Rintik dan Rincik

Eka Retnosari
Chapter #3

HOŞ GELDiNiZ (SELAMAT DATANG)

ZEHRA Hakan, perempuan dengan berat badan enam puluh tiga kilogram itu telah lama menjadi hantu. Terhitung sejak hari Nedir Aras memutuskan untuk menikahinya. Menikah dengan seorang perempuan yang bukan berasal dari keluarga pengacara membuatnya harus menerima kenyataan bahwa ia menikah dengan hantu, sesuatu yang tak bisa dilihat oleh mata Mirac Aras. Di Istanbul, Mirac Aras adalah sumber referensi utama dalam menentukan baik atau buruknya seseorang. Jika Mirac Aras tidak bisa melihat seseorang, maka seseorang itu tidak bisa dilihat oleh semua penduduk Istanbul. Tidak bisa dilihat oleh seluruh anak-anak Mirac Aras, adik-adik Mirac Aras, cucu-cucu Mirac Aras, tetangga-tetangga Mirac Aras, kolega, orang-orang yang pernah dan masih menyimpan kartu nama Doktor Mirac Aras. Pun mereka yang menyimak ceramahnya ketika ia diundang dalam sebuah forum. Orang-orang beruntung yang namanya pernah tercantum dalam daftar tamu yang diundang pada salah satu pernikahan anggota keluarga Mirac Aras kecuali Nedir Aras dan sisa penduduk Istanbul. Mereka yang pernah berpapasan, mereka yang pernah mendengar namanya meskipun berupa lintasan atau bisikan.  

    “Apakah kau tahu Mirac Aras?” seorang penduduk Istanbul yang memakai kemeja, dasi, dan setelan, bertanya kepada seorang penduduk Istanbul yang tidak pernah duduk di bangku kuliah. Iaa adalah Zehra Hakan, perempuan yang suara teriakannya tidak akan pernah bisa memecahkan jendela kaca paling tipis sekalipun. Saat itu, lima belas tahun yang lalu, Zehra Hakan tidak pernah mendengar satu kali pun dalam hidupnya, seseorang menyebut namanya. Ia tidak memiliki televisi dan pesawat radio.   

    “Ia pernah ada dalam berita. Berjam-jam lamanya. Semua orang mendengarkan setiap kata, bahkan desah napasnya,” seorang penduduk Istanbul yang saat itu memakai pakaian paling lengkap dan paling bersih dari yang ia miliki adalah kakak tertua Zehra Hakan. Ia menerima kabar dari ibunya tentang rencana pernikahan mereka berdua. Berkali-kali ia memastikan dan menanyakan, kalau-kalau Zehra Hakan tidak sedang melamunkan impian atau menceritakan mimpi seusai menyimak penuturan seorang tetangga saat menonton opera sabun di televisi.   

    “Aku mengatakan yang sebenarnya,” ucap Zehra Hakan sambil menundukkan kepala. Salah satu penduduk Istanbul yang hari itu memakai dasi, kemeja, dan jas paling rapi dari yang ia miliki sangat mengenal adiknya. Ia tidak pernah berbohong.   

    “Memangnya siapa ia?” tanya Zehra Hakan. Saat itu, kakak tercintanya belum bisa mengatakan lebih lanjut tentang pengacara tersebut. Belasan tahun berlalu sejak hari ketika seorang penduduk Istanbul mengucapkan namanya untuk kali yang pertama. Banyak hal yang terjadi dalam diri Zehra Hakan yang tidak terjadi begitu saja. Zehra Hakan pada hari ini, memiliki berat badan tujuh puluh tiga dan bertambah lima kilo sejak melahirkan Ehsan. Pakaian-pakaian dengan ukuran XXXL memenuhi seisi lemari pakaian yang menempati ruangan kamarnya secara permanen. Pintu kamar yang biasanya bisa ia lewati dengan mudah, kini menuntutnya harus berjalan dengan menyampingkan posisi tubuh. Perubahan itu membuatnya harus mengganti sepatu yang dipakainya dan segala macam benda yang melekat dalam dirinya pada setiap hari yang ia lalui. Namun, meskipun berat di tubuhnya semakin bertambah, hal itu tidak lantas membuat Mirac Aras dapat melihat ke arahnya.  

