Rintik dan Rincik

Eka Retnosari
Chapter #2

GÜLE-GULE (SELAMAT TINGGAL)

MINGGU kali itu adalah hari Minggu yang paling ditunggu-tunggu oleh Selim dan Ehsan. Selim yang pada pagi pukul sepuluh telah dimandikan dan dibedaki, mencari satu mainan kesayangannya sambil memberitahu Ehsan bahwa hari itu adalah hari libur yang paling dinantikan. Ehsan, entah dapat mendengarnya atau tidak, pun melakukan hal yang sama. Mencari salah satu mainan yang paling disukainya. Mainan itu adalah sebuah dinosaurus karet warna hijau seukuran ibu jari Selim sedangkan mainan yang sedang dicari oleh Selim adalah mobil taksi kuning tanpa pengemudi yang pintu kanan dan kirinya dapat dibuka secara bersamaan ataupun satu persatu.   

    "Kita bertemu lagi dengan hari Minggu, Ehsan. Ehsan...Ehsan...apakah kau dapat mendengarku?" Selim telah menemukan mainan kesayangannya. Ia menggenggamnya dengan tangan kiri. Ehsan tak menjawab ataupun menoleh ke arah Selim. Hal itu membuatnya kesal dan berusaha untuk lebih mendekatkan wajah.   

    "Kita tiba pada hari Minggu lagi, Ehsan," ucapnya dengan nada yang ditinggikan. Ehsan menghindari pandangan kakaknya. Ia masih mencari mainan dinosaurus hijau yang diinginkannya.  

    Zehra Hakan muncul di pintu yang memisahkan koridor rumah polos tanpa tempelan dengan ruangan tempat Selim dan Ehsan bermain di atas karpet cokelat muda. Pada siang hari, Senin hingga Jumat, Zehra Hakan akan meminta Selim untuk mengerjakan tugas yang dibawanya dari sekolah. Tahun ini, Selim telah memasuki masa usia Sekolah Dasar. Namun, pada tahun sebelumnya, Zehra Hakan telah mengajarinya alfabet, membaca angka 1 hingga 20, kata-kata sederhana, dan menyanyikan beberapa lagu yang pernah dinyanyikannya bersama teman-temannya ketika kecil. Selim lulus ujian masuk Sekolah Dasar yang memerlukan waktu sepuluh menit saja dengan berjalan kaki. Suaminya, Nedir Aras, akan meninggalkan rumah pada pukul sembilan pagi, setiap Senin hingga Jumat. Pada Sabtu, ia akan tetap berangkat ke kantor, di Uskudar, pada waktu kapan pun yang ia inginkan. Kadang, pada pukul sepuluh pagi, dua, atau pukul empat sore. Namun, ia pasti pergi karena pada Sabtu salah satu musim, ada rapat bersama sekretaris dan staf yang berjumlah tujuh.   

    Nedir Aras memiliki mobil sedan hitam yang ia beli dari ayahnya. Dua puluh lima ribu TL adalah harga yang diberikan oleh Mirac Aras kepadanya. Mirac Aras memiliki dua mobil setelah melepaskan satu mobil yang pernah dibelinya usai memenangi sebuah kasus yang ia perjuangkan selama lima bulan lamanya. Ia mampu membeli mobil sedan itu setelah Zehra Hakan berhasil menyisihkan setengah dari penghasilan yang Nedir Aras dapatkan dari suaminya. Setengah dari penghasilan yang didapatnya dari kantor tempatnya berbisnis, ia bagi menjadi beberapa bagian pengeluaran. Sewa apartemen lantai tiga dengan dua kamar dan satu kamar mandi, listrik, iuran keamanan, bahan makanan, dan uang sekolah Selim.   

