Rintik dan Rincik di Istanbul

Eka Retnosari
Chapter #66

TEBRiKLER! (SELAMAT BERBAHAGIA!) III

Istri Zeki Hakan berusaha keras mengenali aroma makanan yang merayap masuk ke dalam rongga hidung. Tubuhnya telah bersandar di atas pintu apartemen yang ia yakini bahwa itu adalah tempat tinggal Zehra Hakan beserta keluarga. Jemari tangannya bergetar karena lapar. Tubuhnya bersandar di pintu. Beberapa detik kemudian, yang ia rasakan adalah rasa sakit yang bertubi. Ia kehilangan topangan untuk bersandar. Ia jatuh ke permukaan lantai. Tak seorang pun menemukan tubuhnya. Orang-orang di pintu kanan dan kiri, telah lama enggan membuka pintu untuk mengucapkan salam pada hari yang baru. Sebagian di antara mereka memendam tanya, apakah mereka masih tinggal di sana. Apakah ada seseorang di dalam. Apakah yang sedang mereka lakukan. Apakah mereka masih hidup, tinggal dalam suatu tempat yang setiap detiknya harus dilalui dalam keadaan sunyi. Seiring waktu, satu demi satu suara letusan mulai terdengar dari ruangan yang satu ke ruangan yang lain yang dihuni oleh seseorang yang sendiri atau seseorang yang telah lama kehilangan kepulan dalam setiap sup yang dimasak di dapur dengan jendela tertutup. Nedir Aras tak pernah kembali ke apartemen. Ia berada dalam mobil yang tak memiliki penghangat. Sejenak, dinyalakannya radio di televisi yang tak memutarkan lagu yang tak pernah dihapalnya dengan baik. Trotoar jalan begitu sepi. Tak ada orang berlalu-lalang. Pintu-pintu kafe dan restoran menggantungkan sekotak kata tutup. Pun tirai panjang diulurkan hingga ia tak mencapai permukaan tanah. Sesekali sepeda motor berlalu. Dengan gesit, mereka membelah jalan Istanbul untuk menemukan jalan paling mudah menuju tempat yang akan selalu menyambutnya dengan sunyi. Mobil melaju menuju pabrik yang saat itu sedang mengepulkan asap. Pegawai pabrik kain yang saat itu tidak diperkenankan untuk melintasi gerbang, mengamati setiap kepulan, setiap percikan, pun setiap aroma yang menembus hingga ke seluruh ruangan terbuka di sekitar pabrik kain. Orang-orang yang mendekam di lantai bawah tanah, di bawah tangga berwarna abu-abu itu membuka jendela dan mengamati setiap kepulan. Wajah-wajah itu terpukau dan menganggap segala yang melintasi kedua mata adalah mimpi. Khayalan yang mewujud nyata. Kaca jendela yang semula ditutupi kain-kain buangan, kain-kain sisa yang tak terpakai dan tak akan terbeli oleh penduduk Istanbul berpenghasilan rendah, dibuka dengan perasaan kenyang yang teramat sangat. Mereka saling memandang dengan perasaan tak percaya. Kepulan asap yang melintas tanpa suara itu mengingatkan mereka pada kepulan pesawat tempur yang melaju begitu tenang pada pertengahan tahun yang awas. Petugas keamanan meninggalkan pos penjagaan masing-masing sehingga yang terjadi kemudian adalah kekosongan. Rongga hidung mereka melebar, menerima setiap aroma kain dua ratus lima puluh TL ke atas yang tak pernah hinggap di ujung kulit mereka yang tampak lebih pucat saat musim