Rintik dan Rincik di Istanbul

Eka Retnosari
Chapter #57

AFiYET OLSUN (SELAMAT MAKAN) XXI

Kata-kata yang teruntai dengan rapi yang ditulis dengan tinta hitam yang sebagian tebal dan sebagian tipis itu dibacanya dengan geram. Untuk pertama kalinya dalam hidup, ia membaca setiap kata yang ditulis oleh seorang perempuan yang menyalakan kompornya selama satu kali setiap harinya. Lembar demi lembar catatan harian. Pun surat-surat yang tertuju kepada ibunya. Hingga coretan yang ditulis secara sembarang pada tepian kanan, kiri, atas, atau bawah halaman kertas folio bergaris. Sulit untuk percaya bahwa Zehra Hakan menuliskan huruf-huruf itu. Segala muatan yang ada dalam kepala telah penuh oleh apa pun yang terkait dengan pabrik kain.

Tak hanya dinding metalik dan warna seragam pegawai, pun lembaran yang harus ia lahap setiap harinya. Jawaban-jawaban yang kemudian ia lontarkan kepada sekretarisnya adalah hal yang selalu ia siapkan sejak bangun pagi. Hingga pada beberapa menit menjelang rasa kantuknya tiba, Nedir Aras tak tahu bahwa di sela-sela kewajiban yang harus dipenuhi, Zehra Hakan melakukan hal lain selain menuliskan angka-angka. Berapa banyak lira yang hari itu ia belanjakan untuk tepung, mentega, dan telur. Berapa banyak yang kemudian tersisa dan menempati tempat penyimpanan paling aman, yaitu stoples kue di lemari dapur. Nedir Aras membuka jendela dapur, menyalakan api kompor, kemudian membakar kertas berisi goresan tangan Zehra Hakan.

Tepat di depan jendela dapur yang berhadapan dengan pertigaan apartemen kuning dan merah muda. Surat-surat itu lebih mudah terbakar daripada catatan harian berisi tanggal-tanggal Selim mulai bisa membaca dan menulis. Kapan ia mulai bertanya tentang sepeda. Kapan Ehsan mulai bisa berbicara. Ada tanggal dan hari yang kemudian kosong tanpa kenangan. Tidak setiap hari, Zehra Hakan menuliskan apa yang terjadi dengan harinya. Nedir Aras membakar buku catatan itu hingga habis. Angin musim dingin yang dingin menerbangkan serpihan hingga kemudian ia jatuh ke atas atap mobil seseorang. Ke permukaan jalan. Ke atas kepala seseorang. Ke permukaan sepatu yang diinjak seorang penghuni yang enggan berbicara.

Selim muncul di depan pintu kamar dengan tanpa mengucapkan sepatah pun kata. Ia ingin tahu apa yang sedang dilakukan oleh ayahnya. Ada saus tomat yang ditinggalkan oleh botol yang ia tekan dengan seluruh tenaga yang ia miliki. Nedir Aras menjemputnya pukul setengah sepuluh malam. Tak ada kantuk yang tiba di mata. Perutnya yang lapar kemudian terdengar di telinga Nedir Aras. Hal itu tidak membuatnya melakukan sesuatu. Ia membiarkan Selim melakukan hal yang ingin dilakukannya pada sisa harinya. Tanpa kehadiran Zehra Hakan, keduanya nyaris tak bisa berkata-kata. Selim menyeret tas ransel dan memasuki kamar dengan mata menatap ke pintu. Beberapa kali Nedir Aras melintasi pintu. Beberapa kali itu pula dadanya berdegup kencang karena rasa takut yang mendera. Pada hari sebelumnya, Selim membisikkan pertanyaan.

"Anne ke mana?" Nedir Aras enggan menjawab.

Ia segera meraih telepon genggam dan berbicara dengan seseorang menggunakan bahasa yang tidak bisa ia mengerti. Selim menghitung waktu yang ia habiskan untuk bertelepon. Seusai membakar surat-surat dan buku catatan harian Zehra Hakan, Nedir Aras menutup pintu kamar Selim kemudian menguncinya. Tak lama kemudian, terdengar suara laju mobil yang sudah sangat dikenalnya. Nedir Aras mengunjungi Ehsan seorang diri.  

Wajah itu bergantian melintasi kaca etalase toko pakaian yang harganya tak akan pernah bisa ditukar dengan seratus lira yang tersisa dalam dompet mungil yang tersimpan dalam tas suvenir khas Turki. Wajah tanpa senyum itu melintasi istri Zeki Hakan yang sedang berdiri di samping tombol yang telah beberapa kali dilintasi beberapa tangan untuk menekan laju kendaraan-kendaraan yang melintas. Ia sedang menunggu seseorang yang tidak sedang berjalan dengan terburu-buru. Siapa tahu di antara banyak wajah itu, ada seseorang yang bisa memberinya petunjuk. Jalan paling mudah untuk tiba ke Fatih. Ke apartemen yang dikelilingi banyak bangunan beraneka warna.

"Kapan terakhir kali kau mengunjunginya?" seseorang bertanya.

"Aku tidak pernah mengunjunginya," jawab istri Zeki Hakan.

Napasnya tersengal. Dengan uap dingin yang mendesak siapa pun untuk memberikan segelas teh. Ia membayangkan seseorang itu adalah Zehra Hakan.

Lihat selengkapnya