    Anak kedua Zehra Hakan belum bersekolah. Usianya dengan Selim terpaut empat tahun. Selama dua puluh empat jam sehari, Zehra Hakan menghabiskan waktu dengan menemani anak keduanya. Memandikan, bermain, mengajarinya berbicara, membacakan dongeng, membuat coretan di atas buku gambar, menggambar berbagai bentuk. Lingkaran, segitiga, persegi, persegi panjang, hingga bentuk yang belum memiliki nama. Berbeda dengan Selim, Ehsan mengalami masa tumbuh kembang yang lebih menyenangkan. Ketika ia masih tinggal di dalam kandungan, tak sekali pun ia merasakan mual atau semacamnya. Ketika itu, bisnis yang baru ditekuni oleh Nedir  Aras sedang maju pesat. Hampir setiap hari, ia pulang dengan membawa senyum di wajah dan kabar bahagia tentang pekerjanya yang selalu tertawa. Ia dapat menabung lebih banyak dari bulan-bulan sebelumnya. Pada akhir minggu, kebahagiaan dan bisnis yang sukses itu membuatnya harus mengajak Zehra Hakan mengunjungi tempat-tempat yang belum pernah dikunjunginya. Pantai, tempat perbelanjaan, toko buku tua yang berderet di depan Universitas Istanbul, menggigit potongan baklava di Hafiz Mustafa, dan melihat kapal-kapal yang melaju tenang di Florya atau Selat Bosphorus. Selama dua kali sebulan, Nedir Aras mengizinkan Zehra Hakan untuk menginap di rumah orang tuanya, empat jam perjalanan dari luar kota. Kali itu adalah masa-masa terakhir ia mendapatkan hari libur panjang yang dapat membuatnya duduk di atas sofa, di hadapan çay dan kue dalam piring putih berbunga, untuk waktu yang lama. Tanpa jeda.  

    Zehra Hakan melahirkan Ehsan setelah melalui kontraksi bertahap selama satu jam. Pembukaan satu hingga pembukaan sepuluh. Di rumah sakit, Nedir Aras menantinya sejak kontraksi itu masih berupa petunjuk. Satu jam adalah waktu yang cukup. Zehra Hakan tak lagi merintih karena rasa sakit begitu melihat anak keduanya. Nedir Aras muncul dari balik pintu ruang tengah. Minggu itu, ia memakai kemeja cokelat muda dan celana panjang putih yang dikencangkan dengan sabuk hitam yang ukurannya tidak terlalu besar. Selim tak lagi mengatakan apa pun tentang rencana yang akan dilakukan oleh keluarga Nedir Aras.   

“Apakah kau sudah siap?” tanya Nedir Aras sambil mengusap kepala Selim. Sementara itu, Zehra Hakan baru saja usai mengganti pakaian rumahnya dengan pakaian yang akan dibawanya ke rumah mertuanya. Wajahnya telah dipenuhi polesan dengan ketebalan yang lebih dari biasanya. Senyum telah menghiasi bibir yang dilapisi lipstik warna merah muda tanpa kilap. Ketika langkah kakinya akan segera memasuki ruang tengah, Nedir Aras menghentikannya dengan sebuah permintaan bersama wajah yang dilekatkan ke wajah istrinya.   

    “Aku lupa di mana meletakkan jam tanganku. Bisakah kau mencarikannya untukku?” tanya Nedir Aras.   

    “Tentu saja,” ucap Zehra Hakan. Dengan cepat, ia berjalan memasuki ruangan kamar. Ia menoleh ke arah laci milik Nedir Aras yang di dalamnya terdapat banyak buku catatan dan dua buku tentang bisnis. Zehra Hakan telah melahap keduanya sebelum Nedir Aras sempat untuk membacanya seusai bekerja selama enam hari seminggu. Jam tangan itu tak ada di sana. Matanya menyapu seluruh bagian kain sprei yang telah rapi dan tak memiliki sedikit pun noda. Jam tangan itu tak ada di sana. Napasnya sedikit tersengal ketika tubuhnya bergerak cepat menuju kamar mandi. Ia menyalakan lampu kamar mandi. Matanya langsung tertuju pada rak di depan cermin. Jam tangan abu-abu itu ada di sana. Segera, ia meraih jam tangan itu dan menyerahkannya kepada Nedir Aras.   

