Dalam waktu satu jam, berita meledaknya gudang pabrik kain Nedir Aras tersebar hingga televisi dan radio. Nedir Aras yang saat itu sedang melajukan mobil dari Eminönü menuju Fatih, mendapatkan dering telepon dari ayahnya. Sejenak, ia menepikan mobil untuk terlibat dalam percakapan yang kelak membuatnya harus membatalkan semua rencana pernikahan yang telah disusun dengan rapi. Pada pertengahan tahun dua ribu, Nedir Aras berada di bagian tengah dari piramida multilevel marketing tingkat dunia yang tengah dibangunnya. Nedir Aras, diam-diam, mendirikan pabrik ketika ia masih merangkak di tingkatan paling bawah bisnis yang sedang ditekuninya. Mirac Aras percaya dengan jumlah modal yang turut dititipkan. Nedir Aras mengembalikannya ketika pabrik kain telah mencapai bagian puncak dari piramida kesuksesan yang dibangunnya. Tak lupa, dua puluh persen dari modal yang kemudian bertambah dari tahun ke tahun itu, ia kirimkan kepada penagih yang kelak bertugas untuk memastikan segalanya berjalan dengan lancar. Tak ada hambatan yang menghalangi laju kendaraan yang berlalu-lalang di sepanjang jalan. Tak ada pungutan, selama ia menjalankan bisnis kain. Mirac Aras mendaratkan tamparan sekali lagi di pipi kanan. Mirac Aras yang sangat anti pada kegagalan dan kesalahan itu menyamakan anak ketiganya dengan salah satu karyawan di perusahaan yang sedang berada di ujung tanduk. Hampir setiap bulan, ia mendapati hal yang sama yang mengharuskannya mengerahkan banyak orang untuk melakukan penghancuran secara halus yang akhirnya membuatnya harus segera mengemasi barang-barang. Usianya setelah meninggalkan tempat itu tak akan lama. Tiga bulan sampai akhirnya ia bertemu dengan kematian di tempat tidur. Karena sakit panas, demam tinggi, atau terkena serangan jantung. Nedir Aras menahan rasa sakit di pipi. Namun, ia tak bisa menahan rasa sakit dalam hati. Ia menamai hal itu sebagai musibah. Musibah yang datang pada saat semua penduduk Istanbul menahan diri untuk berkata-kata dan bersuara. Pabrik kain Nedir Aras mengalami ledakan yang membuatnya kehilangan banyak kain. Gudang tempatnya menyimpan kain telah diledakkan oleh seseorang. Ia tak memiliki satu pun musuh. Tak lama lagi, ia akan menikah. Sekretarisnya yang cantik, cekatan, dan memiliki banyak jejaring segera menghubungi untuk mengabarkan betapa sulitnya memanggil truk pemadam kebakaran. “Berapa banyak gudang yang terbakar?” tanya Nedir Aras. Wajahnya setenang lautan yang menjadi latar foto dirinya bersama keluarga Nedir Aras saat menikmati Minggu yang indah di Emirgan. Sekretarisnya menjawab, tentu dengan perkiraan sementara. Nedir Aras menyimak. Bahwa semua kain telah terbakar habis. “Berapa banyak kain yang kemudian tersisa?” tanya Nedir Aras. Sekretarisnya menjawab dengan perkiraan. Untuk beberapa waktu lamanya, telinganya masih melekat di telepon genggam. Mirac Aras menahan geram. Di atas kursi kulit yang tak memiliki sedikit pun lubang, Mirac Aras menunggu kabar. Nedir Aras bertanya di antara embusan angin yang bertiup pada hari menjelang petang, pada musim dingin yang tidak menjatuhkan sedikit pun salju. “Apakah seseorang sedang terluka?” Tak membutuhkan waktu lama baginya untuk mendengarkan.
