Rintik dan Rincik di Istanbul

Eka Retnosari
Chapter #67

TEBRiKLER! (SELAMAT BERBAHAGIA!) IV

Jendela itu ditutup secara perlahan. Nuray Petek baru saja membersihkan diri di kamar mandi. Handuk putih tebal masih membungkus rambut yang masih beraromakan bunga. Setiap helai terdapat minyak zaitun yang lengket, namun bisa menghaluskan rambut seorang perempuan yang akan segera menikah. Kabar itu tiba di telinga. Sekretaris yang sangat dipercayai oleh Nedir Aras telah menghubunginya dan memberi kabar terbakarnya sebagian gudang penyimpanan kain pabrik calon suaminya. Nuray Petek tidak terkejut ketika menerima kabar itu. Selama hidup, ia telah terbiasa untuk tenang. Dengan masih terbalut handuk, disimaknya kata demi kata, kalimat demi kalimat, dari mulut yang rapi dan masih bergincu. Jelas sekali bahwa sekretaris Nedir Aras sedang dalam keadaan panik. Nuray Petek berucap, “Oh”, yang pelan. Dibukanya lemari pakaian yang memiliki ukuran setengah dari ruangan kamar. Kadang, Nuray Petek selalu sulit memilih pakaian yang harus dipakainya pada hari itu. Sepatu biru dengan jas biru. Sepatu kuning dengan gaun kuning. Ia memakai pakaian bergaris emas, dengan warna dasar merah menyala yang serupa dengan paprika. Laci berisikan perhiasan yang didominasi oleh gelang, dibuka dan dipilihnya. Terdapat cincin, kalung, dan lain sebagainya. Namun, tentu saja lebih banyak gelang. Selain jam tangan berukuran mungil yang selalu berhasil membuatnya tampak feminin, anggun, dan lebih cantik melebihi wajahnya ketika terbangun dari tidur yang tiga jam, gelang adalah segalanya. Ia berhasil memilih gelang yang paling disukainya ketika seucap tanya dilontarkannya kepada sekretaris Nedir Aras, “Sudahkah kau menghubungi pemadam kebakaran?” Sekretarisnya menjawab. Dengan satu atau dua kata yang panjang. Dengan hawa panas dan debu yang diantarkannya langsung melalui suara di telinga. Nuray Petek tak bertanya lagi. Ia sedang mematut wajah dan menimbang antara lipstik merah muda dan cokelat muda. Diliriknya jam di dinding yang bergerak menuju angka enam malam. Dipasangkannya jam di tangan kiri yang memiliki tahi lalat berjumlah tiga. Sekretaris Nedir Aras masih saja bercerita. Telepon genggamnya yang lain yang dihubungi oleh keluarga, teman dekat, dan Nedir Aras berdering. Ia melongok layar telepon genggam dan melihat nama lelaki pemilik pabrik kain itu sedang memanggilnya.  

Tanah itu luas sekali. Ukurannya lima kali lapangan sepak bola. Terdapat beberapa pohon di sekelilingnya. Pada pertengahan musim panas, pohon-pohon itu masih memiliki sedikit daun yang tak bisa membuat teduh lelaki dan perempuan berusia sekitar tujuh belas hingga dua puluh yang bertandang pada petang hari, terutama saat musim panas. Seorang lelaki berpakaian serba hitam dengan senjata di tangan, berlari ke tengah tanah kosong. Letaknya tak jauh dari jembatan yang hening dari kendaraan yang berlalu-lalang. Lelaki tanpa rambut itu sedang mencari sesuatu. Ia menunduk ke bawah, ke pelataran parkir yang berseberangan dengan tanah yang tak didatangi oleh siapa pun. Dua perempuan berpakaian serba hitam, berlari di pinggir tanah luas. Lelaki itu kemudian mengejarnya. Matahari akan segera tiba di ujung laut. Sebuah kendaraan melesat dengan begitu cepat ke arah jembatan. Letusan terdengar kemudian. Orang-orang semakin dalam menutup jendela. Di langit, burung-burung terbang bersamaan meski tanpa suara. Mereka mencari jalan pulang.   