    “Ini. Ada di kamar mandi…”   

    Nedir Aras segera mengambilnya tanpa melihat ke wajah istrinya.   

    "Apa yang kau cari di sana, Ehsan sayang?" Zehra Hakan bertanya kepada anak keduanya yang masih mencari sesuatu dalam kotak mainan. Ia belum menemukan yang dicarinya. Zehra Hakan membantunya dengan menyebutkan nama-nama mainan yang sering dimainkannya. Topeng, mobil balap, robot plastik, hingga gasing tanah liat yang memiliki ujung berupa benang dengan ketebalan satu mili. Ehsan tidak bisa menyebutkan nama mainan kesayangannya. Ia meraung. Zehra Hakan meraupnya dan mencoba untuk meletakkannya di pangkuan.   

    Dari belakang tubuh, Nedir Aras bertanya kepada anak keduanya. "Ingin bersama Baba, ya?" sambil merentangkan kedua tangan. Hal itu tak menghentikan tangisan. Ehsan menarik ujung pakaian hari Minggunya yang berwarna nila dan putih. Selim sedang menerbangkan pesawat plastiknya, mengitari ruangan keluarga yang telah rapi sejak pukul tujuh pagi.   

    Tanpa sengaja, Nedir Aras menabrak sesuatu dalam perjalanannya menuju lantai dasar. Zehra Hakan lupa menyimpan ember plastik yang dipakainya untuk membersihkan seluruh bagian ruangan apartemen lantai tiga yang setiap ruangannya memiliki dua jendela. Dengan tirai putih yang dibersihkan dua minggu sekali dan tirai luar yang lebih tebal yang lebih sering ia lupakan untuk menggantinya dengan dua pilihan tirai lain.   

    "Apakah kau melupakan sesuatu?" Nedir Aras memanggil istrinya yang masih belum berhasil menenangkan Ehsan yang menangisi mainan yang belum ditemukannya.   

    "Oh, maafkan aku," sigap, diraihnya ember plastik itu dan ia letakkan di sudut teras balkon. Angin membersihkan bulir keringat yang muncul dari pori-pori wajah yang tak lagi terlihat seperti kulit jeruk, seusai memakai riasan. Kakinya tersandung pemisah antara balkon dengan lorong ruang tamu dan ruang keluarga. Di pintu depan, Nedir Aras telah memakai jaket warna hitam dengan Selim mengikuti dari belakang. Di tangannya terdapat mainan pesawat plastik andalan yang akan dibawanya bermain selama seharian di rumah Mirac Aras. Di pintu ruang keluarga, masih ada Ehsan yang raungannya semakin kencang. Selim menertawakannya dengan memamerkan mainan pesawat plastik kesayangan yang membuatnya semakin menangis. Zehra Hakan segera menggendongnya. Saat itu, Ehsan enggan digendong oleh siapa pun. Tidak Zehra Hakan ataupun Nedir Aras. Sebagai ibunya, Zehra Hakan tak memiliki pilihan lain.   

    "Ayo, kita sudah terlambat. Ayahku sudah menungguku!" seru Nedir Aras, di pintu rumah. Zehra Hakan masih berusaha untuk menggendong Ehsan yang tak mau berhenti menangis.   

    "Istriku, ayo, kita sudah terlambat! Apakah kau mendengar apa yang kukatakan?"  

    "Iya, suamiku!" Zehra Hakan lupa bahwa ia harus selalu menjawab setiap pertanyaan yang dilontarkan oleh suaminya. Saat itu, jarum jam telah mendekati angka sebelas. Bulir keringat di wajahnya kembali bermunculan. Semakin deras, terlebih ketika Nedir Aras mengingatkannya tentang keterlambatan.  

