Nedir Aras pergi pagi-pagi sekali. Ia mengambil koper paling mungil yang tersimpan di atas lemari pakaian. Zehra Hakan bertanya, apakah hari itu ia akan pergi jauh. Nedir Aras tidak menjawab. Pagi itu adalah pagi yang sama dengan pagi-pagi lain dalam hidup. Pagi yang membuatnya enggan berkata-kata. Nedir Aras tidak melahap hidangan makan pagi. Ia pun lupa dengan Selim dan Ehsan yang masih terlelap di tempat tidurnya masing-masing. Pukul enam, mobil sedan itu telah melaju dengan kecepatan sedang.
Di depan pintu utama apartemen, Zehra Hakan melambaikan tangan dengan kain lap yang masih bersih dan celemek yang dipakainya dalam keadaan tergesa. Pukul satu siang, Zehra Hakan mendapatkan satu pesan singkat dari Nedir Aras. Selama dua hari, ia tak akan kembali. Banyak hal yang harus ia selesaikan di pabrik kain yang pada awalnya tak pernah memiliki masalah. Zehra Hakan membalas pesan itu dengan segera.
Namun, pesan balasan itu tak bertukar jawab. Tak sampai pada telepon genggam Nedir Aras. Telepon genggamnya tak memiliki pulsa. Zehra Hakan menarik napas dan mengembuskan. Telepon genggam itu dimasukkan ke dalam laci lemari kamar, di atas buku catatan yang menjadi teman bicaranya setiap malam. Setelahnya, ia bersiap untuk menjemput Selim dari sekolah yang berjarak lima kilometer. Ehsan telah siap dengan kaus lengan panjang dan celana jins biru muda. Tinggal memakai sepatu dan kaus kaki saja lalu mereka akan melangkahkan kaki menuju pintu dan menguncinya. Suara lolongan anjing kemudian terdengar. Suaranya benar-benar tak biasa terdengar.
Selama Zehra Hakan dan Nedir Aras tinggal di apartemen, belum pernah sekali pun telinganya mendengar lolongan anjing. Terlebih pada siang hari. Lolongan anjing itu terdengar begitu dekat. Suaranya mengejutkan dan berhasil membuat Ehsan melemparkan mainan pesawat serta anak ayam mungil yang sedang digenggam secara bersamaan. Ia tidak menangis. Dihampirinya jendela yang di sanalah Zehra Hakan dapat melihat seekor anjing besar dan tinggi sedang melolong. Lidahnya menjulur dan basah oleh air liur. Anjing itu tidak memiliki kalung yang melingkar di leher sehingga ia bersimpulan pastilah anjing itu belum dimiliki oleh satu orang pun penduduk Istanbul. Tak ada yang mencarinya. Suaranya lebih kentara ketika Zehra Hakan, sambil menggendong Ehsan, mendongakkan kepala demi melihat arah yang sedang dituju oleh anjing itu. Lolongannya semakin kencang seperti tanpa putus.