Lelaki itu kembali ke rumah yang telah ia tempati selama bertahun-tahun. Ia pulang dengan tanpa membawa selusin pun piring. Istrinya menatapnya dengan nanar. Ia menunjukkan meja makan berisi gelas dengan seperempat gelas teh dari jarak paling tinggi yang bisa dicapainya. Ia memakai piring paling lebar dari yang tersimpan dalam lemari dapur. Piring yang biasa dipakainya untuk menyajikan karbohidrat dan irisan vitamin A. Pun vitamin B. Istrinya menagih piring-piring. Lelaki tinggi yang telah banyak kehilangan berat badan itu tidak menjawab. Kabut hitam di bawah mata semakin tebal. Angin dingin menyelinap melintasi pintu yang belum ditutup. Ia melangkah menuju kamar, menuju lemari tempat ia menyimpan segala yang masih tersisa.
"Apakah aku telah melupakan sesuatu?" tanya istrinya.
Ia enggan menutup pintu. Pakaian tidur yang dipakainya tidak membantunya mengatasi rasa dingin. Lelaki itu tidak menemukan apa yang dicarinya. Ia berjalan menuju laci berisi barang-barang tak berguna. Bedak, gincu bibir, dan kertas-kertas tagihan listrik yang belum dibayar. Kemudian ia teringat suatu tempat yang di sanalah segala yang semula terlupa dapat lebih mudah ditemukan. Lelaki itu pergi ke kamar mandi. Istrinya mengikutinya dari belakang. Lelaki itu membuka penutup toilet yang selalu dilewatkan oleh istrinya tiap kali ia membersihkan setiap bagian. Kaca, lantai, dan lubang toilet.
"Apa itu?" tanya istrinya saat melihat suaminya sedang mengambil sesuatu dari bagian belakang toilet.
Sebuah bungkusan plastik yang sebelumnya telah direkatkan dengan kertas dan beberapa lapis selotip. Istrinya mengulangi lagi pertanyaan. Lelaki itu tidak menjawab. Tak ingin menjawab. Tanpa menolehkan wajah ke belakang, ia menerobos pintu apartemen yang juga tidak ditutupnya. Dari lubang kunci, anak pertamanya sedang mencari tahu, apa yang sedang terjadi dengan Baba dan Anne.
Lebih dari pukul sepuluh malam, lelaki itu turun dari bus yang telah kehilangan penumpang sejak lima durak sebelumnya. Seperti telah mengetahui, pengemudi itu tidak mempertanyakan tentang uang atau kartu yang harus disetorkannya sebagai pengganti biaya perjalanan. Ia melenggang dengan kekuatan penuh, menahan lapar yang mendera. Gigil dirasakannya hingga segala rambut yang melekat di tubuhnya berdiri. Ia baru teringat dengan jaket tebal yang tergantung di ruang kamar. Ia tak membawanya. Dengan kaki yang berderak dan angin yang memukul pipi kanan dan kiri, lelaki itu berdiri di depan pagar pabrik kain Nedir Aras hingga keesokan harinya. Lelaki penjaga keamanan yang berbeda, mengawasi dari ruangan yang tidak memiliki suara. Salju turun bertubi, hampir membuatnya mati. Petugas keamanan yang dulu pernah bertukar sapa dengannya hingga berbagi isi mangkuk makan siang, menghampirinya untuk memberikan mantel dan selimut. Tanpa kata. Ia menunggu di depan pintu pagar yang kuncinya tersimpan aman di dalam saku celana. Ketika jam di dinding telah berdentang sebanyak satu kali, petugas keamanan itu melintasi pintu pagar kembali dan menyerahkan secangkir teh hangat. Tanpa suara, ia menoleh ke kanan dan kiri. Anjing melolong di luar.