   

*  

   

Orang-orang boleh tidak mengenal nama siapa pun yang pernah berkunjung ke rumahnya pada salah satu dari empat musim yang tiba di Istanbul. Hampir seperempat penduduknya lebih dari sekadar tahu atau mengenal Mirac Aras. Lelaki yang seluruh kepalanya telah memutih itu tidak pernah mengenal keterlambatan dalam hidupnya. Kehidupan dimulai sejak usia delapan belas ketika ia memutuskan untuk menempuh tangga pertama pendidikannya di universitas, Program Hukum agar setelah lulus nanti, ia bisa menjadi seorang pengacara. Orang tua Mirac Aras tak pernah menghendaki anaknya untuk menjadi seorang pengacara. Puluhan tahun yang lalu, Mirac Aras tak pernah menjanjikan bahwa ia kelak akan menjadi seorang pengacara sukses yang bisa meningkatkan taraf hidup keluarga. Ayahnya bekerja sebagai seorang akuntan yang penghasilan perbulannya empat ribu TL sedangkan ibunya bekerja sebagai seorang guru Sekolah Dasar dengan penghasilan dua ribu lima ratus TL. Mirac Aras mati-matian memperjuangkan bangku kuliah. Ia menabung, selain mengambil pekerjaan sampingan sebagai seorang juru ketik di kampus tempatnya menuntut ilmu. Kala itu, belum banyak mahasiswa yang memiliki pesawat komputer, terlebih lagi laptop. Dosen di kampus selalu membebani setiap mahasiswa dengan rentetan tugas berupa satu makalah yang harus diketik. Empat hari dalam seminggu, Mirac Aras mengisi waktu sore hari dengan mengetik tumpukan buku tulis berisi goresan tangan mahasiswa yang akan mengambil makalah pada keesokan hari. Tak jarang ia menambahkan kata-kata atau kalimatnya sendiri saat ditemukannya paragraf yang masih memerlukan perbaikan. Mahasiswa-mahasiswa itu tak pernah menyadari perubahan yang ada pada makalah-makalah mereka. Mereka datang, mengambilnya, membayar sejumlah uang, kemudian pergi. Tanpa pernah membacanya.   

    Mirac Aras kemudian bertemu dengan beberapa orang yang pada tahun-tahun berikutnya menjadi rekan kerja pertama dalam membangun firma hukum. Mirac Aras pada usia delapan belas hingga dua puluh empat adalah Mirac Aras yang masih memiliki humor yang tinggi dan tawa yang menyenangkan. Gemar menolong siapa pun yang datang kepadanya untuk meminta pertolongan. Sepadat apa pun waktu yang dihabiskannya di kampus, ia masih memiliki sempat untuk berbincang dengan kedua orang tuanya. Di meja makan ataupun dalam setiap perlintasan harinya. Selepas itu, Mirac Aras memulai hidupnya pada usia dua puluh lima. Memperkenalkan dirinya sebagai seorang pengacara muda dengan wajah yang tidak terlalu tampan. Ia membekali dirinya dengan berbagai macam kemampuan. Ia mampu berbicara selama satu jam dengan setiap kata dan kalimat yang dipilihnya dengan sempurna. Tanpa ada satu pun kesalahan. Sama halnya dengan setiap kata dan tulisan yang ditulisnya. Pada tugas akhir yang menjadi syarat kelulusan, dosen penguji dan dosen pembimbingnya harus berkali-kali membaca tulisannya agar bisa menemukan satu saja kesalahan.   

