Derap langkah sepatu terdengar begitu rapi, senada, dan selaras. Sepatu-sepatu itu menaiki anak tangga apartemen paling kumuh di salah satu kawasan gecekondu. Di salah satu lantai, derap langkah sepatu itu menemukan jeda. Dideranya pintu yang masih memiliki celah. Entah karena lupa ataukah kesengajaan, seseorang yang tinggal di dalamnya tidak mengunci pintu. Seseorang di balik pintu itu segera melakukan perintah. Menutup pintu, mengunci, dan berusaha untuk tidak mencari tahu peristiwa yang terjadi di luar pintu. Derap langkah sepatu yang rapi dan bertalu itu melanjutkan kembali perjalanan. Menuju pintu tempat istri Zeki Hakan biasanya berada.
Mereka melakukan ketukan yang tak bertukar dengan jawaban. Dua kali ketukan lagi yang bertukar dengan kesunyian yang panjang. Menjelang malam saat itu. Langit sedang memancarkan keindahan dengan matahari disepuh warna jingga. Pun ungu dan merah muda. Sepanjang koridor apartemen, kegelapan saja yang ada. Tak satu pun lampu dinyalakan. Mereka datang terlambat. Salah satu dari mereka melemparkan pertanyaan dengan sudut mata, apakah mereka ada di dalam ataukah tidak. Seseorang menggelengkan kepala. Tak ada cahaya dan langkah kaki. Mereka berencana untuk kembali pada keesokan hari. Satu minggu sebelumnya, Zeki Hakan telah mereka makamkan di salah satu Tempat Pemakaman Umum, dengan dihadiri petugas dan kepala keluarga wilayah gecekondu. Mereka yang datang dengan derap langkah sepatu itu telah mengetahui. Namun, mereka tak mengetahui tentang kepergian anak pertama Zeki Hakan dan istri. Istri Zeki Hakan pun tak mengetahui keberadaannya. Ia menghadiri pemakaman ayahnya. Tak ada air mata yang jatuh dari kelopak mata. Ia berdiri dengan tenang dan kepala menunduk. Ia menengadahkan tangan seperti lelaki-lelaki lain yang juga mendoakan Zeki Hakan. Setelahnya, lelaki berusia tiga puluhan itu menghilang. Ibunya tidak mencarinya. Bukan sekali itu saja, anak lelakinya pergi secara tiba-tiba atau menghilang tanpa kabar. Tak ada kecemasan yang terbit di hati.
Pada akhirnya, anak lelakinya akan pulang juga. Tanpa mengisahkan hal-hal yang bisa dilakukannya, anak lelakinya akan memasuki kamar dan bergabung dengannya di meja makan. Mengisi perutnya yang kosong untuk kemudian menanyakan apakah ada yang bisa dibantunya. Mencuci piring atau membersihkan lantai kamar mandi. Ia belum memiliki pekerjaan tetap dan istri yang kelak akan dibawanya untuk tinggal di salah satu apartemen berkamar satu di wilayah yang sama dengan yang ditempati oleh ibunya. Ia akan menjadi satu-satunya penjaga bagi ibunya yang telah lama melepaskan anak keduanya untuk menikah dengan seorang lelaki yang dapat meyakinkannya dengan satu kali pandangan.
“Abla, apakah sedang menunggu seseorang?” tanya seseorang yang adalah salah satu penghuni apartemen.
Seorang perempuan dengan rambut cokelat bersama seorang anak kecil berusia sekitar tujuh tahun. Ia juga memiliki rambut cokelat. Dengan mata berbentuk kacang almond yang utuh dan terang meskipun matahari telah demikian redup. Istri Zeki Hakan menggelengkan kepala. Dibersihkannya sudut bibir dengan ujung lengan pakaian. Ia mengangkat tubuh.
“Aku sedang mencari puteriku. Ia tinggal di sini. Aku tak tahu nomor rumahnya,” istri Zeki Hakan bertanya.
“Siapakah nama puterimu, Abla?”
“Zehra. Zehra Hakan,” jawabnya.
Perempuan berambut cokelat itu menarik napas dan menahannya dalam dada. Diembuskannya napas sambil menarik ujung tangan anaknya yang memainkan baling-baling yang tak berputar. Tak ada angin petang itu.
“Apakah kau mengenalnya?” tanya ibu Zehra Hakan.