Rintik dan Rincik di Istanbul

Eka Retnosari
Chapter #43

AFiYET OLSUN (SELAMAT MAKAN) VIII

Pemancing enggan menghabiskan waktu untuk menyesap sebatang atau dua batang rokok. Mereka yang tidak saling mengenal sebelumnya, pun tidak saling bertukar kata. Jika beruntung, seseorang akan tertawa karena mendapatkan seekor yang bisa dibawa pulang sebagai tanda keberhasilan. Namun, lebih sering tidak. Seringkali senja yang redup dan memiliki tebaran warna jingga yang bertemu dengan gelap dari awan yang telah terlalu berat menampung uap air. Seorang lelaki yang adalah bukan seorang pemancing, datang kemudian. Ada sebatang rokok yang tinggal seperempatnya. Ia memakai jaket bertopi dan celana jins pudar. Sepatu kulit hitamnya memiliki kilat yang sangat sayang jika bertumpu pada tumpukan bebatuan. Kacamata hitam masih terlalu pagi untuk mata.

Namun, ia tetap memakainya. Seorang pemancing meneriakkan sesuatu tentang keberhasilan di ujung kail. Pemancing lain tidak cemburu kepada ikan berukuran sedang yang didapatnya. Mereka melirik dengan sudut mata kemudian menggumamkan sesuatu tentang keberhasilan yang tertunda. Pemancing yang telah lebih dulu mendapatkan ikan, tidak segera beranjak. Segalanya masih sempat untuk menunggu ikan lain yang barangkali lebih besar, lebih enak untuk disantap di meja makan. Pemancing lain menyimak celotehan tentang seekor çipura berukuran besar. Seminggu yang lalu atau mungkin tiga hari sebelumnya--ia tidak terlalu ingat--ia menemukan seekor ahtapot berukuran raksasa di salah satu kedai pasar ikan yang menjual berbagai jenis hasil tangkapan nelayan. Untuk pertama kali dalam hidupnya, ia melihat seekor ahtapot paling besar dengan tentakel basah menjulang tinggi sehingga siapa pun akan berdecak kagum pada ukuran.

Adakah manusia yang bisa memakan ahtapot berukuran raksasa itu? Lelaki itu tertawa sambil melanjutkan penelusuran mata pada udang yang kulitnya masih melekat, pun kepala yang memiliki kotoran dan telur warna oranye. Tak ada yang dibeli oleh lelaki tua itu selain cerita bahwa laut yang biru itu memiliki segalanya untuk dimakan ataupun untuk dilihat orang-orang yang tidak terlalu sering makan ikan salmon pada pagi hari. Lelaki dengan jaket dan sebatang rokok yang hampir habis di bibirnya itu menolehkan wajah ke salah satu kapal pesiar yang menjadi satu di antara tiga kapal yang melaju pada pagi itu. Seorang perempuan dengan kereta bayi warna hitam kemudian menyeberangi jalan yang sepi dari pelancong yang ingin menyeberang.

Warna hitam pada kereta bayi sama persis dengan segaris hitam pada kantung bawah mata yang digelayuti ingatan tentang popok, susu, dan harapan ibunya kepadanya. Ia menghentikan laju kereta bayi, satu meter dari jarak terdekatnya dengan lautan. Matanya tertuju lurus dengan deretan bangunan tua dan bangunan-bangunan baru yang terlihat seperti anak tangga yang harus ditempuh pejalan. Jendela yang bersisian itu lebih mirip kue wafer yang ditata apik dalam salah satu makanan penutup restoran di sepanjang jalan Sultan Ahmet yang dilalui trem yang penumpangnya selalu penuh hingga ke pintu pada akhir pekan. Menara Galata terlihat seperti es krim rasa cokelat yang digenggam terbalik oleh seorang anak lelaki yang tak tahu bagaimana cara menggenggam es krim dengan benar.

Lelaki dengan jaket bertopi dan sebatang rokok di bibir itu mengalihkan pandangan. Dari kapal pesiar yang melaju tenang ke permukaan yang tak tenang. Dibuangnya secara sembarang, batang rokok yang apinya akan segera ditelan oleh angin pagi yang gigil. Kacamata hitam berembun tidak pada waktunya. Ditenggelamkannya sepasang tangan yang juga memiliki dingin seperti dingin yang tiba di tengkuk leher pemancing, pun perempuan itu. Ia memakai jaket beludru hitam yang seluruh kancing bulat besarnya dikancingkan dengan sempurna.

Satu langkah digerakkan oleh lelaki itu, ke arah perempuan yang sepertinya memiliki kenangan khusus dengan Menara Galata yang belum dikunjungi oleh siapa pun. Tanpa sengaja, lelaki itu menginjak daging hasil dari cabikan. Ia menebak, seekor anjing di antara banyak anjing lain yang bertebaran di pinggiran Bosphorus yang juga enggan bersuara seperti yang lainnya, telah memangsa seekor hewan.

Lihat selengkapnya