Rintik dan Rincik

Eka Retnosari
Chapter #1

Gunaydin (Selamat Pagi)

TAKSI kuning dengan lampu depan sebelah kanan yang memiliki retakan itu melaju dengan tenang pada awalnya. Ia memiliki kecepatan 120 km/jam, tanpa suara radio. Di langit yang biru tenang dan dihiasi beberapa lapisan awan tipis, melintas beberapa pesawat yang akan segera meninggalkan Istanbul, Turki. Deru suaranya terdengar pada waktu bersamaan. Selang beberapa menit kemudian, terdengarlah beberapa pesawat yang tiba untuk mengantarkan pelancong yang siap untuk bertamasya, juga beberapa orang yang telah menuntaskan segala keperluan. Di Eropa, Asia, dan beberapa negara Timur Tengah.    

    Saat itu, musim sedang tiba pada musim paling panas. Pada sepanjang tahun yang telah berlalu,  pada musim kali itu saja orang-orang tak lagi menemukan anggur di dalam kotak buah yang mereka sapa di pasar ataupun supermarket. Kotak buah itu menyisakan jeruk-jeruk kuning dengan ukuran yang tidak terlalu besar. Ketika taksi kuning yang tengah mereka naiki  meninggalkan bandara dengan jarak terjauhnya, pengemudi yang pagi itu belum bersentuhan dengan air mandi, menambah laju kecepatan. Lalu menutup dengan rapat kedua jendela kaca di samping kanan dan kiri. Setelahnya, ia menyalakan radio yang telah pasti memiliki usia  melewati angka lima tahun. Dalam radio, seorang penyiar lelaki mengabarkan tentang suhu Istanbul yang tidak akan berpindah angka dari angka tiga puluh tiga. Nilai tukar Lira yang terus melemah. Tenaga kerja yang mengalami penurunan gaji. Pun berita tentang rapat-rapat tingkat internasional yang diselenggarakan oleh petinggi negeri.   

    Sesekali, karena suatu sebab, taksi kuning itu mengalami guncangan yang menyebabkan penumpang di dalamnya mengalami kejut meskipun tidak terlalu kencang. Pada beberapa belokan yang ditempuhnya, pengemudi taksi yang memakai kacamata hitam itu tidak mengurangi kecepatannya sedikit pun. Ketika radio di dalam taksi kuningnya mengeluarkan senandung, ia pun bersenandung. Dengan nada yang tidak harus sama dengan nada yang dimiliki oleh penyanyi dalam radio. Pengemudi itu mengunyah semacam permen di mulutnya lalu sesekali mencipratkan ludah dari mulutnya yang kering dan mengeluarkan aroma masam yogurt yang masih tertinggal di sela-sela gigi yang penuh dengan karang. Ia memakai kaus abu-abu muda yang warna abunya telah pudar karena waktu telah membuatnya begitu. Tangan kanan dan kirinya penuh dengan bercak cokelat dan rambut cokelat muda yang tak akan pernah dipangkas, tidak dengan alat pencukur ataupun cairan lilin yang dioleskan di permukaan kain seukuran tangan yang dimilikinya. Ketika taksi kuning itu telah melaju di atas jalan yang penuh dengan bus, metrobus, mobil-mobil pribadi yang sebagian besar berwarna putih, sepeda motor siparis yang mengantarkan sarapan pagi hari seseorang di apartemen pusat kota, dan taksi biru, sebuah suara yang tidak berasal dari radio terdengar. Suara itu berasal dari telepon genggam dalam saku celana jins biru yang memiliki aroma keringat hasil pergumulannya dengan hari, pun matahari musim panas. Dengan tenang, tangan kiri yang memiliki kuku panjang yang lengkap namun tak dibersihkan itu, merogoh telepon genggam dalam saku celananya. Tangan kanannya masih berada dalam kemudi. Tangan kirinya berusaha membuka layar telepon genggam dengan memasukkan kata kunci yang keliru sebanyak dua kali. Sesekali, ditolehnya jalanan di hadapan yang mulai ramai, terlebih lagi pada pukul setengah delapan pagi. Pada kali yang ketiga, pengemudi taksi kuning itu berhasil menemukan kata kunci yang tepat. Sebuah pesan singkat hadir dalam layar putih dengan huruf calibri tipis hitam yang tersaji dalam tiga baris. Pengemudi taksi kuning itu memicingkan mata demi membaca tiga baris pesan. Sambil membaca, diliriknya beberapa mobil pengangkut barang yang pada bagian tubuhnya terdapat gambar ayam panggang utuh dengan nomor telepon yang dapat dihubungi oleh siapa pun yang menginginkan. Mobil-mobil pengangkut barang yang lain menyusul kemudian dengan model perempuan Turki tengah tersenyum di samping deretan hidangan yang telah berhasil dimasaknya. Bibirnya yang dipoles lipstik warna peach menyampaikan pesan bagi setiap perempuan yang membacanya agar tak melewatkan waktu pagi harinya dengan menyiapkan sarapan pagi bagi anggota keluarga di rumah.  