    Pernikahan itu tidak dihadiri olehnya dan siapa pun yang memiliki hubungan darah dengannya. Mirac Aras sangat berharap Nedir Aras dapat menikah dengan salah seorang anak dari rekan sesama pengacara yang dikenalnya. Ia adalah seorang pengacara muda berusia dua puluh lima yang baru saja lulus dari Universitas Negeri di Istanbul dengan nilai nyaris sempurna. Mirac Aras mengabaikan berbagai macam alasan yang membuat Nedir Aras memutuskan untuk menikahi Zehra Hakan. Parasnya yang cantik dan kebiasaannya tinggal di rumah.   

    “Ia tidak pernah pergi ke klub malam, Baba. Tidak sekali pun,” ucap Nedir Aras yang tidak didengarkan oleh Mirac Aras.   

    “Minuman beralkohol tidak hanya bisa ditemukan di klub malam, Nak,” ucap Mirac Aras.  

    Pada waktu-waktu terakhirnya, Mirac Aras menyampaikan hal yang tak hanya menjadi keinginannya, pun cita-cita yang sangat berpengaruh bagi kelangsungan sebuah keluarga. Hal itu tentu sangat penting. Mengingat Nedir Aras adalah satu-satunya anaknya yang tidak memilih untuk menjadi seperti dirinya. Ia bukanlah seorang pengacara.  

    “Kau adalah seorang pedagang,” ucap Mirac Aras.  

    “Aku adalah pengusaha, Baba,” jawab anaknya yang sangat memahami segala jenis kain  di Istanbul.  

    Segala macam kemungkinan yang dapat terjadi, kemudian diutarakan oleh Mirac Aras. Ada banyak pertemuan yang harus dihadiri olehnya pada setiap bulan.   

    “Kau tahu itu kan, Nak,” ucapnya, di ruangan kerjanya yang kali itu sepi. Sebnem Yağmur yang telah mengetahui hal itu sejak satu bulan sebelum pernikahan, tak bisa mengeluarkan sedikit pun pendapat karena memang tidak diperlukan.   

    Pernikahan mereka berlangsung di kampung halaman Zehra Hakan yang setiap balkon apartemennya selalu penuh dengan kain yang dianginkan pada pukul sembilan pagi. Belum ada aturan tentang pertanyaan-pertanyaan yang boleh ditanyakan dan pertanyaan-pertanyaan yang tak boleh ditanyakan. Pada kali pertama Nedir Aras membawa istrinya, Sebnem Yağmur yang tidak pernah mendapat izin untuk menghadiri pernikahannya, mencoba untuk memendam pertanyaan-pertanyaan yang ingin ditanyakannya. Ia memandangi perempuan yang tidak pernah dibanggakan oleh Nedir Aras. Kain yang dipakai di kepala. Ia menebak harga dan tempat ia menemukan toko paling murah untuk setiap benda yang dipakainya. Ia memberi Zehra Hakan tatapan selama lima detik, yang membuat perempuan itu segera menundukkan kepala. Jauh lebih dalam dari biasanya. Nedir Aras meninggalkannya berdiri di tengah ruangan rumah Mirac Aras dalam keadaan tak tahu harus berbuat apa. Mirac Aras menyambut kedatangan anaknya seperti seorang ayah yang rindu kepada seorang anak seusai pergi merantau ke kota lain. Ia memeluk punggung Nedir Aras, bertanya kabar, dan memintanya duduk di sofa sambil menyimak segala cerita tentang peristiwa yang terjadi dalam hidup seorang pengacara yang akun banknya tak pernah mengalami penurunan angka. Ia baru saja memenangkan kasus pembunuhan seorang pengusaha yang memiliki harta yang sangat banyak. Harta yang dapat diwariskan kepada anak-anaknya. Pembunuhnya adalah anak pertamanya. Ia yang berpenampilan biasa-biasa saja. Tidak terlihat pintar dan tidak terlihat kaya. Namun, ia bisa membunuh dan menyewa jasa seorang pengacara yang piawai dan lihai dalam menangani kasus-kasusnya. Dengan membayar satu juta Turkish Lira, ia bisa mendapatkan kebebasannya. Pun harta yang ditinggalkan oleh orang tuanya untuknya.   

