Rintik dan Rincik di Istanbul

Eka Retnosari
Chapter #68

TEBRiKLER! (SELAMAT BERBAHAGIA!) V

Zehra Hakan telah tiba di Eminönü. Ia tidak mempertanyakan ketiadaan orang-orang di pelabuhan yang telah tiba pada pukul dua pagi. Sekali waktu, ia pernah tiba pada malam hari, pada suatu musim semi. Bersamaan dengan kedatangan lelaki berusia lima puluh yang lebih merindukan ikan tergantung di ujung kail daripada tolehan istri mereka pada pertengahan malam. Seseorang akan datang, ujar lelaki yang malam itu tak memakai jaket ataupun pakaian penghangat untuk tubuh. Di atas bebatuan mungil, Zehra Hakan berdiri dengan alas kaki sejumlah satu. Lelaki itu menjemputnya dengan tergesa, dengan tanpa memedulikan reruntuhan gedung di sekitar. Tak jauh dari anyir pantai dan lautan yang begitu tenang, seorang lelaki berusia empat puluhan mengintip melalui jendela toko yang menjajakan sepatu, tas, dan dompet khas Istanbul. Sekejap, dijejalkannya kembali. Ia berusaha melupakan benda-benda yang pernah dilihatnya. "Bolehkah aku duduk?" Zehra Hakan bertanya. Sambil meringis dan berusaha menahan perih yang terasa di lambung, lelaki itu berkata bahwa ia boleh melakukan hal yang ingin ia lakukan selagi menunggu. Zehra Hakan tidak bertanya tentang seseorang yang akan datang. Ia terduduk di atas serakan batu, dengan berat lebih dari tujuh puluh. Kertas-kertas lotere dan goresan mantra penggemar segala jenis tebakan seharga seratus TL atau lebih dari itu, berterbangan. Zehra Hakan melihatnya dengan sambil memeluk kedua lutut. Lelaki itu menggelengkan kepala berkali-kali sambil melihat cara Zehra Hakan menghitung detik-detik pada malam yang langitnya sepi oleh bintang. Ataupun bulan. Awan bergerak begitu cepat ke arah utara. Gemuruh dentuman terdengar kemudian. Mulanya ia terdengar begitu jauh, lalu ia terdengar bagaikan bongkahan es yang jatuh di permukaan atap penghuni lantai sepuluh sebuah apartemen. Zehra Hakan menoleh ke arah barisan menuju ke arah jembatan. Lelaki itu memanggil namanya dengan sebutan Nyonya, dengan suara mengambang di permukaan. Zehra Hakan menoleh lalu memanggilnya Tuan. Lelaki itu menundukkan kepala dan baru tersadar betapa banyak jumlah bebatuan di pinggir genangan biru yang tak memiliki debur. "Ia belum tiba," ucapnya. "Siapa?" tanya Zehra Hakan. Lelaki itu tak menjawab. Ia membayangkan jumlah lembaran pecahan dua ratus lira yang bisa dihitungnya semalaman. Pun rumah dan kendaraan terbaru, warna apa pun, yang bisa dipakainya untuk berjalan-jalan mengelilingi kota Istanbul bersama anak-anak dan istri. Dengan tanpa membawa sehelai pun kain. "Aku memiliki dua anak," ucap lelaki itu, pelan, sambil merogoh sesuatu dari kantung celana. Jemarinya bergetar. Zehra Hakan mendengarkan. Matanya terpaku kepada lelaki itu dengan seulas senyum yang tipis serupa dengan awan. Zehra Hakan terkejut karena letusan dan letupan yang terdengar dari arah jembatan. Ia mendongak ke arah langit. Ke arah muntahan yang pijarnya berlangsung hingga menit-menit tak berbilang. Cahayanya memenuhi seluruh sapuan langit. Zehra Hakan semakin memeluk erat lututnya. "Kembang api," ucapnya, setengah berbisik kepada diri sendiri.   

selesai  

 

Lihat selengkapnya