    Pesan singkat itu telah tuntas dibaca. Namun, telepon genggam itu masih berada di tangan kirinya. Ketika taksi kuning yang dikemudikannya bertemu dengan lampu merah, volume radio itu dinaikkan. Tak ada senandung lagi. Penyiar radio ingin menyampaikan berita singkat tentang beberapa hal yang harus dipatuhi penduduk kota.   

    Seorang pengendara sepeda motor melintasi taksi kuningnya yang membuatnya harus melontarkan serapah. Jendela kaca di samping kirinya dibuka demi menyampaikan segala kekesalannya kepada pengendara yang tidak mematuhi rambu. Pengemudi taksi kuning itu tetap membiarkan kaca jendela itu tetap terbuka. Taksi kuning itu kembali melaju dengan kecepatan yang ia naikkan. Lebih dari yang sebelumnya. Pada menit berikutnya, pada sebuah belokan di jalan, pengemudi itu memainkan sebuah tusuk gigi yang entah sejak kapan berada di dalam mulutnya. Suara decit akibat dari tusuk gigi yang ia mainkan dalam mulut berpadu dengan suara penyiar radio yang tengah mengajak seseorang yang diundangnya. Mereka terlibat dalam percakapan yang hangat kemudian memanas, tepat ketika taksi kuning itu telah memasuki kawasan Yenibosna. Perlahan, setelah menoleh ke arah kiri selama beberapa kali, pengemudi taksi itu menutup kaca jendela taksi kuning secara perlahan. Sesaat, ia menoleh ke kaca spion di kanan dan juga kiri. Ia sedang memastikan apakah kedua penumpangnya tengah duduk dalam keadaan terjaga ataukah terlelap dalam kantuk yang membawanya pada tidur panjang.   

    Kedua penumpang taksi kuning itu tengah duduk dalam keadaan terjaga. Seorang lelaki berusia empat puluh di kursi sebelah kanan, memeluk seorang anak berusia enam tahun yang adalah anaknya. Lelaki itu memakai kaus hitam dengan leher yang ditutupi kerah. Kulitnya putih bersih, dengan tinggi badan hampir menyentuh bagian atap taksi kuning. Ia mempersilakan kalau-kalau anak pertamanya akan pergi ke alam mimpi. Di sebelah kirinya, seorang perempuan berusia tiga puluh lima sedang duduk sambil memeluk seorang anak berusia dua tahun yang tak lama lagi akan pergi ke alam mimpi. Perempuan itu melekatkan selimut yang dibawanya dari pesawat terbang yang membawanya pulang dari sebuah negara bernama Cyprus. Satu jam waktu yang ditempuh oleh pesawat itu hingga akhirnya ia tiba di bandara yang masih memiliki banyak bagian yang lengang.   

    Usia bandara itu masihlah muda sehingga pesawat-pesawat yang diparkir di sana, belum terlalu banyak. Antrean yang ada di pintu masuk ataupun pintu kedatangan masih dapat ditempuh dengan waktu lima menit saja. Ketika taksi kuning itu telah memasuki jalan yang tidak ramai oleh kendaraan umum, kedua penumpang itu dikejutkan oleh dua sepeda motor yang muncul di kanan dan kiri taksi kuning. Pengemudi taksi yang tak mengantuk itu segera menyerapahi dua sepeda motor, dengan tangan kiri yang masih menggenggam telepon genggam berukuran kecil yang pada permukaan kaca depan terdapat banyak retakan. Penumpang yang lelaki segera merapatkan pelukan pada anaknya yang tidak tertidur. Penumpang yang perempuan semakin mempererat pelukan pada anak keduanya yang telah lelap tertidur, dengan mata yang tak putus memerhatikan segala yang melintas di depan kaca jendela.   

