Zehra Hakan baru saja selesai memasang jam dinding di permukaan dinding yang pernah dicoreti oleh Selim dan Ehsan. Hari Minggu telah berlalu. Ia sedikit lega karena tak ada pertemuan yang harus diikutinya. Seorang lelaki yang biasa mengecat dinding apartemen Fatih datang bersamaan dengan Nedir Aras. Ia memintanya untuk mengecat dinding itu sebanyak tiga lapis. Nedir Aras membayarnya lima ratus TL. Zehra Hakan menyiapkan minuman dan makanan ringan yang tiap kali tak habis, ia simpan di sudut dapur untuk ia makan pada malam hari. Nedir Aras kemudian mengantarkan lelaki pengecat ke lantai bawah apartemen dan segera kembali dengan pakaian-pakaian milik kakaknya yang harus ia setrika. Siang itu, pada Senin panas yang tidak berpendingin ruangan dan kipas angin, Zehra Hakan memiliki satu tambahan pekerjaan rumah yang harus ia tuntaskan. Ia memperkirakan jumlah waktu yang harus ditempuhnya untuk membuat rapi pakaian-pakaian kakak Nedir Aras yang ingin mendapatkan pakaian itu kembali pada hari esok. Lebih rapi dari sebelumnya. Nedir Aras menyampaikan keluhan tentang kekusutan di beberapa bagian rok dan blus yang seharusnya tidak terjadi. Pakaian yang tak disetrika dengan baik itu, dimasukkan kembali ke dalam kotak pakaian-pakaian kusut dan kering. Esok pagi, Nedir Aras akan segera mengantarkan pakaian-pakaian yang telah rapi, dalam perjalanannya menuju pabrik kain kesayangannya.
Selim sedang mengerjakan Pekerjaan Rumah di kamar. Ehsan sedang bermimpi. Satu hal yang sangat jarang terjadi. Zehra Hakan membisik hamdalah dalam perjalanannya menuju ruangan cuci pakaian di samping kamar mandi yang tidak memiliki aroma kotoran ataupun air kencing Selim. Ia bisa membasuh dirinya sendiri saat waktu untuk buang air kecilnya tiba. Pun ketika ia harus buang air besar di toilet yang sama dengan toilet yang dipakai oleh semua orang di apartemen itu kecuali Ehsan.
Ehsan memiliki satu toilet khusus yang dipakainya sambil berjongkok. Tak sulit baginya belajar buang air besar dan buang air kecil tanpa popok. Sekali waktu, ia buang air di atas karpet atau di atas tempat tidur. Ia tidur bersama Selim. Seseorang menekan bel dari lantai bawah. Zehra Hakan baru saja menyalakan setrikanya yang akan segera memanas dalam waktu beberapa detik. Tergopoh ia membuka pintu apartemen setelah mengintip melalui satu lubang kecil di tengah pintu. Tak seorang pun manusia. Namun, Zehra Hakan tetap membuka pintu. Ditemukannya nampan berisi kue dalam piring kertas bersama puding nasi. Seseorang telah meletakkannya di sana dan ia tidak tahu siapa. Itu adalah kali yang kedua, ia menemukan nampan berisi makanan yang tidak ditutupi oleh penutup makanan.
Nampan itu diambilnya dan diletakkannya di meja dapur. Pada malam hari, ketika bedak di permukaan wajah telah mencair dalam bentuk minyak dikarenakan jumlah pakaian yang harus disetrikanya lebih banyak dari biasanya, Zehra Hakan meletakkan nampan itu di depan Nedir Aras yang pulang dengan kotak mainan berisi dua pesawat yang masing-masing harganya berkisar antara dua ratus lima puluh TL. Nedir Aras tentu saja tidak mengatakan bahwa mainan yang masih baru, utuh, dan masih bersegel itu adalah hadiah dari Nuray Petek yang telah terlatih untuk mempersiapkan segalanya dengan baik. Bahkan, untuk pertemuan. Zehra Hakan menawarkan kue di atas nampan. Nedir Aras tak ingin memakannya. Pun dengan makan malam yang telah disiapkannya dengan cepat selama tiga puluh menit. Ia berkata bahwa ia telah makan sebelum malam tiba. Perutnya masih penuh. Ia makan bersama ayahnya tanpa menyebutkan nama Nuray Petek di dalamnya.