Hujan turun pada pagi itu. Orang-orang bertebaran. Mereka mengelilingi pabrik kain Nedir Aras yang dikelilingi oleh banyak pagar dan kawat. Di tangan mereka, terdapat kayu berukuran sekitar satu meter yang mereka pakai untuk memukul pohon-pohon yang mengelilingi pabrik kain. Tiang listrik yang menancap sejumlah belasan, pun mendapatkan pukulan bertubi. Mereka adalah orang-orang yang tak pernah dan tak ingin merasakan meja dan kursi di sekolah. Perut mereka meskipun tidak sepanjang hari mencicipi keratan daging, tetap saja menggaungkan rasa lapar.
Rasa lapar itu menambah jumlah pukulan mereka di tiang listrik. Petugas keamanan mengatupkan bibir rapat-rapat. Mereka tidak menyalakan tombol merah di bawah meja. Pun tidak menghiraukan dering telepon yang terdengar berkali-kali. Jumlah mereka begitu banyak. Mereka tersebar. Mereka berada di balik pepohonan, di atas rerumputan, di balik mobil-mobil sedan tua kepunyaan seseorang yang tak memiliki ruang untuk parkir. Pukulan mereka telah dimulai sejak Nedir Aras belum memarkirkan kendaraan hitam berkilau di pelataran parkir yang lapisan saljunya belum terlalu tebal. Di seberang jalan, perempuan-perempuan yang berharap Zehra Hakan segera mati, telah berjajar dengan memakai jaket yang warnanya mencolok mata. Rambut mereka digeraikan. Rambut kuning dengan cokelat di sela-sela rambut.
Dengan bibir yang diberi balutan glitter yang semoga saja bisa memalingkan pandangan Nedir Aras kepadanya. Mereka memakai parfum dan jimat pemikat yang dituliskan di atas kertas kemudian mereka selipkan di tengah penyangga dada. Mereka percaya hal itu dapat membuat seorang pemilik pabrik kain terpikat. Jika mereka tak dapat menjadi istri kedua, mereka dapat menjadi salah satu nominasi sebagai pengganti Zehra Hakan, kalau-kalau maut tiba kepadanya lebih cepat. Mereka telah menanam mimpi itu sejak jauh hari. Sejak pabrik itu masih berupa dua gedung berisi puluhan orang yang tidak banyak berbicara. Mereka gemar membuntuti mobil, lengkap dengan kamera yang meskipun tidak terlalu bagus, bisa mengabadikan setiap langkah kaki lelaki yang memiliki bekas luka dalam di sekitar mata. Perempuan-perempuan itu bekerja sama dengan lelaki-lelaki yang memukuli tiang.
Ketika Nedir Aras tiba di pelataran parkir, sekretarisnya menghampiri. Tanpa setumpuk kertas yang harus ditandatangani. Nedir Aras menyimpan pertanyaan dalam benak, apakah perempuan berusia dua puluh lima tahun itu tahu tentang seorang perempuan yang berada dalam ruangan yang kuncinya ia memiliki. Ia mengabaikan suara-suara di luar sana yang memintanya pergi lalu membagikan beberapa TL dari yang dimiliki. Ia memiliki jadwal untuk itu. Tanpa bersuara, ia meminta sekretarisnya bersama dua orang asisten untuk menghubungi siapa pun yang memiliki toko pakaian terdekat dengan pabrik kain. Sekretarisnya sangat mengetahui hal yang harus dilakukannya. Ia akan menghubungi seorang pemilik pakaian stok lama dan menggelarnya di pinggir jalan, di sebelah tempat sampah yang sampah basahnya memenuhi setiap bagian trotoar jalan. Pesta diskon harus digelar dengan harga paling terjangkau. Lima TL hingga lima belas TL.
"Bagaimana jika hal itu masih juga tidak dapat membuat mereka berhenti melakukan keributan?" pemilik toko pakaian itu bertanya. Pertanyaan yang tak bertukar dengan jawaban sekretaris Nedir Aras.