Rintik dan Rincik di Istanbul

Eka Retnosari
Chapter #35

İYİ GUNLER (SEMOGA HARİMU MENYENANGKAN) XVIII

Ada satu foto keluarga yang terpajang di dinding ruangan apartemen yang nyaris tak pernah memiliki debu. Foto itu dibuat ketika Ehsan masih berusia enam bulan. Tubuh Zehra Hakan sedang mencapai titik paling lebar selama waktu yang pernah ia tempuh dalam hidup. Mereka duduk di kursi beludru krem dengan pinggiran berupa kayu yang diplitur hingga mengilap. Nedir Aras memakai baju hangat putih dan kemeja kotak-kotak biru-hitam. Celana bahan abu-abu muda sangat pas ketika dipadukan dengan sepatu kuli yang dipakai sesekali pada waktu-waktu tertentu. Selim memakai pakaian yang serupa dengan pakaian yang dipakai oleh Nedir Aras. Ehsan tidur dengan baju hangat rajut yang ia berusaha mati-matian untuk membuatnya. Dengan benang wol abu-abu tua.

“Lihat, bukankah ia lucu sekali…” Zehra Hakan menyodorkan Ehsan yang terlelap dengan bibir yang tampak masih merindukan puting susu.

“Ya,” gumam Nedir Aras singkat. Fotografer studio foto itu adalah seorang lelaki tua yang tidak terlalu pandai mengabadikan gambar.

Usianya telah perlahan memasuki angka enam puluh. Ia memiliki kamera zaman dulu yang untungnya masih bisa ia pakai tanpa perlu menggantinya dengan yang baru. Diarahkannya setiap anggota keluarga Nedir Aras untuk duduk di sofa beludru itu. Nedir Aras di sebelah kiri, Zehra Hakan di sebelah kanan. Lutut mereka bertemu.

"Bisakah kalian tersenyum?” tanya fotografer berusia lanjut. Nedir Aras memberikan senyum terbaiknya di hadapan kamera fotografer tua. Zehra Hakan tersenyum dengan mengatupkan bibir, tanpa memperlihatkan gigi. Perlahan dielusnya kening Ehsan yang masih terlelap. Selim berada di samping Nedir Aras. Celananya tampak kurang rapi. Ia memiliki beberapa bagian yang kusut. Sebelum fotografer mengambil gambar, Zehra Hakan mendapatkan bisikan di telinga kanan. Ia bisa menyetrika dengan benar. Tanpa sedikit pun kusut di permukaan. Satu bidikan kemudian diambilnya. Tidak sempurna.

“Bisakah kalian tersenyum?” tanya fotografer itu kembali. Lagi-lagi Nedir Aras menampilkan senyuman terbaik. Diliriknya Zehra Hakan yang kedua ketiaknya memiliki keringat yang sibuk mencari jalan keluar. Ada aroma yang membuat senyumnya tak dapat lagi bertahan.

"Bisakah kalian tersenyum?" tanya fotografer itu sekali lagi. Nedir Aras tidak menyurutkan senyum. Zehra Hakan menyurutkan senyum. Bidikan terakhir telah dilayangkan.   

Mobil-mobil melaju melambat. Beberapa kendaraan yang biasanya melaju dengan satu atau beberapa suara, kali itu seperti tertelan. Pejalan seperti kendaraan yang berbaris menuju satu arah yang tak akan bertemu dengan kelokan ataupun belokan. Pohon-pohon telah menjatuhkan daun-daun. Tak ada yang peduli lagi dengan serakan yang melebihi trotoar jalan. Meski beberapa kendaraan bersitegang dengan kendaraan lain, ia memilih untuk tidak menyalakan klakson. Setelah berpapasan, kendaraan itu akan melaju tanpa menyisihkan waktu untuk saling bersitegang.  

Lihat selengkapnya