    Mirac Aras menceritakan kemenangan keseratus dua puluh limanya, dengan kaki yang disilangkan dan rokok yang dinyalakan. Sementara itu, anak tengahnya yang baru menikah dan sedang membawa istrinya itu duduk di sofa samping kanan dengan segenap kemampuan untuk tak kuasa menolak sebatang rokok.   

    “Lalu bagaimana kabar pabrik kainmu?” tanya Mirac Aras.   

  “Sejauh ini baik-baik saja. Aku baru saja menikah, Baba,” ucap Nedir Aras yang tidak bertukar dengan tanggapan. Lelaki yang usianya melebihi paruh baya itu tenggelam dalam kenangan tentang ruangan megah persidangan yang menggemakan suara. Kepuasan yang terasa di dada ketika ia berhasil melontarkan pertanyaan yang tak bisa dijawab oleh anak dari korban yang meninggal. Ia berhasil membuat siapa pun tidak memercayai setiap kata, pemikiran, ucapan, dan langkah. Setelah kemenangannya, tak seorang pun manusia di Istanbul yang memercayai. Ketika orang-orang mendapatinya sedang berlari dengan wajah berlumuran darah dan mulut yang meneriakkan permintaan untuk ditolong, orang-orang akan menatapnya dan berkata, “Apa itu?” atau, “Apakah kau melihat sesuatu? Apakah kau mendengar sesuatu?”  

    Menjadi seseorang yang kalah dalam persidangan yang terdapat Mirac Aras di dalamnya, dapat membuat siapa pun menjadi hantu. Ketika ia berjalan bersama seseorang, orang-orang tak akan lagi bisa melihatnya dan peduli pada apa pun yang menimpanya. Menikah dengan salah satu keluarga Mirac Aras adalah semacam kekalahan yang hingga hari kedatangan Remziye, Feray, dan Sibel, tidak pernah disadari oleh Zehra Hakan.   

    Beberapa orang berlalu lalang di sekitar rumah Mirac Aras, termasuk Sebnem Yağmur. Mereka memberikan tatapan lima detik, dari atas hingga bawah, terpaku lama pada cincin yang melingkar di jari tangan kemudian mengulum senyum sambil melemparkan tatapan ke arah mana pun asalkan tidak kepada perempuan yang tak pernah dilihat oleh Mirac Aras. Seseorang belum memerintahkannya untuk duduk. Bahkan, hingga jarum jam di dinding telah penuh oleh bingkai berisi daftar prestasi yang membanggakan, ia masih berdiri dengan napas tak beraturan. Pembantu Sebnem Yağmur muncul dengan membawa dua gelas tulip berisi çay dan sekotak gula batu. Nedir Aras menoleh ke arah Zehra Hakan dan berkata, “Zehra Hakan, duduklah di sana!” sambil mengarahkan jari telunjuk ke arah kursi sofa yang sendiri. Zehra Hakan mengangguk dan mengucapkan syukur kepada Allah. Akhirnya, ia bisa merasakan lega seusai berdiri selama hampir tiga puluh menit.   

    Derak tulang dari kedua lututnya yang merebah lelah terdengar hingga ke daun telinga Mirac Aras. Ia menyelonjorkan kedua kakinya kemudian mengangkatnya hingga lurus dengan Zehra Hakan. Seketika, Zehra Hakan merasakan degup di dada dan bertanya dalam hati, apakah ia telah melakukan kesalahan. Nedir Aras meliriknya kemudian mengatupkan bibir. Selama beberapa detik lamanya, hening saja yang terdengar. Akhirnya, Nedir Aras berkata kepada istrinya, “Zehra Hakan, bisakah kau menungguku di dalam mobil?”   

