Rintik dan Rincik di Istanbul

Eka Retnosari
Chapter #56

AFiYET OLSUN (SELAMAT MAKAN) XX

Berkas terakhir telah ditandatangani. Nedir Aras menyelipkan surat yang harus diantarkan ke suatu tempat. Ketika sekretarisnya telah menutup pintu dengan ucapan 'iyi gunler', Nedir Aras teringat pada mangkuk çorba yang belum ditengoknya. Perlahan, dengan ketenangan salju yang turun pada pertengahan Januari, dilangkahkan sepasang kakinya pada tapak-tapak yang setiap minyak dan kotorannya telah dibersihkan oleh seorang petugas kebersihan yang tak pernah bersuara. Perjalanan menuju tempat Zehra Hakan terduduk sambil menunggu apa pun yang akan menimpanya, dilalui dalam keadaan sunyi.

Telapak kaki bersepatu kulit itu memiliki suara gaduh yang dapat membangunkan karyawan yang menghuni 10x15 meter ruangan. Aroma serat kain dan benang-benang yang dipintal oleh mesin yang beroperasi selama empat belas jam menusuk hidung yang tidak memakai masker. Pintu besi dengan lebar dua meter itu memiliki celah berbentuk persegi yang dilapisi kaca. Dari kotak persegi itu, siapa pun dapat melihat kepala-kepala yang tertunduk. Dengan masker kain berwarna biru langit. Pun plastik penutup kepala yang akan terdengar gemerisik saat karyawannya mencoba untuk saling berkomunikasi dengan bahasa apa pun. Namun, hal itu sangat jarang terjadi. Mereka tak diizinkan untuk berbicara. Bahkan, dengan sekedip pun mata.

Seorang pengawas berusia empat puluh enam, dengan masker kain yang selalu digantinya tiga kali sehari, selalu berjaga di tengah ruangan. Pada bagian yang akan dijajari karyawan yang semuanya adalah perempuan. Nedir Aras sembilan meter dari tangga. Tangga itu berdampingan dengan ruang dengan luas yang sama. Ruangan itu memiliki jumlah pekerja lebih banyak dari pekerja yang menghuni ruangan beraroma benang. Kegaduhan selalu terdengar dari ruangan itu. Pintu dengan ukuran yang sama, tak memiliki kotak persegi kaca. Namun, semua orang yang tinggal di pabrik kain Nedir Aras selama empat belas jam atau lebih dari itu, telah terbiasa dengan kegaduhan. Setiap bulan, Nedir Aras selalu menerima kiriman berkotak-kotak palu besi untuk menggantikan palu-palu lain yang telah berkarat atau terlepas bagian atasnya.

Palu-palu itulah yang dipakai oleh karyawan Nedir Aras yang lain, untuk melunakkan karet-karet hitam yang kelak akan berubah menjadi ban atau benda lain. Selain itu, tak ada mesin. Tak ada kegaduhan yang berasal dari tombol yang bisa ditekan oleh seorang pengawas berusia empat puluh enam. Nedir Aras berjalan menelusuri anak tangga dengan tangan kanan memegangi tiang yang dinginnya tiba di kulit. Ia tidak terkejut dengan dingin itu. Pun ketika didapatinya lantai paling bawah pabrik kain telah dipenuhi jejak sepatu kotor seseorang yang telah bisa ia tebak secara tepat. Begitu mudah menemukan sesuatu yang kotor ketika ia terselip di antara lantai yang memantul bersih.

Sepasang sepatu Nedir Aras berjalan menelusuri jejak yang terdapat butiran salju. Jejak itu berjajar rapi hingga ke depan pintu berukuran dua meter, ke tempat ia meletakkan istrinya. Seseorang telah membuka pintu dan membawa istrinya pergi. Tanpa kesulitan, Nedir Aras tidak terjebak pada keadaan ketika ia harus menebak seseorang yang dengan lancangnya melakukan hal yang harus ia lakukan. Ia membalikkan punggung. Masih dengan ketenangan yang sama, ditelusurinya anak tangga. Ketika ia tiba di penghujung, ketenangan yang biasa merayapi sepanjang waktu, raib begitu saja. Ia menyapukan pandangan ke seluruh bagian. Kepada abu-abu metalik yang melapisi setiap dinding pabrik. Kepada kawat tinggi di halaman belakang pabrik yang dipenuhi mobil van yang beberapa di antaranya telah beranjak menuju tujuan masing-masing.

Dengan mata dan wajah yang terpaku pada kawat tinggi yang memiliki pintu dengan ukuran yang sama, ia menghitung jumlah mobil van yang biasanya ada di sana. Ada tiga mobil van milik tiga pengemudi yang kini tengah bersiap dengan kotak-kotak berisi kain-kain pesanan. Biasanya empat. Nedir Aras yang dapat menghafal setiap angka dengan sangat baik, dapat segera memahami yang sedang terjadi. Hanya saja, ia tak mengetahui bagaimana hal itu bisa terjadi. Jantungnya tidak berdebar. Tak ada sedikit pun rasa khawatir yang merayapi hati. Ia mendongakkan wajah ke langit yang seluruhnya berwarna putih. Ia berkacak pinggang dan berkata sial kepada dirinya sendiri. Ia menyesalkan dirinya yang merasa telah dikalahkan oleh seorang lelaki yang pernah ia pekerjakan.   

Lelaki tinggi yang pada pertengahan Januari hampir mati dengan gigilnya, dengan tanpa sehelai pun jaket, tersenyum lebar di balik kemudi. Wajahnya telah penuh dengan rambut yang tak pernah lagi memiliki sempat untuk dipangkas. Dengan kecepatan 120 km/jam, mobil van itu melaju, menerobos berbagai lintasan. Ia bergerak menuju perbatasan. Di kursi belakang, pada ruang lengang yang biasanya penuh dengan kotak berisi kain, terdapat Zehra Hakan yang terduduk dengan kedua tangan berpegangan pada dinding mobil yang melaju kencang. Ia memperkenalkan diri sebagai istri dari lelaki yang tak pernah mencemaskan hari esok. Lelaki tinggi itu segera menertawakan.

Lihat selengkapnya