Jendela itu selalu menjadi tempatnya menunggu kepulangan. Menatap punggung yang bungkuk dan rambutnya yang selalu basah oleh peluh dan ingatan tentang serat kain yang tak pernah berhasil dibawa pulang secara diam-diam.
"Aku tak bisa mencuri, sayangku," bisik suaminya pada suatu malam di pembaringan.
Ketika ia telah memakai kaus putih dan piyama bergaris vertikal, sementara istrinya telah memakai pakaian tidur tipis tapi bukan lingerie. Ia selalu berharap akan tiba hari terbaik untuk memakai pakaian dalam semacam itu ketika tiba sebuah perayaan atau hari biasa. Asalkan suaminya tetap kembali ke apartemen dengan membawa tas ransel kopong yang ditentengnya dalam bus kota. Dalam dolmus dan alat transportasi publik. Pengemudi pabrik kain Nedir Aras tak memiliki satu pun kendaraan sehingga wajar jika istrinya selalu bertanya seperti apa rasanya menaiki sebuah BMW atau sedan yang pernah dipergunakan oleh perusahaan taksi dalam kota Istanbul.
"Suatu hari nanti, maukah kau mengajakku berjalan-jalan dengan mobil van atasanmu?" tanya istri pengemudi pabrik kain Nedir Aras yang tak pernah memiliki pengalaman menaiki mobil van seumur hidupnya. Punggungnya sedang berada di depan dada pengemudi Nedir Aras. Matanya telah terpejam meskipun ingatannya belum raib ke alam mimpi. Istrinya masih membuka mata, menatap tirai kamar yang telah ia tutup rapat.
"Ya," jawab pengemudi pabrik kain Nedir Aras.
"Aku ingin menengok ibuku atau kakekku di (ia menyebutkan sebuah tempat). Aku tidak merindukan keduanya. Hanya saja aku ingin melihatnya. Makan bersama mereka, di tengah-tengah mereka. Lalu berjalan-jalan ke suatu tempat di Istanbul dengan mobil van yang selalu kau kemudikan," pinta istrinya dengan menjeda setiap kalimat.