Lolongan anjing itu berpindah. Dari jendela tempat Zehra Hakan mendongakkan kepala hingga pintu utama apartemen. Zehra Hakan dan Ehsan telah berdiri di depan pintu apartemen yang pintunya memiliki lapisan kaca tidak tembus pandang. Meski siang itu matahari bersinar sangat terik, Zehra Hakkan memakai baju hangat abu-abu yang kancingnya tidak dikancingkan. Tak biasanya, tak seorang pun perempuan beranjak dari salah satu pintu salah satu lantai apartemen. Pintu-pintu itu tertutup rapat.
Tak ada suara yang tiba di kedua telinga Zehra Hakan sehingga hampir saja ia bersimpulan bahwa semua orang di apartemen telah raib. Bersamaan dengan itu, lolongan anjing semakin jelas terdengar. Lebih dekat sehingga sepertinya hanya anjing saja yang tinggal di apartemen itu. Tiba-tiba Zehra Hakan teringat pada suara anjing yang sama. Lolongan yang pernah didengarnya pada hari pertama kunjungannya ke rumah Mirac Aras. Zehra Hakan menunggu selama beberapa menit hingga akhirnya suara anjing itu tak terdengar lagi.
Namun, hingga lima menit lamanya, anjing itu masih juga menyalak. Zehra Hakan menggigiti bagian bawah bibir. Ehsan meraih ujung kaki. Didorongnya pintu utama apartemen. Anjing itu dekat sekali dengan pintu. Tiga meter kurang lebih. Zehra Hakan menutup kembali pintu itu rapat-rapat. Anjing itu melihat Zehra Hakan dan semakin menambah intensitas lolongan. Lolongan yang tak memanggil seorang pun manusia untuk keluar dari salah satu pintu. Zehra Hakan kemudian menggendong Ehsan, kembali ke apartemen. Dengan tenang meskipun ia usahakan lebih cepat, dibukanya pintu apartemen dengan kunci yang diambil.
Ehsan tampak nyaman dalam gendongan. Ia beranjak ke dapur, membuka pintu lemari es dan mengambil beberapa potong ayam yang telah dingin. Potongan ayam itu dijejalkan ke dalam tas mungil hitam yang melingkari tubuhnya yang besar. Lebih besar dan lebih lebar setelah melahirkan anak kedua. Ketika ia melirik ke arah jam dinding, hampir saja jarum jam itu tiba di angka satu. Bergegas ia menuruni anak tangga. Dengan segala keberanian dan tenaga yang masih tersisa, didorongnya pintu itu. Anjing itu melolong tepat ke arahnya. Zehra Hakan melemparkan dua potong ayam itu ke arah kanan, digendongnya Ehsan ke arah yang berlawanan dengan anjing. Anjing itu tidak mengejar. Ia begitu sibuk dengan dua tulang ayam yang diendus dan dilahap.
Zehra Hakan masih seperti hari-hari yang lalu, berjalan kaki menuju sekolah tempat Selim menunggunya dengan tas bergambar Harika Kanatlar (Superwings). Zehra Hakan masih bisa mendengar lolongan. Lolongan yang kemudian terdengar pada malam hari ketika Nedir Aras berada di Ankara. Lolongan itu membuatnya tak bisa menutup kedua kelopak mata. Ia memilih untuk menulisi buku catatan dalam laci. Ia mengumpulkan bon, catatan keuangan, nota pembelian yang luput ia tempelkan di dalam buku tersebut. Meski malam itu Nedir Aras tidak berada di sampingnya, malam itu tetap sama seperti malam-malam sebelumnya.
Satu malam yang ditutupnya dengan ritual membersihkan wajah. Zehra Hakan kemudian mencoba berbaring dengan kepala tengadah ke atas, memerhatikan dan mengingat yang belum dicatat. Sampah yang belum dibuangnya ke tempat sampah. Makanan yang belum dibumbui. Ayam, sayuran, dan kulit bawang yang terlupakan. Apakah ada cabai yang ia lupa cara membersihkan setiap biji yang ada di dalamnya. Zehra Hakan mencoba untuk memejamkan matanya yang kemudian ia gagal melakukannya. Selimut itu ditariknya hingga menutupi batang leher yang memiliki gelambir dan tak pernah dilingkari perhiasan emas. Kedua anaknya telah terlelap sejak beberapa jam sebelumnya. Jam dinding mulai mendekati angka tiga pagi.