    Mirac Aras berusia dua puluh lima adalah lelaki muda yang percaya diri. Meski tak mudah pada awalnya, dua atau tiga klien didapatnya setelah enam bulan memasang papan bertuliskan profesi, nama, alamat, dan nomor telepon. Dua atau tiga klien itu adalah mereka yang memiliki masalah dengan warisan, jual beli tanah, dan kasus perdata masih dengan tema yang sama. Tidak sulit bagi Mirac Aras memenangkan dua atau tiga kasus tersebut. Mirac Aras menerima gaji pertamanya sebagai seorang pengacara sebesar lima belas ribu TL. Untuk pertama kali dalam hidupnya, ia merasakan lega yang luar biasa. Ia dapat menabung lebih banyak dari masa ketika ia masih berstatus sebagai seorang mahasiswa. Lima ribu TL ia serahkan kepada orang tuanya. Beberapa bulan kemudian, Mirac Aras mendapatkan klien-klien yang membuatnya semakin dikenal sebagai seorang pengacara muda yang meyakinkan. Klien yang datang kemudian, tak hanya membawanya pada uang dengan jumlah yang lebih banyak, juga kesempatan baru untuk memperkenalkan dirinya sebagai seorang Mirac Aras yang pengacara.  

    Pada awal usia dua puluh tujuh, ketika ia belum beristri, Mirac Aras mendaftarkan dirinya sebagai mahasiswa Magister di sekolah hukum. Dua tahun adalah waktu yang cukup untuk merampungkannya. Tak perlu jeda yang panjang. Setelahnya, ia menambah gelar di belakang namanya sebagai seorang doktor dalam bidang hukum. Ia menutup masa kuliahnya pada usia tiga puluh dua dan melanjutkan kariernya dengan berpindah tempat ke pusat kota Istanbul yang ramai oleh pekerja dan pebisnis.   

    Perempuan-perempuan datang kemudian. Ada yang berkenalan, bertukar nama, meminta nomor telepon, ataupun langsung memperkenalkan diri kepada orang tua dan kerabat. Mirac Aras adalah lelaki yang bisa hangat kepada siapa pun. Dalam hal memilih pasangan hidup, ia sangat berhati-hati. Pilihannya jatuh kepada seorang perempuan yang pernah dikenalnya di kampus tempatnya kuliah untuk kali yang pertama. Meski dulu mereka tak pernah dekat, ada saat baginya untuk menjadi orang yang pertama kali menghubungi perempuan yang kelak dinikahinya satu tahun kemudian. Sebnem Yağmur adalah perempuan yang kemudian dinikahinya. Ia tinggal sebagai seorang ibu rumah tangga yang juga berperan sebagai istri seorang pengacara.   

    Mirac Aras dan Sebnem Yağmur menjadi pasangan yang kemudian menjadi orang tua dari Nedir Aras dan keempat saudara perempuan dan lelaki. Nedir Aras adalah anak tengah. Dua saudara perempuannya lahir lebih dulu. Dua saudara lelakinya menjadi adik yang masing-masing telah memiliki pasangan dan anak. Adem Aras dan Erhan Aras tumbuh menjadi seorang pengacara meskipun belum meraih titik sukses yang sama dengan ayahnya. Dua adik perempuannya menjadi seorang pegawai di kantor perpajakan. Setiap Minggu atau pada beberapa Minggu, semua anggota keluarga Mirac Aras harus berkumpul di rumah. Lengkap dengan membawa anak dan pasangan masing-masing.   

   Pagi itu, dengan memendam kekesalan yang teramat sangat, Nedir Aras melajukan mobil sedan. Ia berusaha untuk lebih cepat dari biasanya. Ayahnya sangat tidak suka dengan keterlambatan. Sejak namanya kesohor ke seluruh bagian kota Istanbul, tak ada yang berani lagi untuk menolak permintaannya. Tak ada yang berani lagi untuk menunda waktu pertemuan meskipun pertemuan itu bukanlah rapat yang berhubungan dengan kasus-kasus yang pernah ia tangani dan menangkan.   