dingin. Langit sore itu tertutupi awan di seluruh bagian langit dan tak menyisakan sedikit pun ruang bagi biru muda. Di luar pagar, orang-orang beserta perempuan-perempuan Istanbul yang wajahnya penuh dengan polesan dan tubuhnya digantungi pakaian terbaik yang mereka miliki dalam lemari, tampak begitu terkejut, sekaligus kecewa dengan pemandangan api dan asap yang bergumul menjadi satu. Sebagian dari perempuan itu pada akhirnya menyerah pada tujuan yang telah mereka tanamkan dalam-dalam pada awal hari. Mereka berpulangan menuju rumah masing-masing. Sebagian menjatuhkan batang rokok mereka yang belum tiba di bagian terjauhnya. Asap yang mengepul di ujung batang rokok itu perlahan padam, terkalahkan oleh dinginnya musim dingin yang akan segera berakhir. Sekretaris Nedir Aras yang cantik, yang jasnya selalu rapi tanpa lipatan sedikit pun, yang telepon genggamnya selalu siap untuk dihubungi setiap saat, yang aroma parfumnya dapat tercium hingga ke pos penjagaan petugas keamanan, tak lagi menghubungi nomor yang bisa mendatangkan truk pemadam kebakaran. Ia mematikan seluruh pendingin ruangan di setiap ruangan pabrik kain atasannya yang tak ia hubungi lagi. Sepatu hak tinggi yang menyentuh angka lima sentimeter bertalu di seluruh koridor yang tak lagi beraromakan desinfektan atau larutan yang telah dioplos dengan esens bunga. Asap itu perlahan menyelinap melalui koridor pabrik, membuatnya melahirkan batuk untuk pertama kali. Perona pipi yang merah muda itu harus tergores oleh gesekan dari punggung tangan. Merah yang berkilau di kuku jari pun mengalami nasib yang sama. Kepulannya mampu mengalahkan aroma sampah yang bertebaran ke jalan pada waktu-waktu tertentu. Mereka yang sangat tertarik untuk mengamati kehancuran, bergabung bersama penonton lain di luar pagar. Mulut mereka tak henti membelah kulit kuaci dan melemparkan bungkusnya ke jalan. Mereka menunggu waktu yang tepat untuk saling mempertaruhkan sisa uang dalam saku celana. Apakah peristiwa kebakaran itu akan membuat Nedir Aras, lelaki yang menempati posisi ke seratus dalam daftar pengusaha kaya itu jatuh miskin. Mereka menunggu kedatangannya. Kendaraan yang permukaannya berkilau yang telepon genggamnya tak pernah kehilangan mesiu untuk melanjutkan percakapan-percakapan penting. Satu jam berikutnya, orang-orang yang sedang menonton dikejutkan oleh suara ledakan yang berasal dari salah satu gudang penyimpanan kain. Belasan menit kemudian, setiap rongga hidung manusia yang masih tinggal di pabrik kain itu dapat mencium aroma lain yang tak hanya kain. Tak hanya karet ban yang bertemu dengan hawa panas. Orang-orang kemudian memuntahkan makanan dan minuman terbaru yang masih tinggal dalam lambung. Lelaki-lelaki berlomba untuk menemukan kain penutup hidung dan masker yang bisa menjadi dinding bagi saluran pernapasan mereka dengan aroma yang sedang berkejaran dengan langit-langit yang sedang mencapai titik didih paling tinggi pada hawa paling panas. Tiga puluh tiga derajat Celsius.  

