Pada salah satu lantai apartemen yang tak lagi berpenghuni, enam orang lelaki yang salah satunya adalah pengemudi pabrik kain Nedir Aras, sedang melingkari seorang perempuan yang tak memiliki sehelai kain pun di tubuh. Perempuan berambut cokelat itu menangis dan meringis karena luka yang menghiasi sudut bibir, kelopak mata atas, dan ujung kaki yang masih terikat tali selebar satu sentimeter. Salah satu di antara mereka menggenggam pistol yang terlambat tiba pada seorang pemesan di kota lain. Perempuan itu meminta maaf karena tak bisa memenuhi permintaan mereka. Keenam lelaki itu tak lagi bersuara. Angin musim panas memasuki setiap jendela yang tak lagi memiliki kaca. Gedung apartemen itu hanya tinggal menunggu waktu untuk diruntuhkan kemudian diganti dengan gedung apartemen yang baru dan memiliki harga lebih tinggi dari sebelumnya. Hanya perlu waktu satu jam bagi mereka untuk menemukan tempat persembunyian itu kemudian membawa dan menempatkannya di bagian belakang mobil van milik Nedir Aras. Untuk kemudian membawanya ke apartemen itu, setelah sebelumnya menyeretnya di anak tangga.
Mereka tak memerlukan sehelai kain untuk menyumpal mulut. Karena meskipun ia memiliki kemampuan untuk berteriak, tak satu orang pun di Istanbul yang akan mendengar teriakan. Mereka tidak memerlukan tali untuk mengikat kedua tangannya. Jumlah mereka cukup untuk menghentikan setiap jemari kalau-kalau terpikir olehnya untuk meronta atau lari ke salah satu tempat di Istanbul yang masih mau membukakan pintu untuknya.
“Mau lari ke mana?” tanya salah satu dari enam lelaki yang berhasil menemukan. Ketika tiba di lantai dua belas apartemen yang beberapa bagian ruangan telah terpugar dengan sendirinya, perempuan itu diletakkannya di atas lantai yang bertuliskan angka yang dicat oleh seseorang atau beberapa orang yang pernah mampir atau memilih apartemen itu sebagai tempat bersembunyi atau beristirahat selain rumah. Salah seorang di antara enam lelaki yang tidak membawa pistol di tangannya itu membeberkan dosa-dosanya sebagai seseorang yang pantas mendapatkan tembakan. Ia adalah seorang perempuan yang memulai segalanya sejak berusia tujuh belas. Dijemput oleh seorang lelaki yang menjanjikan kesuksesan. Pada kemudian hari, kesuksesan itu berubah menjadi pekerjaan yang tidak pernah memberinya jeda untuk berhenti. Bahkan, sekadar menolehkan dirinya pada hari lalu.
Kepada dirinya yang sebelum hari itu. Setiap hari, ia harus melayani orang-orang. Ketika ia harus melakukannya untuk yang pertama kali, rasa pilu itu dirasakannya dengan harapan akan bertemu dengan kata akhir, pada hari yang sama. Namun, ia tidak berlalu begitu saja. Ia berlanjut dengan kepiluan berikutnya pada hari berikutnya yang bersambung dengan kepiluan berikutnya sampai ia memutuskan untuk berlari pergi. Ke tempat yang disangkanya dapat menyembunyikannya dengan baik. Pada mulanya, ia berlari dengan tenang. Dengan gaun malam yang ditutupi mantel hitam dan sepatu bot tinggi cokelat muda. Pun topi yang ia ambil secara sembarang dari atas sofa yang di sanalah segala sesuatu pernah ditinggalkan oleh beberapa lelaki yang pernah mendatangi.
Perempuan itu bersembunyi di kafe, bar, restoran cepat saji, tempat perbelanjaan yang ramai oleh pelancong luar negeri, ke tempat yang menyisakan satu kursi bagi ia yang sanggup untuk membayar sebotol air mineral. Atau teh yang bongkahan gulanya tak akan bisa membuatnya tenang. Selama dua minggu lamanya, ia menyembunyikan diri di tempat yang ramai oleh orang-orang. Ia pergi ke pelabuhan dan bersikap seolah-olah sedang mengamati laju kapal dari Eminönu ke Üsküdar. Ia mengamati burung-burung yang berterbangan dan mandi di bawah jembatan Galata, tidak membalas siulan lelaki-lelaki pemancing yang menghabiskan hampir seluruh waktunya dengan menunggu seekor ikan tersangkut di ujung kail.
Kepada seseorang yang tak mungkin membocorkan rahasia, ia berpura-pura menawar sebuah barang. Dengan bahasa Turki yang tak sempurna. Ia ingin pedagang gantungan kunci dan dompet dengan gambar masjid di permukaannya itu mengira bahwa ia sedang bercakap dengan seorang turis. Ia tidur di salah satu gang di Sultan Ahmet yang tak mungkin dilalui oleh polisi atau orang-orang yang mengejarnya.
Pada malam terakhir sebelum mereka menemukannya, tiga orang lelaki pemabuk memerkosanya dan meninggalkan uang sepuluh TL di atas tubuhnya yang tak lagi berbusana. Ia masih dalam keadaan sadar, hidup, meski napas yang diembuskannya tak bisa lagi ditukarnya dengan ratusan TL yang biasanya diberikan oleh lelaki yang menjemputnya. Ia tak melawan ketika lelaki berjumlah enam itu menemukan dan menyeretnya hingga ke apartemen tak berpenghuni. Seseorang yang menggenggam pistol di tangan yang adalah salah satu pengemudi mobil van Nedir Aras menembaknya di paha, perut, dan dada yang membuatnya mati. Letusan pistol itu dapat terdengar hingga halaman apartemen, apartemen, dan rumah-rumah mungil terdekat gedung. Mereka meninggalkannya begitu saja. Jasadnya yang bersimbah darah dan hancur di beberapa bagian, disentuh angin dan menjadi santapan anjing liar yang menjadi bangkai busuk pada akhirnya. Beberapa hari setelahnya, lelaki yang menjemputnya mengirimkan dua orang lelaki yang membawakan barang-barang tersisa kepada ibunya. Mereka tidak menutupi kematiannya.
“Siapa yang membunuhnya?” tanya ibunya yang ketika menerima tas mungil berisi tiga helai pakaian itu tak memiliki air di bola matanya. Tak banyak uang yang diterimanya selama puteri satu-satunya itu bekerja di Istanbul. “Penagih utang. Anakmu berutang 500.000 TL kepada lintah darat. Hidup di Istanbul membuatnya harus membeli barang-barang yang belum pernah dimilikinya. Tas bagus, pakaian bagus, sepatu yang lebih bagus. Kau tahu...” kata salah satu dari mereka. Ibunya tak mengatakan apa pun. Mereka meninggalkannya tanpa sedikit pun uang.
*