    “Maafkan aku…” ucap Zehra Hakan pada sepanjang perjalanan menuju rumah Mirac Aras. Untuk ketiga kalinya, Zehra Hakan menyampaikan maaf dengan bulir keringat membasahi pelipis dan mata yang tak lekat menatap wajah suaminya. Nedir Aras tidak mengeluarkan suara. Napas dan dadanya berdegup lebih kencang. Ia tahu, apa yang akan terjadi setelah mobil sedan putih itu tiba di halaman rumah Mirac Aras. Dalam mobil, dua anak lelaki mereka telah asyik dengan pemandangan di luar jendela. Ehsan telah lama menghentikan tangisan. Ketika mobil sedan putih itu pada akhirnya tiba di halaman rumah dengan tinggi tiga lantai dan memiliki enam kamar, satu ruang keluarga, satu ruang tamu, tiga kamar mandi, dan halaman belakang itu, tak ada sebisik pun suara. Selim ingin menjadi orang yang pertama kali memasuki rumah kakeknya. Disusul oleh Ehsan. Zehra Hakan segera mengambil kotak makanan yang di dalamnya telah ia isi dengan borek kentang dan sepuluh potong poğaca. Belum banyak makanan yang bisa ia buat dengan rasa seenak toko makanan ataupun restoran. Namun, ia tetap membawa apa pun yang bisa dibuatnya.   

    Adem Aras muncul di teras rumah, menyapa Selim dan Ehsan, kemudian Nedir Aras. “Terlambat lagi?” tanyanya.  

    Nedir Aras mengangkat kedua tangannya dan berkata, “Kau tahulah.”  

    “Ayo, cepat masuk! Baba sudah menanyakanmu sejak tadi,” ucap Adem Aras.   

    Seluruh anggota keluarga telah berkumpul. Adem Aras bersama istri yang juga seorang pengacara. Tiga anak mereka yang memiliki kemampuan berlari dengan cepat. Erhan Aras bersama istri yang adalah seorang dokter hewan yang paling telaten dalam hal waktu dan mengurus anak. Mereka memiliki dua anak perempuan yang selalu dikatakan oleh Mirac Aras sebagai anak perempuan dengan binar mata paling cemerlang. Dua anak perempuan itu tengah berlarian di tengah ruang keluarga.   

    “Nedir Aras!” panggil Mirac Aras. Nedir Aras menghampiri ayahnya. Mereka berpelukan. Nedir Aras mencium pipi kanan anak tengahnya. Kemudian ia bergabung dengan lelaki yang telah lebih dulu duduk di sofa cokelat yang tebal dan empuk. Di meja, telah terhidang banyak hidangan yang diracik oleh para istri. Sepiring kecil irisan mentimun, tomat, dan sarma. Di meja di sebelahnya, terdapat piring kecil berisi empat iris keju yang bagian tengahnya terdapat seiris tomat. Sebnem Yağmur muncul di pintu, menyapu semua anggota keluarganya yang telah hadir tanpa sedikit pun melihat ke arah Zehra Hakan yang tengah mencari ruang kosong di meja untuk meletakkan makanan yang dibawanya. Sebnem Yağmur membawa nampan berisi empat gelas tulip berisi çay merah tua. Anak lelaki Erhan Aras berteriak, menginginkan sepotong kue cokelat dalam toples. Ehsan dan Selim melakukan hal yang sama. Zehra Hakan berkata kepadanya, “Tunggu sebentar, ya.”  