Dua mayat terbujur kaku mengikuti udara malam yang enggan bersedih. Lalat-lalat berjumlah lebih dari sepuluh terbang di atasnya. Mereka berebut tempat dengan aliran darah yang belum kering yang keluar dari beberapa lubang yang bersarang di tubuh. Lalat-lalat itu bertabrakan kemudian berpapasan dengan burung-burung hitam yang terbang tidak untuk menetap. Sepatu mereka berserakan. Sepasang kaki yang mereka miliki tampak memucat. Pada beberapa bagian, ia membiru kemudian pasrah melawan angin yang memberikan terpaan. Di jalan, tepat pada pukul dua belas malam, tak satu pun kendaraan melintas. Sementara itu, di sebagian ruangan, di apartemen, peluru-peluru berjatuhan. Orang-orang enggan menutup mata meskipun hari telah tiba pada pertengahan. Mereka menekan wajah, hidung, dan segala yang ada di wajah mereka ke permukaan bantal. Menjemput sekuat tenaga mimpi-mimpi mereka tentang hari esok yang tidak berisi kumpulan debu dan pamflet-pamflet berisi iklan. Sembilan kilometer dari Jembatan Bosphorus yang lampu kanan dan kirinya dipadamkan hingga waktu tak terhingga, sebuah kendaraan melaju tenang di atas jalan yang bersisian dengan perlintasan trem. Lelaki yang pernah menjadi pengemudi pabrik kain Nedir Aras, akan kembali ke Eminönü. Zehra Hakan telah cukup tidur. Perutnya telah terisi makanan meskipun tidak membuatnya bersendawa. Matanya terpaku pada sebelah kanan kaca jendela kursi mobil depan. Di beberapa jarak, pengemudi itu masih mendapatkan cahaya lampu yang ditebarkan ke ruas-ruas jalan. Meski gelap, kedua mata Zehra Hakan masih dapat melihat jendela dan balkon sebagian apartemen yang memasang bendera Turki di ketinggian yang masih bisa dijangkau oleh orang yang menyimpan tangga di salah satu ruangan rumah yang pintunya terkunci rapat. Bendera itu menjadi titik sudut bagi pandangan bola mata Atatürk yang masih berjas dan berdasi di atas kursi yang mengilap. Di salah satu ruangan, di apartemen yang balkonnya berbentuk setengah lingkaran dan memiliki pemandangan berupa pinggiran pantai yang sepi oleh lelaki bercelana selutut dan perempuan-perempuan yang kain atau rambutnya tertiup angin, terdengar suara yang bisa memecah sehelai cermin. Kebisingan letusannya mampu teredam oleh tiga sentimeter alat peredam. Seorang perempuan tua berusia lebih dari tujuh puluh tahun, dengan sehelai kain yang tak berhasil menutupi ruang lengang di leher, menghampiri seorang perempuan tua yang usianya hampir sama dengannya. Punggungnya membungkuk. Suara yang tersimpan di mulut tersimpan melalui bisikan yang tak akan mampu membangunkan. Ia berada di lantai bawah halaman apartemen yang setiap jendelanya telah dipasang jeruji. Perampok yang berpikir dapat mencuri sesuatu dari salah satu penghuni apartemen yang lengah, akan berjumpa dengan kegagalan. Perempuan berusia lebih dari tujuh puluh itu memamerkan luka, sebuah borok di lutut sebelah kiri. Borok itu mengeluarkan darah merah tua yang menderas. Perempuan yang juga berusia lebih dari tujuh puluh itu segera berdiri dan menyandarkan tubuh ringkih ke dinding apartemen abu-abu. "Apakah kau punya tisu atau kain?" tanya perempuan berusia tujuh puluh dengan luka di kaki. Perempuan yang bersandar di dinding apartemen itu berkata, "Hayır," dengan pelan namun tak parau. Perempuan itu mengambil sehelai plastik yang pada malam itu sedang berada di sana. Plastik bening dan sedikit tebal itu dipakainya untuk menyeka luka dan darah yang mengalir. Tak ada kata aduh yang keluar dari mulut. Darah itu menetes ke permukaan halaman yang debu-debunya tak terlihat karena tiadanya lampu. Perempuan berusia tujuh puluh yang sedang bersandar itu menatap dengan segenap kerut di dahi. Aroma amis tercium hingga rongga hidung.  

*  


Lihat selengkapnya