Istrinya melakukan hal yang sama. Pelukan yang diberikannya di kantor polisi adalah pelukan untuk terakhir kalinya. Piring-piring yang dilemparkan kemudian pecah mengikuti takdirnya, meminta ganti kepadanya. Ia tak memiliki pekerjaan, juga uang. Istrinya menutup pintu rumahnya rapat-rapat. Ia tak menghendakinya kembali sebelum seluruh piring yang pecah itu mendapatkan ganti. Pengemudi pabrik kain Nedir Aras telah dua kali kembali pulang dan mendapatkan pintu yang sama. Pintu yang terkunci rapat dan tak memiliki satu pun suara panggilan dari dalam. Selama tiga hari, ia mencari pekerjaan. Sebagai pengemudi. Ia tidur di salah satu bangku taman yang tak memiliki satu pun penjaga. Saat hujan turun, ia berlari menuju kedai untuk memesan teh yang masih bisa dibayarnya. Ia sarapan pada keesokan harinya, dengan roti lapis berisi sayuran yang bisa ditelannya dalam waktu lima menit. Ia menembus keramaian-keramaian dengan kemeja terburuk yang dimilikinya. Dengan cambang, janggut, dan kumis yang membuat bos pengelola taksi tak akan ragu untuk mengatakan tidak pada lamaran pekerjaan yang diajukannya. Berapa pun jumlah kilometer yang pernah ditempuhnya, berapa pun panjangnya kain yang pernah diantarkannya, berapa pun jumlah rahasia yang dimiliki olehnya. Ia merasa aman.
Tak seorang pun lelaki bersenjata yang membuntutinya untuk menelan habis rahasia yang dimilikinya. Ia menyeberang jalan tanpa menampakkan sedikit pun rasa takut pada kendaraan besar yang melintas dengan pelan ataupun cepat seperti kejutan. Ia melahap makanan murah yang bisa dibelinya tanpa didera rasa takut bahwa seseorang telah memasukkan kotoran hidung ke dalamnya. Atau tiga tetes racun yang dapat membuatnya mati seketika, tanpa ada satu orang pun tahu. Ia mandi, buang air besar, buang air kecil di toilet umum yang mengharuskannya mengeluarkan uang sebanyak 1 TL. Ia berjalan kaki dan mengabaikan tatapan orang-orang di jendela bus. Ia membuang ingus dan meludah sesuka hati. Seseorang sedang bersiap untuk menyerapahi ketika ia buang angin di hadapan mulut seorang tua berkacamata.
Seorang lelaki berpakaian kumal, berusia sekitar tiga puluh lima tahunan, melintas dengan sangat cepat di hadapan lelaki itu. Ia membuang ludah, beberapa sentimeter dari sepatu terakhir yang dipakai oleh mantan pengemudi pabrik kain Nedir Aras. Ia tak bisa marah. Ia merapatkan jaket yang dipakainya lalu berjalan menuju arah yang berlawanan dengan arah lelaki yang meludahinya. Sebuah toko reparasi barang-barang elektronik, menggantung papan bertuliskan kata açmak. Buka. Seorang lelaki yang tak bersemangat, membuka mulutnya lebar-lebar ketika didapatinya lelaki itu sedang memberinya tatapan berupa pertanyaan.
"Ada apa?" tanya lelaki yang menguap itu.
"Tak ada apa-apa. Aku hanya butuh sebuah pekerjaan," jawabnya.
Matanya berkaca. Penuh dengan genangan dari sederet pertanyaan tentang tujuan yang tak diketahuinya, yang tak pernah diketahuinya. Sebuah bus melintas dan berhenti pada salah satu durak yang tidak terlalu penuh oleh penunggu. Sebagian besar adalah perempuan lanjut usia yang enggan berbicara. Pun enggan menatap. Mereka menaiki bus ungu yang tidak terlalu penuh.
Lelaki itu memasuki bus yang pengemudinya tidak memakai seragam. Ia tampak seperti sisipan yang lupa mandi dan bercukur. Seseorang yang berdiri di dekatnya segera menepikan tubuh ke bagian mana pun bus yang kosong. Ke bagian yang tak bisa dijangkau oleh seorang lelaki yang tak memiliki pekerjaan. Ia menoleh ke beberapa lelaki yang melakukan hal yang sama.
Perempuan-perempuan yang memiliki pekerjaan melirik ke arahnya kemudian mengeluarkan tawa tipis yang bertujuan untuk menyakitinya. Ia tertawa sambil menatap telepon genggam yang cahaya lampunya membuat pantulan terang di wajahnya. Tangannya tergantung di gantungan karet bus yang tak memiliki warna. Ia memerlukan dua bus kota untuk tiba pada tujuan yang akhirnya harus ditujunya.
Ketika semua pintu di Istanbul telah menggantungkan tanda buka, namun enggan memberinya kesempatan untuk melintas, ada satu tempat terakhir yang diharapnya bisa memberinya kesempatan untuk melanjutkan hidup. Pukul lima sore, lelaki itu tiba di durak terakhir yang sepi dan berembun. Ia adalah lelaki terakhir yang turun sebagai penumpang. Ia tak memiliki uang untuk membayar jasa pengemudi yang telah mengantarkannya pada tujuan terakhir yang telah ditempuhnya. Tak ada kartu, pun dompet yang tenggelam dalam saku celana. Ia menatap pengemudi bus kota selama beberapa detik yang tersisa. Pengemudi bus kota menatapnya selama beberapa detik kemudian mengibaskan tangan.