    Sebnem Yağmur segera mengambilkan stoples yang dimaksud. Ia membuka tutupnya kemudian mengambilkan beberapa keping untuk setiap cucu. Zehra Hakan masih mencari ruang kosong di meja. Karena meja itu tak menyisakan sedikit pun ruang untuk makanan yang dibawanya, akhirnya ia melangkah ke tengah rumah, ke tempat meja makan itu berada. Di bagian tengah meja itu, diletakkannya kotak makananan yang kemudian berjumpa dengan salami, roti yang telah dibelah menjadi beberapa bagian, madu, potongan cabai hijau segar, piring-piring berisi acar yang telah mendapatkan mangkuknya masing-masing, selai-selai yang menempati mangkuk mungil seukuran genggaman tangan Selim. Di ujung meja, di samping salata hijau dan ungu, terdapat sepinggan penuh menemen yang selalu menjadi sasaran pertama Nedir Aras saat mereka berkumpul di meja makan. Sebnem Yağmur telah membuat lebih dari dua pinggan menemen yang di dalamnya tak akan ditemukan sebutir pun biji cabai.  

    Kemudian seperti biasa, salah seorang anak kecil terjatuh. Suara tangisan terdengar setelahnya. Zehra Hakan menebak pastilah itu suara Ehsan, anak bungsunya yang ketika itu telah berhasil mendapatkan kue yang sangat diinginkan. Rupanya, kakinya tersandung kaki salah seorang anak atau seorang dewasa yang tengah asyik memperbincangkan pengalaman anak mereka dalam melewati hari pertamanya bersekolah. Seseorang di antara mereka membahas salah satu makanan Eropa yang baru saja dicobanya. Ehsan menangis karena rasa sakit di kakinya. Zehra Hakan mencoba meraihnya. Ehsan berkata, “Baba…”  

    Semua anggota keluarga Mirac Aras yang telah lebih dulu tiba serentak berkata, “Ia memanggil Nedir Aras” yang kemudian disertai dengan tawa bersama.   

    Mirac Aras, di atas sofa kulit warna hitam yang tak tunggal, dengan sepasang kaki yang ia silangkan bersama kaus kaki hitam barunya pun ikut berkata, “Nedir Aras, Ehsan memanggilmu…” yang ditutup dengan tawa nikmat pagi hari. Paduan suara tawa terdengar begitu merdu menyambut acara pertemuan keluarga pada awal bulan yang cerah. Zehra Hakan menundukkan kepala. Kedua tangannya tergantung di pangkuan tanpa menggenggam.  

   

*  

   

Rumah Mirac Aras terletak di Hirka-i Serif Mahallesi, Kasıksı 1, Cıkmazı Sokak, nomor 3-5. Rumah dengan luas enam puluh lima meter persegi itu adalah rumah kedua yang dibelinya setelah menjadi seorang pengacara yang tak lagi harus mengiklankan diri di surat kabar, papan iklan, ataupun media sosial. Pertemuan-pertemuan penting yang dihadirinya telah mempertemukannya dengan orang-orang penting yang pada suatu hari akan memerlukan dirinya untuk melancarkan segala bisnis yang tengah digeluti. Dulu, rumah itu masih seperti rumah hantu yang setiap dindingnya dilapisi kayu yang pada banyak bagiannya telah dipenuhi rayap. Mirac Aras menemukan nama itu dalam deret rumah tua yang diiklankan di surat kabar Istanbul. Ia terletak di baris pertama yang kemudian ditandainya sebagai rumah yang akan ia lihat sebelum membeli. Ada tiga iklan rumah yang ia tandai. Ketiganya, ia datangi pada hari yang sama dengan mengendarai mobil yang ketika itu masih berjumlah satu. Setelah melihat rumah yang ketiga, ia kembali mengendarai mobil putihnya, kembali ke rumah pertama yang kunci dan pintunya ditunggui oleh seorang warga distrik Fatih yang tidak pernah pergi ke mana pun selain rumah tempatnya tinggal. Rumah kayu itu memiliki tiga lantai dengan banyak jendela di empat bagian. Saat itu, halaman yang kini menjadi tempat parkir bagi mobil-mobil anak-anak Mirac Aras, masih berupa jalan bebatu yang bisa dilalui pejalan, sepeda, dan sepeda motor pengantar paket dan makanan. Atau sesekali mobil pengemudi yang tidak terburu-buru. Empat anak tangga yang dikomposisikan dengan bata merah dan semen seadanya, membawanya pada satu pintu masuk yang terdiri atas dua bagian pintu, kanan dan kiri. Pintu itu tidak memiliki jendela. Di atas pintu itu, terdapat segitiga kayu yang sudutnya menjadi batas antara palang pintu dengan balkon di lantai dua. Ketika pintu itu dibuka, deritnya dapat terdengar seperti jeritan seorang pasien yang kakinya dengan terpaksa harus diamputasi.   

