Satu hari seusai pernikahannya dengan Zehra Hakan, Mirac Aras yang ketika itu telah kehilangan kemampuan untuk menghitung jumlah uang yang dimilikinya, mengadakan pertemuan yang tidak dihadiri oleh satu pun anggota keluarga. Pertemuan itu tidak terjadi di kafe, restoran, atau hotel atau ruangan kerja Mirac Aras yang dindingnya memiliki dua pendingin ruangan. Mereka bertemu di sebuah mobil limo yang televisinya sedang menayangkan seorang artis perempuan dengan belahan dada menurun, dengan gaun merah tua. Limo itu adalah salah satu di antara banyak kendaraan dalam garasi kantor yang digunakannya sewaktu-waktu. Saat ia akan menggunakan limo, seorang pengemudi telah siap untuk membawanya ke mana pun asalkan masih di wilayah Istanbul. Pengemudi itu dimintanya keluar dari limo setelah satu jam sebelumnya, ia melakukan penjemputan kepada Nedir Aras yang masih berada di apartemen pertama yang mereka sewa sebelumnya. Mirac Aras, wajahnya penuh dengaan kumis dan janggut yang telah memutih, seluruh bagian kepala, juga pakaian yang dipakainya. Dengan panggilan telepon genggam, Nedir Aras dapat memenuhi kehendaknya. Tanpa kata dan bahasa, Nedir Aras memintanya untuk segera memasuki mobil. Ia duduk di sampingnya tanpa memiliki keinginan untuk menyelanya dengan pertanyaan. Limo itu membawa mereka ke Gülhane yang sepi oleh pengunjung. Tak ada tulip ataupun bunga lain yang tumbuh untuk dinikmati oleh penduduk Istanbul dan turis yang merindukan.
Nedir Aras dengan kumis yang tersisir rapi, dengan mata yang terpaku pada layar televisi di hadapan, bertanya kepada Nedir Aras yang baru saja melalui satu malam bersama istrinya. Mirac Aras bertanya, “Apakah ia berdarah?”
Nedir Aras menarik napas, menahannya sesaat kemudian mengembuskannya perlahan. “Ya, Baba, ia berdarah.”
“Berapa banyak?”
“Aku tidak tahu. Mungkin beberapa tetes,” jawabnya.
“Apakah kau yakin?” tanya Mirac Aras.
“Maksudmu, Baba?”
“Apa kau yakin itu adalah darah?”
“Tentu saja itu adalah darah.”
“Apakah kau yakin itu adalah darah dari kemaluannya yang robek dan bukan dari kapsul yang dimasukkannya secara mendadak?”
Nedir Aras tertawa selama tiga detik. Tangan kanannya terangkat. Sejenak ia menoleh ke luar jendela untuk memerhatikan apa yang tak perlu diperhatikan. Pengemudi limo Mirac Aras sedang sangat menikmati rokok.
“Apa maksudmu? Apakah ada benda semacam itu?”
Mirac Aras memerhatikan setiap perubahan yang ada di wajah. “Apakah ia menjerit?”
“Ya,” jawab Nedir Aras, singkat. Ia mengenang jeritan yang terdengar dari mulut istrinya. Pelan.