*
Sebuah peluru melesat melintasi batang dan dedaunan yang melintasi langit-langit. Lelaki tinggi dengan keringat yang selalu menetes, kembali berada di antara pepohonan tinggi yang memiliki bagian beku di beberapa helai daun. Ia menguji coba senjata yang kelak akan dipakainya untuk mengakhiri tugas besar yang diembannya, yaitu membuang Zehra Hakan. Transaksi awal telah dilakukan. Nedir Aras tentu akan bersedia memberikan yang lebih dari itu. Dengan jumlah uang yang jauh lebih banyak dari yang telah disimpannya dalam tas di kursi belakang mobil. Tak ada perempuan asal Filipina yang duduk di kursi depan. Pun tak ada perempuan Asia. Seekor burung di antara banyak burung yang melintas pada tengah malam, tak berhasil dibidiknya. Tembakannya keliru. Ia mengenai angin. Seperti membuang separuh gas dalam usus besar, lelaki itu terduduk di atas jalan yang tak akan pernah dilalui oleh seorang pun pejalan pada malam itu. Televisi dan radio milik pemerintah mengabarkan berita-berita yang terjadi di lingkungan tempat tinggal warga kawasan apartemen berlantai lima atau lebih dari itu. Selama satu minggu, orang-orang tak lagi memedulikan peristiwa yang terjadi di belahan bumi lain. Dengan api yang membumbung tinggi di Prancis atau pergantian antara rok dengan celana di Inggris. Pun sisa penduduk muslim yang masih menempati Myanmar. Atau presiden Rusia yang bersantai bersama ribuan es dalam bathtub. Pemimpin Korea Utara yang enggan tersenyum dan memiliki potongan rambut yang begitu sulit untuk ditiru oleh seorang siswa kelas lima Sekolah Dasar. Pada saat penduduk mematuhi aturan untuk memelankan suara dan lebih mendahulukan bisikan, mereka sama sekali tak tertarik untuk menyimak dan membedakan mana yang lebih menarik. Kelompok penyanyi asal Korea ataukah band dari Amerika yang penyanyi utamanya pernah mendapatkan jeritan dari banyak kaum hawa. Namun, tidak selalu pada akhirnya. Dengan nyala api dari lilin beraneka warna yang mereka beli dari toko furnitur pada suatu musim panas yang penuh dengan asap panggangan sayap ayam berbumbu saus tomat dan lada serta paprika bubuk, mereka duduk di ruang tengah. Membaca novel karangan penulis dalam negeri atau sesekali membaca novel tipis karangan penulis luar negeri. Di kamar, nenek dan kakek mereka memilih untuk membaca kalimat-kalimat dalam Al-Qur’an. Membacanya dengan suara terendah dan menemukan jeda untuk menarik napas dan memikirkan suatu kata yang mendapatkan pengulangan hingga beberapa kali. Setiap jendela masih tertutup rapat. Meski tak ada aturan untuk tidak berkunjung pada saat itu, setiap pintu telah dapat mengingat dengan baik, kapan ia bisa menyudahi hari. Lelaki itu kembali membidikkan senapan. Satu peluru kembali ke langit. Melintasi banyak persinggungan hingga akhirnya mengenai seekor burung yang jatuh dalam itungan detik. Burung berukuran mungil itu terkapar di atas rerumputan hijau yang tak rapi, dengan tetesan darah yang mengalir pelan. Lelaki itu sejenak memandangi. Seekor burung yang tak lagi hidup itu ditinggalkan begitu saja. Lelaki itu melangkah pelan, menuju mobil van putih yang sudah pasti akan dimilikinya dengan paksaan. Sebelum menutup pintu mobil, ia kembali melesatkan peluru ke arah sembarang yang masih bisa dilihatnya. Tak seorang pun melintasi jalan. Tak jauh dari sana, seorang anak berusia sembilan tahun sedang berjuang untuk menutupi daun telinga dari segala jenis suara. Termasuk desing peluru.