    Mirac Aras menatap gelas tulip dan mengaduk-aduk isinya dengan sendok mungil tanpa menolehkan wajah. Pelan, istrinya berkata, “Baiklah.” Dengan langkah gontai, ia meninggalkan sofa dan percakapan keduanya yang terdengar lebih hingar ketika punggungnya telah tiba di pintu rumah.  

   

*  

   

“Aku ingin memberitahumu sesuatu. Tentang pertanyaan-pertanyaan yang boleh ditanyakan dan pertanyaan-pertanyaan yang tidak boleh ditanyakan, ketika kau telah menikah.”  Satu malam sebelum pernikahan, Eren Izmir, ibu yang telah melahirkannya mendatangi kamar sambil membawakan segelas air putih untuk puterinya yang akan segera meninggalkan rumah untuk selamanya. Selama menjadi anak, Zehra Hakan tidak pernah berkata tidak kepada setiap kata yang dikatakan oleh Baba dan Anne Zehra Hakan. Ia selalu mendengarkan dan menerima nasihat yang diberikan, terutama jika ia lebih tua darinya. Saat itu, usianya telah memasuki angka dua puluh dua, dengan ijazah Strata 1 yang penuh dengan nilai yang tidak terlalu buruk, namun tidak sempurna. Zehra Hakan masih menunggu saran dari ibunya apakah ia boleh melamar  pekerjaan di tengah kota Istanbul sebagai sekretaris. Ia menempuh perkuliahan jurusan administrasi perkantoran yang membuatnya sangat rapi dalam menyimpan segala jenis dokumen. Ia adalah orang pertama di rumah itu yang bisa ditanyai oleh seseorang yang kehilangan benda ataupun dokumen seperti dokumen kelahiran.   

    “Tunggu dulu, kita tunggu pendapat Babamu tentang ini,” ucap ibunya. Zehra Hakan adalah satu nama yang menempati tempat paling istimewa di distrik tempatnya tinggal. Ayahnya adalah seorang pekerja yang tidak pernah memiliki masalah dengan tetangga di kanan dan kiri. Kebiasaannya yang selalu diingat oleh orang-orang adalah membagi benda-benda yang telah terlalu banyak mengisi setiap ruang dalam rumah. Ia memiliki dua kursi kayu yang telah berusia tiga tahun. Kursi itu terletak di balkon lantai dua rumah, menghadap Bosphorus dari jarak terjauhnya. Kursi-kursi beserta meja itu dilepasnya kepada Emre, tetangganya yang gemar menaiki sepeda ketika waktu luang telah tiba. Selain kursi, masih banyak barang lain yang dibagikannya begitu saja, tanpa meminta mereka untuk mengembalikannya dalam lembaran uang. Hiasan-hiasan di dinding, asbak rokok yang sudah tidak dipakai, piring-piring putih berbunga yang memenuhi seluruh lemari dapur, dan lain sebagainya. Ia adalah seorang ayah yang tidak pernah mempermasalahkan Zehra Hakan menikah dengan siapa. Ketika pada akhirnya Zehra Hakan pergi meninggalkan rumah untuk selamanya, ia tidak pernah mempertanyakan. Pun dengan burung-burung yang terbang di atas apartemen-apartemen yang cerobong asapnya tak pernah sepi dari asap hitam dan halamannya tak pernah sunyi dari remahan roti.  

