Rintik dan Rincik di Istanbul

Eka Retnosari
Chapter #37

AFiYET OLSUN (SELAMAT MAKAN) II

Malam itu adalah malam paling hening dari semua malam yang pernah singgah di Istanbul. Tak ada satu pun trem yang beroperasi, mengambil satu atau lebih dari seratus penumpang. Beberapa bus yang memiliki sambungan karet di tengah, masih hilir mudik dengan arah yang berlawanan. Namun, tak ada satu pun manusia yang berharap bisa mendapatkan segelas teh ataupun sepotong doner dari kedai yang ditunggui oleh seorang lelaki paruh baya yang enggan tersenyum.

Malam itu adalah salah satu malam di atas pukul sepuluh yang berbeda dengan malam-malam di atas pukul sepuluh lainnya. Januari sedang menunggu untuk dimasuki oleh beberapa orang yang sangat mendamba salju. Beberapa penduduk Istanbul, baik yang pendatang ataupun bukan, telah bersiap dengan sekop dan truk plastik mainan yang bisa dipakai untuk mengeruk bongkahan salju. Berkeping-keping salju yang banyak dan melimpah.

Bagi salah seorang pengemudi Nedir Aras, musim dingin adalah saat yang tepat baginya untuk melakukan percakapan dengan dirinya sendiri. Pada akhir Desember, telah digaungkan lewat iklan berdurasi sepuluh menit di televisi dan pohon-pohon natal telah menyambut pengunjung mal dan tempat perbelanjaan lain yang memiliki satu lift dan tiga lantai serta satu basemen. Lelaki itu memilih untuk meninggalkan istrinya seorang diri. Dengan janji dan khayalan indah tentang uang ribuan dollar yang akan dibawanya suatu hari nanti.   

“Apakah aku bisa mendapatkan sebuah baju baru saat kepulanganmu nanti?” tanya istrinya yang sendiri di meja makan.

Dengan jari manis yang dilingkari cincin emas tipis polos dan memantulkan wajah yang selalu mendampingi anak-anaknya dengan nyanyian, dongeng, dan petuah tentang hari-hari yang bersalju dan tak bersalju. Salju belum turun. Orang-orang masih melanggar aturan untuk tidak ke luar rumah melewati pukul sepuluh. Mobil polisi yang dikendarai oleh seorang polisi berambut klimis yang dapat memantulkan wajah siapa pun yang dipanggilnya, melintasinya tanpa menekan klakson dan tolehan kepadanya. Sabtu itu, ia meminta izin kepada Nedir Aras untuk membawa mobil van itu ke mana pun yang ia inginkan. Mobil itu diparkir di samping pohon, di depan kafe yang cahaya lampunya membuatnya terlihat paling terang di antara deretan toko atau restoran yang telah menggantungkan papan bertuliskan kata ‘kapalı’. Tutup. Di seberang kafe, terdapat toko pakaian yang karena suatu alasan, masih menggantung papan bertuliskan ‘açık’. Buka.

Seorang perempuan dengan wajah berusia sekitar delapan belas tahun sedang menggaruk alis yang dihiasi pensil alis cokelat muda. Ia memakai kain kerudung berkilau namun kaku, marun yang tak pudar. Dipandangnya layar telepon genggam di tangan dengan lesu. Telah seharian ia menunggui layar telepon dan mantel-mantel sisa stok musim dingin tahun sebelumnya. Mantel-mantel itu dipajang dan dijualnya atas perintah pemilik toko dengan harga dua kali lipat. Seratus dua puluh TL untuk mantel yang harga aslinya adalah enam puluh TL.

Lihat selengkapnya