    Aroma rayap dan kayu yang telah lama tidak bertemu dengan sinar matahari, segera merangsek ke dalam rongga hidung Mirac Aras. Semua bagian lantai yang telah memiliki rongga hampir di seluruh bagian, ditutupi semen seadanya. Rumah itu telah kehilangan penghuninya selama sepuluh tahun. Seorang tua beristri dua pernah menempati rumah itu selama lima belas tahun sampai akhirnya mereka pergi meninggalkan Turki untuk selamanya, bergabung bersama imigran ke salah satu negara di Asia. Mereka pergi dengan meninggalkan tirai putih yang masih tergantung di setiap jendela. Panci-panci dan peralatan masak pun masih berada di lemari kayu yang pada beberapa bagiannya telah hancur karena gigitan tikus yang berhasil memasuki rumah itu tanpa melalui lubang kunci. Angin berembus pelan melalui tangga yang membawa Mirac Aras ke lantai bawah tanah yang adalah dua kamar gelap yang bola lampunya tidak pernah disisakan. Di sudut kamar yang saat itu menebarkan aroma pesing tikus dan kayu tua yang lembab karena memiliki basah di banyak bagian, Mirac Aras menemukan sebuah sepatu kuning yang memiliki hak setinggi kira-kira tujuh sentimeter. Dalam kegelapan, Mirac Aras masih bisa melihat kilap di sepatu itu. Terdapat tanah dan basah air yang pernah menetes dari atap kamar mandi lantai satu.   

    “Bocor?” tanya Mirac Aras kepada ia si pembawa kunci.  

    “Ya,” jawabnya, singkat. Ia tidak menjanjikan bahwa bagian yang bocor itu akan diperbaiki. Mirac Aras mendapati seluruh bagian rumah dalam keadaan sempurna, tanpa kebocoran, tanpa lapuk, tanpa retakan, pada enam bulan setelahnya. Ketika ia memutuskan untuk membeli rumah itu secara tunai dengan uang yang ia peroleh dari tabungannya selama menjadi pengacara. Sebnem Yağmur tentu saja sangat berbahagia. Keputusannya untuk membeli rumah itu adalah seperempat dari keputusannya pula. Mereka pergi meninggalkan rumah pertama mereka di Beylikduzu, di sebelah utara Laut Marmara dan di sebelah Esenyurt, di tempat ia untuk pertama kalinya duduk bersama di sebuah kafe. Di bawah pepohonan yang menjatuhkan daun setiap lima belas menit sekali.   

    Pada hari pertama kepindahan, Mirac Aras belum terpikir untuk membeli area tambahan berupa jalan yang sepuluh tahun setelahnya, ia ubah menjadi halaman yang kemudian ditanami aneka macam tanaman dan pohon oleh Sebnem Yağmur dan kemudian tentu saja, sebuah tempat yang cukup untuk memarkir mobil-mobil miliknya dan anak-anaknya. Dua dari mobil yang dimilikinya, ia tempatkan dalam garasi yang berasal dari sebuah ruang yang pernah ia temukan sebuah sepatu kuning dengan tinggi tujuh sentimeter. Sepatu kuning itu, entah karena apa, ia tempatkan dalam sebuah kotak kaca yang kemudian ia jadikan sebagai salah satu pajangan di dinding yang menjadi perantara antara lantai pertama dan lantai kedua rumah.   

Lihat selengkapnya