Rintik dan Rincik di Istanbul

Eka Retnosari
Chapter #53

AFiYET OLSUN (SELAMAT MAKAN) XVIII

Peluh membasahi semua bagian wajah. Ia mengelap wajah dengan punggung tangan yang keriput oleh usia. Setiap jemarinya menebarkan aroma teh yang selalu diakrabinya sambil mengenang masa-masa ketika ia masih berada di pabrik tempatnya pernah bekerja. Ia memiliki beberapa kawan yang memiliki akhir hidup yang sama dengan Zeki Hakan. Mati sebagai seseorang yang ditukar dengan harga seribu lima ratus TL dan desas-desus sebagai penutup.

Nuray Petek dalam ceramahnya berkata, “Media sosial telah menjadi rumah sakit jiwa bagi siapa pun yang tidak terbiasa memiliki teman dalam hidup. Ia menjadi tempat bagi petualang yang tak memiliki siapa pun lagi di dalam keseharian. Seorang penipu akan mencari orang-orang dungu yang bisa ditipu. Seseorang yang polos yang dalam kesehariannya tidak pernah mengenal dengan baik seluk-beluk manusia. Kesehariannya, pergaulannya, keluarganya, dan lain sebagainya. Media sosial bagi anak usia belasan hingga dua puluhan awal menjadi semacam tempat sampah. Mereka melontarkan umpatan, gunjingan, cemoohan, hardikan, dan sindiran kepada siapa pun yang mereka mau.

Tentang keluarga mereka yang tidak memperlakukan dengan baik, tentang teman-teman yang buruk, tentang harapan-harapan mereka yang berupa angan-angan kosong. Kekasih-kekasih yang tak pernah mereka miliki. Pukulan-pukulan yang mereka terima pada setiap hari. Cita-cita yang tak pernah berhasil terwujud dan tak akan mungkin terwujud. Masing-masing saling berperang. Mereka membentuk komunitas, mengumpulkan massa yang akan berguna saat mereka mengeluarkan kata-kata dan kalimat yang memancing perseteruan dengan orang yang mereka anggap sebagai lawan.

Media sosial menjadi papan iklan yang mempromosikan hal-hal yang tak akan berguna dalam keseharian mereka. Mereka mengiklankan kepribadian, mobil-mobil milik seseorang yang melintas, wajah dengan tampilan terbaik, slogan-slogan yang telah mereka cari sekuat tenaga di halaman buku dan mesin pencari dunia maya. Mereka mengetikkan kata-kata bahagia sambil berurai air mata. Dada mereka menggelegak marah ketika melihat foto pesaing mereka yang pada kehidupan nyata selalu mereka temui di dunia kerja, sekolah, ataupun lingkungan rumah. Mereka menuangkan sapa, kata, atau pertanyaan sekadar menarik perhatian massa pesaing.

Mereka ingin membuat massa pesaing mereka berpikir bahwa dirinya lebih baik. Lihatlah aku, aku jauh lebih cantik. Aku memiliki jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Tentu isi kepalaku lebih penuh dibandingkan dengan ia yang hanya mengunggah foto yang itu pun harus diperbaiki berkali-kali dengan aplikasi penyunting foto yang mereka unduh secara cuma-cuma. Saat mereka mendapatkan ratusan pujian, hati mereka akan luar biasa bahagia. Ada rasa hangat yang menjalar di dada. Kepada seseorang yang duduk tak jauh darinya, mereka akan menyebutkan dan memamerkan itu sebagai prestasi. Mereka tidak mencari tahu dari manakah semua pujian itu berasal.

Lihat selengkapnya