Rintik dan Rincik

Eka Retnosari
Chapter #4

HOSÇAKAL (SELAMAT TINGGAL)

DARI jarak setinggi tiga puluh meter, atap-atap yang sebagian besar berwarna merah tua, abu-abu, dan jingga itu tampak seperti lukisan yang tanpa sengaja dilukiskan. Antena yang saling berjalitan di sela-sela jingga dan merah bata itu tampak seperti rambut seorang perempuan yang usianya hampir tiba di angka sembilan puluh. Masih dari jarak setinggi itu, sepeda-sepeda bekas yang kehilangan salah satu bagian roda atau memiliki bagian yang telah berkarat, terlihat seperti semut yang menyeberangi perlintasan antara reranting yang satu dengan reranting lainnya. Pada waktu-waktu tertentu, sore hari menjelang pukul lima, terdapat serombongan anak yang bermain sendiri-sendiri. Teriakannya meski tak bisa terdengar hingga tiga puluh meter jauhnya, menjadi semacam panggilan bagi siapa pun yang masih memenjarakan diri dalam salah satu dinding rumah yang seluruhnya dipenuhi berbagai macam corak buatan dan goresan seorang remaja tak dikenal yang pernah menginap di halaman salah satu rumah pada salah satu musim panas yang tak berangin ribut. Meski beberapa bangunan di kanan dan kirinya telah berganti dengan bangunan-bangunan baru yang tidak memiliki sehelai surat sebagai bukti kepemilikan syah, tulisan-tulisan seperti itu tetap dapat ditemukan pada dinding-dinding yang tidak dilapisi semen kualitas tinggi. Seseorang telah meninggalkan sebuah kata atau tiga kata agar bisa dibaca oleh siapa pun yang melintasi bangunan itu. Orang-orang yang tinggal di dalamnya, tak lagi peduli, apakah dinding tempat tinggal mereka memiliki sebuah tulisan di permukaannya ataukah tidak.   

    Nazli Hakan bukanlah perempuan yang terlalu pintar jika dibandingkan dengan perempuan berusia tiga puluhan yang lahir dan tumbuh di salah satu wilayah gecekondu, di sebelah barat Istanbul. Ia menyelesaikan masa studinya dengan mendapatkan nilai di bawah rata-rata pada akhir usia enam belas. Setelahnya, ia menjadi salah satu pekerja di pabrik ban, di wilayah utara Istanbul, dengan nama yang tidak pernah tercantum dalam daftar nama pekerja. Setiap pagi, ia bangun dan berangkat dengan memakai pakaian serba gelap, menggigit selembar roti lavas yang memiliki isian kemudian beranjak meninggalkan salah satu apartemen di salah satu gecekondu paling populer. Ibunya bekerja di rumah, menakar gram demi gram bubuk teh Turki yang dititipkan oleh salah seorang pekerja pabrik teh yang telah bekerja selama tiga tahun. Ia tak lagi memiliki seorang ayah sejak mereka mengalami pengusiran di salah satu wilayah gecekondu. Ayahnya bersama beberapa lelaki paruh baya hilang pada suatu hari, ketika Nazli dan sang ibu tengah memunguti barang yang bisa mereka selamatkan dari reruntuhan yang pernah menjadi salah satu dinding kamar, ruang tamu, dan kamar mandi. Pencarian mereka tak berbuah hasil. Di apartemen yang dibangun oleh beberapa paruh baya yang tersisa, mereka menunggu selama lebih dari tujuh bulan lamanya hingga akhirnya ia dan ibunya memasukkan namanya sebagai salah satu nama yang didoakan. Namanya bergabung dengan nama-nama lain yang telah mendahului. Nama buyukanne, babaanne, dan nama-nama teman sepermainan yang telah hilang. Mereka pergi tanpa meninggalkan alamat ataupun nomor telepon.  