Lima ambulans terparkir dengan rapi di halaman rumah sakit. Tidak seperti satu bulan sebelumnya, ruangan lobi itu berisi deretan kursi yang tidak diduduki oleh satu pun pasien. Tiga orang perempuan pegawai administrasi sedang memasukkan data pasien ke dalam komputer. Wajah mereka telah dipoles dengan riasan sempurna, dengan gincu berkilau yang akan dilapisi kembali saat jam istirahat tiba. Pada hari-hari biasanya, petugas administrasi itu akan selalu siap untuk menyambut tamu-tamu yang datang dengan tenang. Segala jenis permintaan pasien yang datang akan selalu dilayani dengan baik. Di samping kiri ruangan, terdapat televisi layar datar yang tak pernah lagi dinyalakan. Petugas administrasi itu tak diperkenankan untuk menyalakan telepon genggam dan bermain-main dengannya. Kekosongan dan kesunyian yang menjalar di hampir seluruh ruang rumah sakit, membuat mereka mengabaikan kamera pengawas yang terpasang di pertengahan lobi. Pada salah satu ruangan perawatan intensif, terdapat Sebnem Yağmur yang berulang kali menolehkan pandangan ke arah pintu keluar. Selim dengan sepasang mata yang digelayuti kantuk dan ketidaktahuannya atas peristiwa yang terjadi, sedang duduk di samping Ehsan yang masih terbaring dengan mata tertutup. Sesekali diliriknya Sebnem Yağmur yang tak pernah melontarkan sedikit pun pandangan mata ke arahnya. Ia mengamati rambut yang digulung dengan rapi, dengan menyisakan beberapa helai di tengah tengkuk leher. Betapa ajaibnya sifat manusia, pikirnya. Ia dapat menjadi asing satu sama lain karena memang asing. Namun, karena sebuah peristiwa seperti jatuhnya Ehsan dari jendela apartemen, wajah-wajah yang semula suaranya saja tak pernah didengarnya, tiba-tiba saja berdiri tak jauh darinya. Ia berdiri tak jauh dari pintu, mencoba menebak siapakah yang kemudian muncul untuk menunggui anak dari anak lelakinya yang tak pernah ia panggil namanya. Sebnem Yağmur takut seseorang yang dekat dengan media massa akan memasuki ruangan dengan memakai pakaian dokter atau perawat kemudian mencatat segala yang ada dan terjadi. Selim melihat ke arah tas hitam berkilau dengan jinjingan warna emas yang membuatnya bertanya-tanya. Benda apa sajakah yang memungkinkannya untuk menjejalkan segala yang dibutuhkannya dalam hidup, ke dalamnya. Apakah ada remote control yang bisa membangunkan Ehsan. Dalam segala keheningan, Selim tergidik dengan suara mesin pencatat jumlah napas yang diembuskan secara perlahan oleh adik satu-satunya. Seandainya ia terbangun pada saat itu, Selim akan mau meminjamkan semua benda yang berjumlah satu. Tablet khusus anak yang dibelikan oleh Nedir Aras selalu dipandangi oleh Ehsan tiap kali ia menyalakan dan menontonnya seorang diri di sudut ruang keluarga. Atau di atas tempat tidur yang selimutnya selalu menebarkan aroma bunga musim semi. Ia akan menghadiahkan semua mainan yang tak terpakai. Helikopter yang telah kehilangan baling-baling, pesawat yang sayap kirinya telah terselip ke dalam salah satu kaus kaki dan ia tertinggal di bawah tempat tidur Ehsan yang memiliki warna selimut yang sama. Biru. Dengan hiasan berupa bola basket kuning terang. Pun dua baris tulisan berisi kata-kata semangat dalam bahasa Inggris. Sebnem Yağmur menoleh dengan sangat cepat. Tidak ke arahnya. Nasi tim beserta kuah sup dan wortel serta sesuatu yang tak ia ingat namanya yang diiris menyerupai bentuk bunga paling elok, menjadi objek lain selain televisi yang memantulkan wajah Ehsan yang memiliki perban dan bekas luka yang masih memerah. Napasnya terdengar kentara, bersamaan dengan suara mesin pencatat napas. Tanpa menunggu hingga seseorang membuka pintu, akhirnya Sebnem Yağmur meninggalkan ruangan. Entah untuk selamanya atau sementara waktu. Pintu yang dilapisi cat putih itu pun tertutup dengan suara teramat pelan. Langkah kakinya terdengar menjauh. Ia tak diikuti oleh suara langkah kaki. Selim kemudian menatap kedua mata Ehsan yang tertutup rapat. Ia ingin menyampaikan segala yang telah terjadi setelah peristiwa itu. Namun, ia ragu apakah Ehsan dapat mendengar suaranya atau tidak. “Ehsan…” panggilnya yang tak bertukar dengan suara. “Ehsan, apakah kau lapar?” tanyanya yang masih tak bertukar dengan suara. Selim menunduk lama kemudian dengan parau berkata, “Maafkan aku, Ehsan.” Mesin pencatat suara napas menyahut dengan jumlah bunyi yang sama. Suara langkah kaki dari luar terdengar kemudian. Selim segera memperbaiki letak duduknya.  

*  


Lihat selengkapnya