Dalam waktu lima belas menit sejak petugas itu datang untuk memberikan amplop berisi uang delapan ratus TL, ruang apartemen yang memiliki dua kamar dengan satu kamar tak lagi memiliki pintu itu, ramai dikunjungi oleh tetangga kanan dan kiri. Tetangga yang tinggal di bawah apartemen pun datang untuk mempertanyakan dan menenangkan. Mereka tak percaya bahwa Zeki Hakan telah meninggal dunia. Istri Zeki Hakan di tengah ruangan, di atas tikar yang masih belum bersih dari ceceran serbuk teh, duduk dengan mata menerawang. Perlahan, tangannya mulai bergetar. Air belum jatuh dari bola mata. Tetangga di samping kanan yang paling pertama mengetahui karena telinganya selalu dapat mendengar percakapan dan peristiwa yang terjadi di depan pintu tetangga.
"Apa yang terjadi?" tanyanya. Ia duduk di samping istri Zeki Hakan yang pikirannya belum tiba pada perkiraan tentang hari esok. Tentangnya yang harus bekerja kembali, tentang kedua anaknya yang belum dikabari. Seseorang pergi ke dapur untuk mengambilkan segelas air.
"Minumlah," pinta tetangganya karena ia pikir segelas air putih dapat menenangkan. Air putih itu tidak langsung ditenggak. Tiga penghuni apartemen yang tiap langit-langit rumahnya penuh dengan kabel itu datang kemudian. Mereka siap untuk melakukan semacam pijatan di kakinya atau berjaga kalau-kalau ia akan jatuh pingsan. Mereka berkerumun sambil membincangkan spekulasi. Kapan terakhir kali mereka melihat Zeki Hakan dalam keadaan segar bugar, tak berpenyakit, dan masih bisa berkomunikasi dengan lancar. Pagi sebelumnya, mereka, entah siapa, masih melihatnya berjalan dengan kemeja dan jaket yang sama.
Sore sebelumnya, seseorang yang lain melihatnya sedang duduk di kursi bawah apartemen, minum teh dengan seorang lelaki tua lainnya. Seseorang dari mereka meminta semuanya untuk diam dan mendengarkan apa yang akan dikatakan oleh istri Zeki Hakan. Petugas itu bertutur tentang pekerjaan terakhir yang sedang dikerjakan oleh Zeki Hakan. Empat buah kursi yang telah tuntas itu harus menunggu kepulangan pembuatnya. Mobil jeep putih yang dikendarai oleh seseorang yang tak dikenal oleh satu orang pun penghuni gecekondu, datang menghampiri. Ia meminta Zeki Hakan untuk memasuki mobil itu segera.
Seorang kawan Zeki Hakan yang saat itu sedang berada di samping, sempat melihatnya. Mulutnya bungkam ketika orang-orang bertanya tentang ciri-ciri pengemudi itu. Segalanya berlalu serba cepat. Ia tak ingat. Dalam hatinya, ia sangat mengingatnya. Tentang warna hitam yang dipakainya, mata, cambang, dan tato di pergelangan tangan kanan. Ia enggan untuk mengatakan lebih jauh tentang itu. Pun saat orang-orang menemukan mayat Zeki Hakan, terkapar di bawah pohon yang masih berada di wilayah gecekondu. Seseorang telah memukul kepalanya dengan perkakas otomotif seperti kunci inggris atau palu. Matanya setengah terbuka. Lelaki-lelaki paruh baya kemudian mengangkat tubuhnya tanpa berkata-kata.
Mayat kedua pada bulan itu, setelah mayat seorang lelaki lain yang tinggal di salah satu apartemen dengan puluhan kabel di langit-langit kamar dan ruang tamu. Mayatnya diangkut oleh gerobak besar yang biasa dipakai oleh orang-orang untuk mengangkut sampah-sampah rumah tangga dalam ukuran besar. Atau galon-galon kosong dari pintu-pintu apartemen menuju toko yang tidak menyediakan segala keperluan rumah tangga secara lengkap. Beberapa. Namun, orang-orang yang tinggal di gecekondu masih harus beroleh lega. Mereka masih bisa menemukan roti seharga 1,5 TL pada setiap harinya atau mentega dengan harga di bawah 5 TL, pun irisan tipis setipis-tipisnya sosis yang memiliki campuran tepung dan paprika tanpa biji.
Mereka akan menyantapnya pada pagi hari di meja makan yang ujungnya bertemu dengan dinding rumah yang memiliki retakan di beberapa bagian. Orang-orang yang telah lebih dulu berkerumun di tangga, koridor apartemen yang tak pernah berhasil mencapai angka satu meter, serta ruang tamu apartemen Zeki Hakan menyambut mayat itu dengan mengucapkan segala doa yang bisa mereka lafalkan. Sebagian memilih untuk menggumamkan dalam hati. Ibu rumah tangga yang sebelum beranjak dari dapurnya masing-masing telah mematikan kompor dan memakai kain seadanya untuk menutupi kepala dan rambut yang mereka miliki.