Rintik dan Rincik di Istanbul

Eka Retnosari
Chapter #46

AFiYET OLSUN (SELAMAT MAKAN) XI

Ia menyesalkan tidur siang yang lima belas menit yang tak pernah terjadi dalam hidupnya. Tertiup angin semilir dari jendela yang terbuka. Meskipun harus, Zehra Hakan tak mampu mendongakkan wajah demi melihat peristiwa yang sedang terjadi pada jarak dua puluh meter di bawah jendela. Sepuluh menit kemudian, Nedir Aras telah tiba di apartemen. Seseorang telah menghubunginya. Sirene ambulans terdengar bersamaan dengan kedatangannya. Zehra Hakan mengikutinya dari belakang, bersama mata yang bercucuran. Di belakangnya, dua lelaki bertubuh besar masih menghujaninya dengan serapah yang volume suaranya ditambah begitu mereka telah tiba pada jarak terdekat dengan Nedir Aras.

Dalam sekejap, entah pada menit keberapa segalanya dimulai. Seluruh penghuni yang tinggal di apartemen bercat kuning, biru, hijau, dan lainnya telah berkumpul. Nedir Aras dibantu petugas ambulans menggendong Ehsan yang kepalanya banjir oleh darah. Matanya tertutup rapat. Orang-orang yang berkerumun mempertanyakan apakah ia dalam keadaan hidup ataukah mati. Saat Zehra Hakan telah berada di belakang punggung Nedir Aras, orang-orang kemudian meneriakkan serapah. Beberapa perempuan yang usianya nyaris sama dengan ibunya, menarik-tarik kain di atas kepala, mencubiti lengan kanan, mendorong punggung hingga ia tersungkur, namun hal itu tidak membuatnya terluka.

Matanya masih menangis. Selim mengikutinya dari belakang. Ehsan dibaringkan di atas tempat tidur ambulans. Zehra Hakan memanggil-manggil nama anak bungsunya ketika kaki kanannya telah tiba di dalam ambulans. Nedir Aras mendorongnya ke luar hingga ia terpental ke jalan. Pintu ambulans ditutupnya dengan keras. Sirene pun meraung, menjauh dari orang-orang yang berkerumun. Selim menatap ibunya tanpa bersuara. Seseorang melemparkan ludah ke permukaan jalan. Serapah itu terus terdengar hingga ke langkah terakhir penghuni apartemen. Tanpa suara, tanpa berkata-kata, Nedir Aras kembali ke apartemen dengan menaiki taksi. Ia segera memasukkan Selim ke kamar tidur dan mengunci pintu kamar. Zehra Hakan menanyakan kabar Ehsan. Apakah ia masih hidup, apakah ia baik-baik saja, yang tak mendapatkan jawaban. Nedir Aras membawanya ke dalam mobil.

Beberapa penghuni apartemen mengintip dari jendela, menyingkapkan tirai yang membatasinya dengan tempat tinggal mereka dan peristiwa yang berlangsung di bawah jendela. Nedir Aras membawanya menempuh lima belas kilometer perjalanan dalam keadaan sunyi. Pukul dua belas malam, ia tiba di pabrik kain kesayangan. Diseretnya Zehra Hakan, masih dalam keadaan sunyi. Perjalanan mereka begitu panjang dan berliku. Ada banyak lorong yang harus mereka lalui. Tak satu pun lampu dinyalakan pada malam itu. Pabrik kainnya tak pernah buka pada malam hari. Karyawan terakhirnya harus angkat kaki pada pukul tujuh malam. Kecuali petugas keamanan yang bertugas melakukan pantauan selama dua puluh empat jam, secara langsung ataupun melalui kamera cctv. Mereka tak boleh mengeluarkan pertanyaan dan pernyataan.

Pun ketika mereka harus melihat seorang perempuan yang tak pernah mereka ketahui sebagai istri dari atasannya diseret dengan satu tangan. Pabrik kain seluas lima puluh hektar itu memiliki ruang bawah tanah yang sebagian berfungsi sebagai gudang penyimpanan barang-barang yang telah habis pakai. Mesin-mesin, kain-kain, kaleng pewarna kain yang sebagian masih memiliki isi dan siap untuk dijual kembali saat Nedir Aras mengingat itu semua. Dalam ruangan seluas dua puluh meter persegi, dengan minim pencahayaan dan seluruh lantai penuh oleh potongan kain dan busuk pewarna kain, Zehra Hakan ia perintahkan untuk duduk pada kursi kayu yang pernah diduduki oleh salah satu karyawan yang mencuri kain, uang, atau karyawan lain yang melakukan kesalahan. Tidur pada jam kerja, terlambat memenuhi jam kerja selama sepuluh hari berturut-turut, ataupun melakukan skandal dengan karyawan lain.

Lihat selengkapnya