    Ketika usianya masih belasan, jumlah rumah, apartemen, dan tempat tinggal lain di gecekondu yang mereka huni, tidaklah banyak. Beberapa jendela dan atap terhubung dengan satu kabel sebagai sarana untuk berbagi. Beberapa rumah memunculkan suara pada waktu-waktu tertentu, dari radio ataupun televisi yang itu pun sangat jarang menampilkan gambar utuh. Kadang, ia berupa barisan garis di antara ribuan semut yang bergerak secara teratur ke arah atas layar televisi. Biasanya, pada salah satu malam minggu, mereka, orang-orang yang tinggal di gecekondu akan mengisi waktu bersama. Duduk di depan televisi dan radio yang menyiarkan berita yang lebih sering tidak mereka dengarkan. Pada akhirnya, mereka akan bercakap-cakap sambil meminum çay dan memakan makanan yang dibawa oleh salah seorang tetangga yang baik hati. Tak jarang, pertemuan tanpa terencana itu menjadi sarana pertemuan pasangan. Seorang ibu membawa seorang puteri yang belum memiliki pasangan. Seseorang yang lain akan membantunya dengan menceritakan salah seorang kawan atau keluarga yang belum memiliki pasangan. Namun, hal itu adalah kisah atau pengalaman yang terjadi sekali waktu. Pertemuan pada malam minggu itu lebih banyak berisi lamunan, tatapan kosong ke luar jendela, dan tebaran kacang di lantai yang tidak ditutupi karpet dan selimut tebal.   

    Nazli Hakan tidak menemukan Zeki Hakan dari buah bibir pertemuan malam minggu. Ia bertemu dengan suaminya ketika keduanya masih bekerja di pabrik ban tempat keduanya bekerja. Tanpa perkenalan dan kartu nama, keduanya sudah saling menandai. Suatu hari, mereka tahu, mereka akan menikah setelah tiba waktunya bagi mereka untuk menikah. Ketika Zeki Hakan telah memiliki jumlah gaji yang cukup untuk menghidupi dua orang. Sama seperti Nazli Hakan, Zeki Hakan menyewa apartemen yang listriknya lebih sering tidak menyala pada pertengahan hari atau pada malam ketika sekeliling bangunan itu sedang mencapai titik paling sunyi.   

    Setiap hari, mereka bertemu mata dan sibuk dengan pekerjaan mereka masing-masing. Tubuh keduanya menebarkan aroma karet yang belum disulap menjadi ban. Wajah mereka selain penuh dengan keringat dan minyak, pun memantulkan karet-karet yang telah berhadapan dengan waktu enam belas jam yang mereka lalui. Berbeda dengan Nazli Hakan, nama Zeki Hakan tercantum sebagai salah satu karyawan resmi pabrik ban. Hal itu, tentu saja, berpengaruh besar pada angka gaji yang ia terima setiap bulan. Jika Nazli Hakan menerima uang sebesar sembilan ratus TL, Zeki Hakan, dengan status sebagai seorang karyawan pabrik ban meskipun tidak tetap, mendapatkan seribu lima ratus untuk setiap peluh dan urat yang tumbuh di sepanjang lengan dan betis. Setelah menikah, Zeki Hakan selalu memamerkan urat yang menjalar serupa akar. Setiap malam, ia meminta Nazli Hakan untuk melakukan pijatan dan handuk hangat yang bisa mengurangi letih. Nazli Hakan langsung diberhentikan ketika salah seorang staf pabrik  mengetahui bahwa salah seorang buruh telah menikah dengan salah seorang buruh lepas. Dengan gaji yang ada, Zeki Hakan bisa hidup dalam pernikahan, tentunya dengan menunda banyak hal yang diimpikan oleh perempuan berusia belasan atau awal dua puluhan. Zeki Hakan meminta Nazli Hakan untuk memakai kain yang bisa menutupi rambut dan kepala. Nazli Hakan menurutinya setelah pada suatu minggu, Zeki Hakan menghadiahinya dua helai kain segiempat bergambar bunga dan kotak persegi merah muda. Nazli Hakan yang sering lupa mengucapkan terima kasih, segera mematut wajah di depan cermin. Ia ingin memastikan apakah kain itu membuatnya lebih cantik ataukah tidak. Ia tidak bertanya kepada Zeki Hakan apakah kain itu tampak pantas di kepala ataukah tidak. Setelahnya, ia memakai kain itu, melilitkannya di leher, kemudian berlalu pergi ke mana pun.   

