Rintik dan Rincik di Istanbul

Eka Retnosari
Chapter #59

OZUR DiLERiM (MAAF) II

Angin paling dingin menerpa wajah. Mobil van itu terhenti di tengah hutan, di samping universitas yang lampu-lampu tepi jalannya tidak menyala. Sama seperti lampu belakang mobil. Zehra Hakan masih terbaring dengan dahaga dan perut yang dilanda rasa lapar. Pohon-pohon setinggi lima puluh tiga meter menjulang, berderet rapi seperti barisan. Terdapat tujuh lampu dengan sinar yang meredup pada dua bola lampu di depan aula yang biasa dijadikan seminar ataupun konferensi. Lima ratus meter dari aula, terdapat gedung asrama yang terdiri atas sembilan belas lantai. Pada masing-masing lantai, terdapat koridor sepanjang lima belas meter dengan pintu kamar berpasangan. Gedung abu-abu, gedung merah muda, dan gedung biru muda. Tidak semua gedung memiliki lampu-lampu yang menyala. Hanya beberapa gedung dan beberapa kamar saja yang nyala lampunya dapat terlihat dari tempatnya berdiri. Salju yang turun selama empat jam, tak membuat lapangan luas di universitas itu menjadi putih. Ia tetap berwarna hijau segar meskipun dingin. Ia tak memakai jaket. Telah lama ia kehilangan kemampuan untuk membedakan rasa dingin. Abai pada hal yang akan menimpa dirinya. Lelaki itu mengusapkan pandangan mata, memastikan tak ada satu pun manusia yang berkeliaran di luar sana.

Lolongan anjing terdengar kemudian. Disusul dengan suara serigala, beradu pesan dengan kabutnya malam yang hampir tiba pada angka satu malam. Jalan telah demikian sepi dari kendaraan. Hutan di samping universitas itu lebih mirip dengan hutan yang berderet di Kutub. Rasa dingin tiba-tiba menerkam batang leher. Punggung tangannya mengusap dingin itu, menepis rasa yang hinggap di hati. Letusan senapan terdengar tiga kali dari arah hutan. Lelaki itu menebak, mungkin saja seseorang sedang membidikkan senapan ke salah satu serigala. Membidiknya tepat ke kelopak mata dan tengah perutnya kemudian membawanya ke tengah meja untuk menghadirkannya sebagai sebuah hidangan. Tak ada asrama polisi yang mengelilingi kampus tersebut. Bayangan hitam seorang perempuan terlihat dari arah depan pintu asrama yang memiliki cahaya lampu redup. Paling redup di antara semuanya. Lelaki itu berkacak pinggang. Merasakan perih di perut. Perih paling dalam dari yang pernah ia rasakan. Dari kejauhan, lelaki itu dapat melihat Istanbul yang semula gemerlap. Perlahan, satu persatu lampu itu redup. Nyalanya tidak seterang seperti ketika pertama kali melihatnya. Dalam waktu yang nyaris bersamaan, lampu-lampu itu padam satu persatu sehingga Istanbul benar-benar menyerupai malam. Di samping kiri gemerlapnya lampu, terdapat danau yang tak lagi sering diperbincangkan oleh orang-orang. Biasanya, tiap akhir minggu, sebagian penduduk Istanbul akan pergi ke sana untuk berakhir pekan. Membuat roti atau memanggang paha ayam sambil menerbangkan balon gas ke udara. Hidungnya menangkap aroma kotoran manusia yang membusuk. Perutnya terasa mual. Berpadu dengan perihnya rasa lapar. Lelaki itu muntah. Ia memuntahkan air minum yang ditenggak dari botol yang tak pernah sampai kepada Zehra Hakan. Kembali ia mendengar letusan senapan dengan jarak yang begitu dekat. Suaranya terdengar seperti serangan bertubi. Ia mengeluarkan telepon genggam untuk menghubungi Nedir Aras. Ia ingin mengonfirmasi apakah Nedir Aras telah bisa mentransfer uang sejumlah satu juta dari yang dimintanya. Namun, panggilannya tak berujung dengan jawaban. Tak ada sinyal yang mampir di telepon genggam. Tak ada suara yang terdengar di telinga. Truk penggiling semen melintas dengan sangat lambat. Lelaki itu menatap truk itu hingga ia menghilang di bahu jalan. Ia memikirkan langkah selanjutnya. Dilongoknya Zehra Hakan yang masih terbujur dalam diam. Diam-diam ia mempertanyakan segala hal yang membuatnya diam. Ia mempertanyakan apakah perempuan itu dapat berbicara dengan Nedir Aras. Dengan kata dan bahasa apa mereka berbicara. Seperti apa suara mereka saat berada di kamar tidur. Apakah mereka memiliki anak. Bagaimana bisa mereka memiliki anak. Lelaki itu memuntahkan isi perutnya sekali lagi. Setelahnya, ia merasa kepalanya berputar. Hampir saja ia jatuh pingsan.  

*  

Sebotol air ditenggaknya tidak sampai habis. Istri Zeki Hakan menuruni dolmus yang memuat sesak penumpang-penumpang berkemeja. Sejenak dilupakannya muntahan pertanyaan yang tertuju kepadanya ketika pengemudi dolmus biru itu mempertanyakan tentang tujuan. Pertanyaannya terhenti ketika dengan tangan bergetar, disodorkannya kertas berisi alamat.

"Aku harus turun di sini?"

"Ya," jawab pengemudi dolmus biru-hitam itu.

Sebelum sepasang kakinya melangkah dari pintu, seorang penumpang perempuan berusia sekitar empat puluhan, menyodorkan sebungkus roti. Istri Zeki Hakan segera mengucapkan terima kasih. Berulang kali. Digenggamnya kemudian dipeluknya roti itu ke dada. Matanya berkaca. Hampir menjatuhkan air mata. Perempuan berusia empat puluhan itu melambaikan tangan. Ia melindungi sorot mata dari terik matahari.

Lihat selengkapnya