Mobil van biru dengan gambar seekor burung kuning di bagian ujungnya telah tiba di pom bensin yang memiliki tiga toko serba ada yang dapat dipilih oleh pendamba rokok, korek gas, dan minuman ringan. Pom bensin itu tentu saja memiliki jadwal buka dua puluh empat jam dengan tiga kali pergantian sif. Salah satu pengemudi pabrik kain Nedir Aras, tiba di pom bensin ketika hari belum memasuki waktu Subuh. Ia membayar bensin yang telah mengisi kekosongan mobil van dengan uang yang terselip di dompet cokelat. Bibirnya bergetar ketika tangannya menerima uang kembalian yang akan diserahkannya kembali ke tangan Nedir Aras yang tak suka tersenyum. Setelah itu, ia menepi ke toko serba ada yang terletak di sampingnya, untuk membeli sebungkus rokok yang membahagiakan. Uang seratus TL itu diambilnya dari saku celana yang basah oleh keringat dan keinginan mengejar waktu Subuh. Ia harus tiba sebelum pukul enam pagi. Lebih awal dari rekan sesama pengemudi yang memiliki arah yang sama. "Satu bungkus?" tanya lelaki di kasir toko serba ada. "Dua," jawab pengemudi Nedir Aras yang seluruh bagian rambutnya bukan hanya basah oleh keringat. Pun debu dan pikiran-pikiran tentang angka yang harus ia kumpulkan. Tak lama lagi, anak pertamanya harus memasuki sekolah. Anak keduanya meminta mainan baru, sebuah kereta biru yang dimainkan oleh salah seorang teman sepermainannya yang memiliki banyak mainan. Hidungnya yang dipenuhi banyak ingus dan kotoran disentuhnya berulang kali. Ia menunda waktu yang tepat untuk membersihkannya. Uang seratus TL itu tak utuh lagi. Ia berubah menjadi dua lembar dua puluh TL yang hijau muda. Ia harus mengambil dan memasukkannya ke dalam saku celana yang berisi banyak kunci. Ketika ia melangkah menuju mobil van biru bergambar burung warna oranye, ia terkaget karena seseorang menepuk bahunya dari belakang. Rekannya sesama pengemudi, yang tua, pendek, dan memiliki warna kulit lebih gelap darinya, sedang melahap rokok bersama sederet kegagalan yang siap untuk dikisahkan. "Paket yang dititipkan anak itu tak sampai. Aku bertemu dengan mayat," kepulan asap menerpa minyak di kulit wajah pengemudi yang tinggi dan merasakan debar di jantungnya semakin meningkat.
*
Nedir Aras kembali bertemu dengan kesalahan yang dibuat entah dengan kesengajaan ataukah tidak. Pagi sebelumnya, ia berangkat dengan kotak bekal yang disiapkan oleh Zehra Hakan. Tak ada masalah serius yang muncul pada kesehariannya di pabrik kain. Sekretarisnya yang telah meminta maaf karena salah memberitahukan waktu dan tempat kepada istrinya yang harus membawakan pengisi baterai telepon genggam membawakan buku catatan keuangan yang mampu meredam kekesalan yang dirasakan. Sekretarisnya menyampaikan keuntungan yang bertambah dan kepuasan pelanggan kain yang diproduksi oleh pabriknya yang tak memiliki satu pun pesaing. Pada akhir pertemuannya, sekretarisnya mendapatkan senyum dari atasan. Ia menutup laporan dengan rangkaian ide baru tentang kain yang akan sangat didamba oleh penduduk Istanbul, terutama mereka yang gemar menghadiri pesta. Sekretarisnya yang pagi itu memakai pakaian merah, memberinya masukan tentang warna hitam yang dapat dipakai pada pesta-pesta. "Hitam tidak selalu duka kan," kata sekretaris Nedir Aras. Nedir Aras tidak menyahut. Namun, ia menyimpan ide itu sebagai salah satu hal yang dapat membuat harinya lebih cerah. Pada sore harinya, satu jam sebelum jadwal kepulangan, Nedir Aras menemukan hal baru yang bisa membuatnya kembali mengajak Zehra Hakan ke tepian Bosphorus. Melihat dan menghitung berapa banyak kembang api yang terpercik di langit bersama letusan-letusan yang menyertai. Kedua anaknya berlarian di lorong rumah berukuran lima meter. Keduanya belum dimandikan dan masih memakai pakaian yang sama, seperti saat Nedir Aras berpamitan akan pergi bekerja. Zehra Hakan sedang berkutat dengan dinding yang penuh dengan spidol, cat air, dan krayon berbagai warna. Air dalam ember plastik tak berwarna bening. Ia tak bisa memantulkan wajah Zehra Hakan yang tak peduli pada bedak, alas bedak, dan pemerah pipi. Terlebih lagi lipstik merah muda berkilau yang biasa menyambut kedatangan Nedir Aras pada jam yang sama. Lap di tangannya bergetar. Nedir Aras melewatinya dan tidak mengatakan apa pun. Ia membuka jaket tipis yang biasa dipakainya saat musim panas. Selim menghampiri dan memeluk lutut. Ehsan melakukan hal serupa. Selim melaporkan mimpi yang didapatnya saat pulang sekolah, mimpi yang sama dengan mimpi-mimpi sebelumnya. Ia bermimpi menaiki pesawat merah dan putih yang pernah dikemudikan oleh Aslan. Tiga hari sebelumnya, ia bermimpi memiliki komputer yang sama dengan komputer Aslan yang layarnya penuh dengan angka. Nedir Aras tidak pernah tertarik pada televisi. Namun, Selim pada akhirnya mengetahui Aslan dan bermimpi bisa memiliki semua yang dimiliki oleh Aslan. “Nanti aku bisa membelikanmu komputer, saat kau sudah pandai perkalian dan bisa menghitung berapa jumlah bebatuan yang ada di dunia ini,” ujar Nedir Aras dalam perjalanan menuju kamar. Kedua anak lelakinya mengikuti. Sementara itu, Zehra Hakan, dengan kain kerudung yang tak beraturan, kembali membersihkan dinding yang semakin ia bertemu dengan kain lap, semakin memudarlah warna yang melekat di permukaan. Kemeja yang dipakainya masih melekat ketika ia menghampiri meja makan yang belum memiliki hidangan untuk mengisi perutnya yang lapar. Selim masih menceritakan mimpinya yang tak berurutan. Ehsan dengan tangan kanannya yang mungil memungut sebatang krayon putih yang hendak digoreskannya di permukaan dinding yang tak mungkin kembali pada warna semula. Nedir Aras duduk pada salah satu di antara empat kursi yang ada. Kedua lengan kemejanya dilipat hingga sikut. Dengan tangan kanannya, dipegangnya telepon genggam yang baterainya masih memiliki sepuluh persen daya. Ia menghubungi ayahnya.
*