggi dari satu sentimeter.   

 Zehra Hakan telah duduk di kursi depan mobil ketika Nedir Aras menyalakan mesin. Masih dengan kepala dan mata yang tertunduk. Sekilas, diliriknya keranjang yang belum juga diletakkan. Parau ia bertanya kepada Nedir Aras, “Kita akan pergi ke mana?” yang bertukar dengan kesunyian.   

 “Apakah aku telah melakukan kesalahan?” tanyanya lagi yang bertukar dengan kesunyian. Mobil yang dikendarai Nedir Aras telah melaju. Pelan, dilewatinya supermarket yang tak lagi menjajakan buah dan sayur. Ia melaju ke arah Selat Bosphorus yang terlihat lebih tenang pada malam sekitar pukul sepuluh. Nedir Aras tak sedikit pun menoleh ke arah Zehra Hakan yang sedang menghitung-itung setiap peristiwa yang terjadi pada hari itu. Ia mencari pertemuan antara dirinya dengan Nedir Aras dan mengenang kata terakhir yang diucapkannya pada pagi hari.   

Lihat selengkapnya