Rintik dan Rincik di Istanbul

Eka Retnosari
Chapter #60

OZUR DiLERiM (MAAF) III

Zehra Hakan memuntahkan angin. Perutnya yang berisi çorba, ditekannya dengan punggung tangan. Tangan kirinya berpegangan ke tepi mobil van yang berguncang-guncang. Lelaki yang pernah menjadi pengemudi pabrik kain Nedir Aras membelokkan mobil van itu secara tiba-tiba sehingga menghasilkan benturan. Ada sesuatu yang ganjil yang tengah terjadi di luar sana. Mobil van itu telah melintasi perumahan, apartemen, dan gedung perkantoran. Lampu-lampu itu telah dipadamkan. Kendaraan-kendaraan itu telah meninggalkan jalanan. Tak ada manusia yang melintasi trotoar atau duduk di halaman untuk mempertanyakan mengapa tak ada rembulan pada minggu pertama. Malam tiba pada dini hari. Namun, belum tiba pada waktu paling tepat untuk memadamkan lampu-lampu di seluruh bagian rumah ataupun halaman. Jalanan tampak begitu sepi. Perjalanan malam itu adalah salah satu dari banyak perjalanan yang pernah dilalui. Mobil van itu melaju semakin kencang, melintasi lampu lalu lintas yang tidak menjalankan tugas.

"Bolehkah aku meminta sedikit air?" Zehra Hakan memohon.

Lelaki itu tak menjawab. Dalam dinginnya malam musim dingin, keningnya dibanjiri bulir keringat yang datang dari pori-pori kulit kepala. Bibirnya mengerut karena kesal.

"Tuan, bolehkah aku meminta sedikit air? Atau makanan..." Zehra Hakan memohon.

Lelaki itu menengok seisi jalan, meluaskan pandangan mata. Memasuki jalan layang yang diapit oleh apartemen yang seluruhnya tak memiliki cahaya lampu. Bahkan, pada bangunan-bangunan setelahnya. Lima kilometer lagi, mobil van itu akan tiba di Eminönü. Ia akan memberhentikan mobil van itu.

"Tuan, bolehkah?" Zehra Hakan kembali memohon.

"Bisakah kau diam?!" seru lelaki itu dengan mata yang tak lepas dari jalan yang semakin lengang.

Zehra Hakan bersandar di dinding mobil van. Kain kerudung di kepalanya terburai hingga memperlihatkan helaian rambut. Saat itu, kakinya tak lagi memakai alas kaki. Telapak kaki dan kuku jemari berwarna putih seperti salju yang tak hendak jatuh. Mobil van itu berputar-putar, mencari jalan keluar.  

Pukul tujuh, seluruh langit telah berwarna putih. Awan menyebar di utara. Di langit sebelah timur, merah muda telah menempati sudut untuk hadir sebagai tujuan. Mobil van itu hampir berhenti di tengah jalan. Ia kehilangan tiga perempat bahan bakar. Minyak dan lemak telah melekat dengan sempurna di wajah. Dari kaca spion tengah, lelaki itu dapat melihat Zehra Hakan tertidur. Diam-diam ia menyingkirkan rasa sesal yang tertinggal usai menghabiskan sisa air mineral dalam botol. Semula, mobil van itu bergerak menuju Eminönü. Ia berencana untuk menghentikan mobil van itu di samping deburan ombak yang menghantam tepian tanpa pembatas. Untuk kemudian menghubungi Nedir Aras. Mempertanyakannya tentang uang yang akan dikirim dan istri yang tak sedikit pun dipertanyakan. Ia kemudian memutar arah mobil van putih. Mobil van itu kembali menelusuri jalan sepi tanpa satu pun kendaraan. Tanpa satu pun manusia berlalu lalang di trotoar.

Ia mengarahkan mobil yang bukan miliknya itu ke satu-satunya tempat pulang setelah ribuan tempat tak lagi bisa diketuknya. Mobil van itu terparkir, tiba di halaman apartemen lima lantai, tempat istrinya berada. Setiap lantai yang ada, tak menyisakan cahaya. Gulita. Pun tak ada suara orang bercakap ataupun televisi dan radio yang dinyalakan untuk memecahkan kesunyian agar seseorang yang tinggal di dalam sana tak jatuh dalam kesepian yang dibuat oleh keadaan. Tak ada lift. Lelaki dengan sepasang kaki lenjang, dengan kulit dan daging yang semakin tipis membalut tulang, menaiki anak tangga. Beruntung karena sepasang telinga tak mendengar satu pun pertengkaran. Ia mematung di depan pintu rumah. Tak membutuhkan waktu lama, lelaki itu mengetuknya untuk kemudian bertemu dengan kesunyian yang sama. Sunyi yang juga pernah ditemukannya ketika pada suatu masa, ia tiba pada rentang waktu yang penuh oleh perintah untuk diam. Ia mengetuk pintu itu lagi. Sunyi. Tak ada suara terdengar. Bahkan, langkah kaki. Lelaki itu kemudian berpikir tentulah istrinya masih dalam keadaan marah. Ia kemudian mengetuk-ketuk kembali pintu itu. Beberapa detik kemudian, terdengar suara langkah kaki istrinya. Pun suara anaknya.

"Anne, ada siapakah di luar sana?"

"Aku tidak tahu," jawab istrinya.

Lihat selengkapnya