    Suara penyiar radio semakin memenuhi setiap bagian ruang dalam taksi kuning yang tidak memiliki pendingin. Rupanya, ia tengah berdebat dengan seorang ahli dalam hal tata ruang kota. Penyiar mempertanyakan pendapatnya tentang aturan pendirian gedung-gedung apartemen di kota yang semakin hari semakin padat. Sebelum memberikan pendapatnya, ahli tata ruang kota itu mengoreksi dulu pertanyaan penyiar.   

    Sementara itu, di luar, langit musim panas pun tak menawarkan hujan pada pagi ketika jam dijital di samping radio sang pengemudi, menunjukkan angka delapan lebih tiga menit. Dua sepeda motor yang meraung itu dikendarai oleh dua lelaki dengan tinggi badan yang hampir sama. Keduanya memakai celana jins biru muda yang warna mudanya telah memudar dan kaus putih yang warna putihnya sama persis dengan awan di langit dan yogurt di gelas minuman yang dipesan oleh penumpang lelaki ketika ia sedang menunggu waktu yang tepat untuk bertemu dengan taksi yang telah dipesannya melalui telepon genggam.   

    Angka pada jam dijital itu kemudian berganti. Pada pukul 08.15, taksi kuning itu berhenti secara tiba-tiba. Sebuah mobil sedan dan taksi yang juga berwarna kuning, telah melakukannya lebih dulu pada tiga detik sebelumnya. Beruntung karena taksi itu tidak bersentuhan dengan salah satu mobil yang berhenti karena alasan tertentu. Pengemudi taksi itu memakai sabuk pengaman sehingga peristiwa itu tidak sampai membuatnya terlempar ke permukaan kaca depan mobil taksi kuning. Ia memiliki telapak tangan yang kokoh sehingga telepon genggam itu tidak terlempar ke mana pun. Serapah itu tentu saja sempat terlontar meski ia tak sebanyak dan tak setinggi sebelumnya.   

    Penumpang perempuan beserta anaknya yang sedang tertidur lelap di pangkuan, jatuh hingga ke bagian bawah taksi kuning itu, setelah sebelumnya kepalanya terbentur dengan cepat ke bagian belakang kursi pengemudi taksi. Ia mengeluarkan suara teriakan yang kencang.   "Allah!" teriaknya sambil berusaha menenangkan anak keduanya yang terbangun dengan disertai tangisan yang kencang. Penumpang lelaki masih berada di atas kursinya sambil memeluk anak pertamanya yang mengulurkan tangan ke arah penumpang perempuan sambil memanggilnya, "Anne…"   

    Penumpang lelaki tak mengeluarkan sedikit pun suara. Ia tersenyum sambil mengusap kepala anak lelakinya. Pengemudi sopir taksi kuning itu tidak menolehkan kepala ke bagian belakang mobil, ke tempat penumpangnya berada. Dengan cepat dan tanpa menunggu, pengemudi taksi kuning itu melajukan kembali taksi kuningnya. Saat itu, penumpang perempuan sedang berusaha mengangkat tubuh dari lantai taksi kuning sedangkan anak keduanya masih meraung. Lebih kencang dari suara penyiar dalam radio.  

   

*  

   

Gemuruh terdengar dari kejauhan. Sekelompok burung yang jumlahnya tak pernah bisa diterka dengan benar, terbang bersamaan. Dua pesawat melintas ke arah yang berbeda. Pada bagian bawah, terdapat lampu yang dibiarkan menyala untuk beberapa waktu. Angin mempercepat lajunya awan yang perlahan berubah warna. Dari putih menjadi abu, dari abu menjadi hitam. Tak tersisa warna biru. Seluruhnya adalah putih yang tipis yang menyelimuti ke setiap bagian langit.   

    Beberapa orang yang melintas, telah mempersiapkan sebuah payung di tangan. Sebagian lupa menyertakan jaket sebagai pasangan, namun untung saja mereka masih mengingat syal yang mampu melindungi beberapa bagian tubuh mereka dari dingin. Beberapa di antara pejalan yang tak menginginkan keterlambatan, mempercepat langkah demi tiba lebih dulu pada durak yang mereka tuju. Waktu yang bergulir tidak membuat mereka melirik pada jam yang melingkar di pergelangan tangan. Pun sekadar menoleh kepada ia yang mendahului di samping kanan dan kiri.   

Lihat selengkapnya