   

*  

   

Beberapa orang di dunia ini bisa mendapatkan suatu hal karena keberuntungan. Banyak orang di dunia ini bisa mendapatkan sesuatu karena hal yang diketahuinya. Sebelum Nedir Aras menikahi Zehra Hakan, ada tiga pertemuan yang pernah dilalui olehnya dan keluarga Zeki Hakan. Zeki Hakan yang gemar mendengarkan segala jenis suara yang bisa terdengar oleh daun telinga, menerima kedatangan lelaki dengan tinggi di atas seratus enam puluh lima. Nedir Aras mengatakan kepada kedua orang tuanya bahwa ia menemukan nama Zehra Hakan dalam daftar tamu yang diundang pada acara reuni teman sekolah. Undangannya disebar di media sosial. Zeki Hakan tidak terlalu memahami apa yang dikatakan oleh Nedir Aras. Ia menganggukkan kepala dan menjatuhkan rambut putih serta uban di sela-sela rambut usia tuanya. Istrinya tidak bisa memberikan senyuman kepada lelaki yang datang sendirian itu. Meski kedua tangannya dipenuhi bunga, makanan, dan buah yang bisa menempati seperempat ruangan lemari pendingin, hatinya masih berisi keraguan. Bola matanya yang menyerupai kacang almond dan berwarna cokelat muda menatapnya sekilas kemudian mempersilakannya duduk di satu-satunya sofa bunga di apartemen mereka.   

    Nedir Aras memperkenalkan dirinya sebagai anak tengah Mirac Aras. Baik Zeki Hakan ataupun istrinya tidak pernah mendengar apa pun tentang namanya. Kedua mata Nedir Aras menyapu seluruh bagian rumah yang berukuran enam kali tujuh meter. Tak ditemukan televisi ataupun radio. Pun meja yang berjumlah dua, berisi nampan dan piring-piring lebar tempat istri Zeki Hakan akan meletakkan buah-buah yang dibawanya. Tak ada surat kabar, majalah, dan apa pun yang memungkinkan bagi siapa pun untuk menemukan nama Mirac Aras.  

    Nedir Aras memutuskan untuk tidak menjelaskannya dan menyerah untuk memberitahu siapakah keluarga yang telah membesarkannya. Zeki Hakan bertanya, mengapa ia datang seorang diri. Nedir Aras berkata, ayahnya memiliki kesibukan yang lebih daripada siapa pun manusia di Istanbul. Ia bekerja mulai hari Senin hingga Sabtu dan memiliki waktu khusus untuk pertemuan keluarga pada hari Minggu.   

    “Apakah ayahmu adalah seorang guru?” tanya Zeki Hakan.  

    “Bukan. Ia seorang pengacara,” jawab Nedir Aras.  

    “Pengacara?” tanya Zeki Hakan. Istrinya duduk di sampingnya. Mendengarkan dan menunggu waktu yang tepat untuk menyeduh teh. Zehra Hakan berdiri di pintu dapur, mengelap noda yang bisa dibersihkannya.  

    “Ya,” jawabnya, tanpa diikuti dengan penjelasan. Setelahnya sunyi. Tak ada lagi yang mengajukan pertanyaan. Tak ada lagi yang memberikan jawaban. Di sudut ruangan, Zehra Hakan menjatuhkan air mata karena suatu sebab yang tak bisa ia jelaskan.  

   

*  

   

Pertemuan berikutnya bisa dikatakan sebagai pertemuan yang tidak direncanakan. Nedir Aras, untuk kedua kalinya, dengan mobil pribadinya yang ketika itu berwarna putih polos, datang untuk menjemput Zehra Hakan. Zeki Hakan sedang duduk di kursi depan bersama salah satu tetangga yang berharap bisa berlibur ke Antalya. Zeki Hakan mempersilakan Nedir Aras. Zehra Hakan boleh dibawanya pergi asalkan tidak menginap. Nedir Aras berkata, “Tentu saja.”  

    Nedir Aras membawanya ke restoran yang setiap pelayannya memakai seragam rapi, bersih, dan tentu saja wangi. Mereka memakai kemeja putih, rompi kotak-kotak merah dan kuning, serta tak lengkap rasanya jika tak memakai dasi kupu-kupu merah. Dengan rambut yang tak beruban dan memiliki permukaan licin hingga dapat memantulkan sinar lampu di tengah restoran, setiap pelayan telah dibekali kemampuan untuk meminta lebih dari yang semula telah mereka tanam dalam benak orang-orang yang kelaparan. Pun pada senyuman dari setiap tamu yang datang.   

