Restoran itu berdampingan dengan lelaki berusia enam puluh yang menjual sajadah, tas anyaman khas Turki, dompet, tasbih, dan benda seperti gantungan kunci. Mulutnya masih penuh dengan minyak dan makanan yang belum tuntas dikunyah. Telah lama ia bergabung bersama orang-orang yang mengabaikan panggilan salat. Sepuluh tahun sudah wajahnya tak bersentuhan dengan air wudhu. Ia tidak salat, pun tidak pernah merasakan lapar dan haus saat puasa.
Ia menghindari perkumpulan ataupun pertemuan yang di dalamnya membahas tentang Tuhan dan ibadah dalam rangka mendekatkan diri kepada-Nya. Ia tak lagi mengenal kata takdir dan musibah yang adalah teguran atau semacam peringatan. Pun pemberitahuan dari Dia Yang Menciptakan. Kepada istrinya, ia melakukan hal yang sama. Ia selalu berkata tentang hari esok yang tak perlu dicemaskan. Bahwa setiap manusia bebas melakukan apa pun. Apa pun. Tak ada yang akan menghukumnya kelak pada kemudian hari. Perbuatan baik akan dirasakan oleh dirinya sendiri. Begitu pula dengan perbuatan buruk.
Tiga bulan sebelumnya, lelaki itu masih di kantor polisi. Memberikan informasi dan penjelasan tentang kecelakaan yang terjadi di depan toko yang tidak populer. Petugas keamanan yang datang segera seusai peristiwa tabrakan, segera mengamankan. Ia ditempatkan di sebuah sel yang sebelumnya telah ditempati oleh seorang lelaki pemabuk yang melakukan hal yang sama. Ia yang adalah seorang sopir taksi telah menabrak seorang perempuan lanjut usia saat ia usai berbelanja di sebuah pasar. Ia meringkuk di pojok ruangan, menatap pengemudi pabrik kain Nedir Aras yang belum diinterogasi.
Seorang petugas keamanan memintanya keluar pada keesokan hari. Ia mengajukan banyak pertanyaan yang tak mengarah kepada pemilik pabrik kain paling sukses di Istanbul. Pertanyaan-pertanyaan itu adalah pertanyaan-pertanyaan tentang dirinya. Apakah ia mabuk, apakah ia mengonsumsi obat-obatan terlarang, kapan ia mulai memegang kemudi untuk pertama kali. Apakah ia memiliki keluarga, telah menikah, memiliki berapa anak. Dan seterusnya, dan seterusnya. Lelaki itu menjawab seperlunya, dengan ya dan tidak yang singkat. Namun pada akhirnya, ia mengatakan segala dusta yang bisa dikatakannya. Sepanjang yang bisa dilakukannya. Bahwa ia adalah seorang lelaki lajang yang belum pandai menyetir. Ia memiliki seorang ibu di kampung halaman yang setiap bulan harus ia kirimi uang.
Ibunya sedang sakit keras. Sebuah demam tinggi yang tak juga sembuh meskipun ia telah diberi obat penurun panas. Saat peristiwa itu terjadi, ia sedang kehilangan fokus. Ia sedang memikirkan demam ibunya dan uang yang harus ia kirimkan segera. Ia sedang berada pada jam istirahatnya. Hari itu adalah hari Minggu. Orang yang bekerja bisa mendapatkan hari kerja tambahan sebagai upaya mendapatkan uang tambahan. Malam sebelumnya, ia tak dapat tidur karena harus memikirkan banyak hal, terutama ibunya. Setelah penjelasan yang cukup panjang, pengemudi pabrik kain Nedir Aras harus kembali ke dalam sel. Berjumpa kembali dengan lelaki yang menatapinya tanpa mengatakan sepatah kata pun.