    Setelah dua tahun pernikahan, keduanya memiliki anak yang memiliki selisih sebanyak dua tahun. Anak pertama adalah seorang lelaki yang mengikuti jejaknya, bekerja sebagai seorang buruh pabrik. Anak kedua adalah seorang perempuan yang mengikuti jejak ibunya, yaitu mengantungi bubuk teh yang ia tempatkan dalam satu per satu kantung. Mereka melakukan itu saat Zeki Hakan sedang berada di pabrik, bersama ban yang mereka olah dari karet mentah untuk kemudian dibeli dan dipakai oleh pabrik yang memproduksi mobil penuh kilau. Pabrik-pabrik yang setiap karyawannya terdaftar, memiliki kartu identitas berlaminasi, memiliki seragam cerah yang tak pudar, dan memiliki asuransi kesehatan yang dapat digunakan. Beberapa dari banyak hal yang tidak bisa dimiliki oleh Zeki Hakan.   

    Bekerja di pabrik ban adalah satu hal yang kemudian menjadi pilihannya hingga usia empat puluh tujuh. Setiap lelaki yang tinggal di salah satu gecekondu wajib mengikuti aturan tak tertulis yang berlaku. Jika pekerjaan utama lelaki adalah sebagai buruh pabrik ban, maka hal itu harus menjadi pilihannya hingga mati. Namun, jika Zeki Hakan tiba pada usia yang mengharuskannya untuk tidak bekerja, maka yang harus dilakukannya adalah membuka kedai çay yang keuntungan harian yang diperolehnya tidak boleh melebihi kedai çay yang telah lebih dulu ada di kanan dan kiri. Jika Zeki Hakan tak memiliki cukup uang untuk membuka kedai çay, maka yang bisa dilakukannya adalah mengikuti pekerjaan yang dilakukan oleh istri dan anak perempuannya, yaitu mengantungi satu persatu kantung teh, menumpuknya hingga tersusun banyak kotak berisi dua puluh lima ataupun lima puluh kantung kemudian menunggu seorang buruh pabrik teh untuk mengambil dan menukarnya dengan beberapa puluh lira.   

   

*  

  

Satu hari seusai pernikahannya dengan Zehra Hakan, Mirac Aras yang ketika itu telah kehilangan kemampuan untuk menghitung jumlah uang yang dimilikinya, mengadakan pertemuan yang tidak dihadiri oleh satu pun anggota keluarga. Pertemuan itu tidak terjadi di kafe, restoran, atau hotel atau ruangan kerja Mirac Aras yang dindingnya memiliki dua pendingin ruangan. Mereka bertemu di sebuah mobil limo yang televisinya sedang menayangkan seorang artis perempuan dengan belahan dada menurun, dengan gaun merah tua. Limo itu adalah salah satu di antara banyak kendaraan dalam garasi kantor yang digunakannya sewaktu-waktu. Saat ia akan menggunakan limo, seorang pengemudi telah siap untuk membawanya ke mana pun asalkan masih di wilayah Istanbul. Pengemudi itu dimintanya keluar dari limo setelah satu jam sebelumnya, ia melakukan penjemputan kepada Nedir Aras yang masih berada di apartemen pertama yang mereka sewa sebelumnya. Mirac Aras, wajahnya penuh dengaan kumis dan janggut yang telah memutih, seluruh bagian kepala, juga pakaian yang dipakainya. Dengan panggilan telepon genggam, Nedir Aras dapat memenuhi kehendaknya. Tanpa kata dan bahasa, Nedir Aras memintanya untuk segera memasuki mobil. Ia duduk di sampingnya tanpa memiliki keinginan untuk menyelanya dengan pertanyaan. Limo itu membawa mereka ke Gülhane yang sepi oleh pengunjung. Tak ada tulip ataupun bunga lain yang tumbuh untuk dinikmati oleh penduduk Istanbul dan turis yang merindukan.  

    Nedir Aras dengan kumis yang tersisir rapi, dengan mata yang terpaku pada layar televisi di hadapan, bertanya kepada Nedir Aras yang baru saja melalui satu malam bersama istrinya. Mirac Aras bertanya, “Apakah ia berdarah?”  

    Nedir Aras menarik napas, menahannya sesaat kemudian mengembuskannya perlahan. “Ya, Baba, ia berdarah.”  

    “Berapa banyak?”  

    “Aku tidak tahu. Mungkin beberapa tetes,” jawabnya.  

   “Apakah kau yakin?” tanya Mirac Aras.  

    “Maksudmu, Baba?”  

    “Apa kau yakin itu adalah darah?”  

    “Tentu saja itu adalah darah.”  

    “Apakah kau yakin itu adalah darah dari kemaluannya yang robek dan bukan dari kapsul yang dimasukkannya secara mendadak?”  

Lihat selengkapnya