    Zehra Hakan menoleh kepada dirinya sendiri. Mempertanyakan pakaian yang tidak memiliki kilap seperti yang dipakai oleh orang-orang yang datang pada malam itu.  

    “Duduklah,” ucap Nedir Aras tanpa membantunya untuk menarik salah satu kursi dan mempersilakannya duduk. Ia telah mendaratkan tubuh lebih dulu pada salah satu kursi yang permukaan kainnya dilapisi beludru merah tanpa serabut. Canggung karena tak tahu apa yang mesti dikata, Zehra Hakan menarik kursi di samping kanan Nedir Aras. Tak lama setelah itu, dua  lelaki bertubuh besar, dengan cambang dan kumis yang memiliki ketebalan yang sama, memasuki ruangan dan duduk di meja nomor sembilan belas, tepat di sebelah punggung Nedir Aras. Mereka melakukan percakapan dengan suara yang begitu jelas sehingga Zehra Hakan harus berulang kali menanyakan pertanyaan yang ditanyakan oleh Nedir Aras.  

    “Apakah yang ingin kau pesan?” tanya Nedir Aras. Di tangannya terdapat buku berisi menu makanan pembuka, makanan utama, makanan penutup, hingga minuman tanpa alkohol. Zehra Hakan yang punggung tangannya dipenuhi lapisan kasar dan putih dari kulit yang bersisik karena tidak pernah mendapatkan olesan pelembap kulit, mengalami kesulitan ketika harus membuka buku menu tersebut. Berat, tentu saja. Ketika buku itu berhasil ia angkat dan buka, tak ada satu pun tulisan di menu tersebut yang bisa dibacanya.  

    “Ini bahasa Arab,” ucapnya sambil melihat ke wajah Nedir Aras.  

    “Ya, itu bahasa Arab,” timpal Nedir Aras yang bertukar dengan hening sesaat. Zehra Hakan menunggu hingga suaminya mengatakan sesuatu. Nedir Aras menatap buku menu, membolak-balik halaman, dan memanggil salah seorang pelayan yang pakaiannya memiliki ukuran yang sama dengan pelayan lain. Nedir Aras memesan salad sebagai pembuka, kentang tumbuk beserta potongan kambing, tomat, dan jamur. Ia memesan yoghurt segar yang disajikan dalam gelas tinggi. Bukan yoghurt dalam kemasan. Pelayan merekam hal itu dalam ingatannya yang cemerlang. Ia bertanya apakah ia menginginkan puding susu sebagai penutup.   

    “Trileçe,” jawabnya.   

    “Baik,” jawab pelayan. “Adakah lagi yang ingin Tuan pesan?”  

    “Makanan yang sama untuknya,” ucap Nedir Aras sambil mengarahkan jari telunjuk, tepat ke depan wajah Zehra Hakan yang sedang menyimak percakapan keduanya.  

   

*  

   

Mirac Aras telah menyudahi percakapan dengan Nedir Aras. Zehra Hakan duduk di bangku paling belakang mobil yang menebarkan harum mawar. Mirac Aras mengantarkan anaknya hingga ke depan pintu. Ia berpesan kepadanya agar tidak mengikuti siapa pun. Jika ia tetap ingin menjadi pengusaha kain yang sukses, janganlah mengikuti langkah orang lain meskipun ia telah memiliki kesuksesan berupa nama baik dan kekayaan. Nedir Aras harus tetap menjadi dirinya sendiri. Pribadi yang kuat bisa diperjuangkan, kepercayaan diri bisa ditumbuhkan, keberanian bisa dipupuk, tapi kepercayaan tidak. Sekali ia robek, selamanya tak akan bisa dirangkai kembali menjadi sesuatu yang utuh.   

    “Katakanlah kau ingin membangun sebuah rumah,” ucapnya, di teras rumah yang tak ada suara selain suaranya.  

