Wajahnya memerah karena kesal dan amarah yang tak bisa ia tahan. Orang asing itu sedang menggamit lengan anaknya yang rambutnya memiliki kepang meskipun ia adalah seorang lelaki. Lelaki yang sedang naik pitam itu, dengan kedua tangannya yang terbuka, menunjukkan hasil perbuatan anaknya. Rupanya anak itu telah buang air kecil di tempat yang tak seharusnya, yaitu pepohonan yang menurut lelaki yang sedang naik pitam itu adalah pohon milik mereka. Pohon yang tidak berhak untuk mereka kencingi, sentuh, ataupun sandari. Bahkan, mereka harus membuang pandangan mereka ke arah mana pun asalkan tidak melihat ke arah pohon itu.
Lelaki asing itu menjelaskan dengan bahasa Turki yang terbata. Bahwa ia adalah anak kecil. Anak kecil yang sama seperti anak kecil lain yang juga berkeliaran di jalan-jalan kecil kota Istanbul. Anak kecil bisa melakukan kesalahan. Tugasnya sebagai orang tua adalah melakukan pemakluman dan pemaafan. Mengapa harus semarah itu, lelaki asing itu bertanya dengan nada suara yang dibuat lebih rendah dari nada suara lelaki yang dikatakannya telah tinggal di kota itu sejak lahir. Setiap bagian dalam dirinya, tubuh, jiwa, darah, nama, segalanya telah menyatu bersama kota itu. Jiwanya akan menggelegak marah jika ia menemukan sesuatu yang tak pantas dilakukan oleh orang lain kepada kota tercintanya.
Betapa ia telah mengeluarkan biaya berupa iuran bulanan, untuk listrik, sampah-sampah yang dibuangnya setiap hari, dan pohon-pohon yang ditanam sejak kecil. Kemudian sekonyong-konyong, seseorang yang namanya tak pernah ada dalam daftar penghuni salah satu apartemen itu mengencingi pohon. Meninggalkan aroma dan cairan yang menjijikkan yang membutuhkan seorang petugas untuk segera membersihkannya. Lelaki asing itu mencoba menjelaskan. Bahwa ia sedang dalam perjalanan. Ia dan anak semata wayangnya telah berjalan kaki jauh sekali. Pada dua blok sebelumnya, mereka telah berhenti pada salah satu apartemen untuk melihat apartemen yang kelak akan dihuninya bersama anak semata wayang. Ia adalah imigran asal Amerika yang memilih untuk meninggalkan negaranya dengan harapan akan mendapatkan kehidupan yang lebih baik.
Tak masalah jika ia mendapatkan gaji yang kecil atau apartemen tanpa penghangat ruangan. Ia ingin tetap hidup. Bersama anak yang tengah menatap lelaki yang sedang naik pitam. Ia tak dapat mengerti apa yang sedang diperbincangkan oleh ayahnya dan lelaki Turki yang sedang naik pitam. Ketika ditemukannya jeda, dibisikkannya permintaan kepada ayahnya. Betapa ia sangat ingin pulang, kembali ke rumah yang adalah sebuah hotel di kawasan Fatih, di sebuah gang yang dapat memuat satu buah mobil sedan yang harga permalamnya berkisar antara tujuh puluh lima hingga seratus lima puluh lira jika ia menambahkannya dengan sarapan pagi. Lelaki asing itu meminta maaf dengan bahasa Inggris yang tak berhasil menurunkan kemarahan lelaki Turki yang belum merasakan air hangat pada acara mandi paginya. Tangan kanannya telah terulur. Lelaki Turki itu tak ingin menyalami. Ia mengayunkan tangan kanan ke udara. Sebuah tepisan yang diikuti dengan helaan napas yang lebih mirip dengan sebuah dengkusan.
"Apakah kau punya air?" tanya lelaki asing itu kemudian. Karena jika ya, ia akan senang hati mengambil alih tugas petugas kebersihan. Ia akan mau menyiramkan air ke seluruh bagian kulit pohon yang ternoda oleh air pipis anaknya yang belum memasuki angka tujuh tahun.