    “Kau tak akan bisa memercayakannya kepada seseorang yang baru kau kenal. Kau harus memercayakannya kepada seseorang yang setidaknya mengenalmu bukan dari tanggal lahir dan biodata yang bisa dengan mudahnya ditemukan oleh siapa pun di jejaring sosial,” Mirac Aras, dengan kedua tangan yang dimasukkan ke dalam saku dan urat yang menjalar di dua bagian lengan mengakhiri percakapan dengan menatap tajam bola mata anaknya.  

    “Apakah kau percaya kepadaku?” tanya Nedir Aras.  

    “Aku percaya kepadamu,” Mirac Aras, tanpa menunggu anaknya memasuki mobil kemudian pergi, memilih untuk masuk ke dalam rumahnya lebih dulu. Ia menghindari perpisahan dan semacamnya. Nedir Aras melakukan hal yang sama. Dengan kedua tangan tenggelam dalam dua saku celana, berjalan dengan langkah yang bisa terdengar dengan jelas.   

    “Apakah kita bisa pulang sekarang?” Zehra Hakan bertanya ketika Nedir Aras memasuki mobil. Ia menoleh ke arah Zehra Hakan yang wajahnya tenggelam dalam bayangan lampu mobil yang dimatikan. Ia tidak menjawab. Zehra Hakan menyesali pertanyaan dan baru menyadari bahwa ia telah mengeluarkan pertanyaan yang tak boleh ditanyakan.  

   

*  

   

Sepulang dari restoran yang membawanya pada berbagai hidangan dan peralatan makan lengkap dengan kain di pangkuan, Zehra Hakan memasuki kamar tanpa kehendak untuk bercerita. Ibu Zehra Hakan telah memasuki kamar sejak pukul sepuluh malam. Ayah Zehra Hakan sedang duduk di kursi dapur, bersama gelas kosong dan teko air putih yang akan segera dituangkan. Semula, ia hendak bertanya tentang tempat atau hal yang telah dilakukannya di luar rumah. Namun, puterinya tidak terlalu ingin berkata-kata. Pintu kamar itu ditutup dengan napas yang tak beraturan. Beberapa menit lalu, Nedir Aras mengantarkannya hingga ke halaman tanpa mengeluarkan seuntai pun kaki. Pintu mobil itu tidak dibukanya. Tanpa menyempatkan diri untuk turun dan menyalami kedua orang tua Zehra Hakan, Nedir Aras mengucap pamit dan selamat malam. Ada pekerjaan yang harus dilakukan. Sepulang mengantarkan perempuan yang telah pasti akan dinikahinya, Nedir Aras mengarahkan mobil yang dihadiahkan oleh Mirac Aras pada suatu hari, ke pabrik kain tempatnya menghabiskan hampir separuh usia mudanya. Pun dua puluh empat jam waktunya. Sementara itu, Zehra Hakan merasa bingung, memilah apakah hal pertama yang harus dilakukannya pada malam seusai makan malam dengan lelaki yang telah pasti akan menikahinya.   

    Malam itu, untuk pertama kalinya, ada seorang lelaki yang mengajaknya meninggalkan rumah, dengan mobil berkilau, melewati setiap bebatuan di jalan yang sebagian besar memiliki lubang. Banyak di antara penghuni menyempatkan diri untuk melongokkan wajah, mencari tahu  lelaki dalam mobil yang datang pada malam hari untuk menjemput seorang perempuan yang beruntung. Nihaye, penghuni apartemen tiga lantai yang bahkan menghabiskan waktu untuk mencatat plat nomor mobil, memastikan apakah lelaki di balik kemudi itu memiliki kumis atau janggut, memakai jaket atau baju hangat rajut mahal yang tidak dapat ditemukan di toko pakaian yang papan iklannya dipasang di samping jalan. Sulit memastikan apakah ia memiliki cincin di salah satu jemari. Nihaye tak memiliki cukup waktu untuk berlari hingga ke tangga depan apartemen untuk memastikan.   

Lihat selengkapnya