Rintik dan Rincik

Eka Retnosari
Chapter #5

iYi GÜNLER (SEMOGA HARIMU MENYENANGKAN)

NYANYIAN seorang penyanyi yang gemar memakai pakaian merah tua bertaburkan glitter terdengar pada pukul setengah sepuluh pagi. Seseorang sedang menyalakan radio yang tidak memiliki pemandu acara. Aroma cabai hijau dan tomat yang dipanggang di atas api tercium hingga ke pintu rumah Zeki Hakan yang sedang menggaruk borok di belakang lututnya yang semakin menipis. Istrinya telah menghabiskan sepuluh menit waktunya dengan mencari sobekan kalender yang pernah disobeknya pada beberapa hari sebelumnya, tanpa sadar. Sobekan kalender itu menyisakan sedikit kertas yang menyudut pada lembar demi lembar kertas bergambar museum dan masjid di kawasan Sultan Ahmet. Pada sobekan yang hilang itu, terdapat nama beserta nomor telepon seseorang yang menjanjikan pekerjaan. Seseorang itu merupakan seorang pekerja apartemen yang untuk menempuhnya memerlukan tiga jenis transportasi umum. Satu bus, satu metrobus, dan kereta. Jika ia bisa mendapatkan pekerjaan itu, ia akan mendapatkan jarak terdekatnya dengan Zehra Hakan yang tak pernah mengunjungi tempat tinggalnya setelah menikah. Ia berkata tak apa kepada istrinya seandainya ia mendapatkan pekerjaan yang lebih baik dari mengantungi teh. "Pekerjaan itu mengharuskanku bangun pada pukul empat pagi lalu kembali pulang pada pukul delapan malam. Setiap hari," istri Zeki Hakan memberi tahu suaminya ketika dengan pensil setinggi lima sentimeter, ia mencatat nomor telepon dan nama yang didengarnya dari seorang petugas kebersihan apartemen yang masih sepi dari penghuni. "Tak masalah," jawab Zeki Hakan. Gajinya seribu TL per bulan. Dibayarkan pada tanggal yang tak tentu. Namun, untuk menjadi petugas kebersihan apartemen, tidaklah mudah. Persyaratan usia, pendidikan, dan keanggotaan perusahaan yang khusus mengelola petugas kebersihan di mal atau rumah sakit kelas satu atau apartemen-apartemen dengan lift lebih dari satu, menghambat langkah istri Zeki Hakan. Pertemuan dengan kerabat tetangganya yang sedang memanggang cabai dan tomat itu membawanya pada percakapan tentang harga sayuran dan roti yang terus naik dan berbagai barang kebutuhan rumah tangga yang tak bisa lagi dibelinya. Ketika segalanya pada akhirnya menemukan kata selesai, istri Zeki Hakan tak bisa memaksanya untuk menggantinya dengan perabotan baru yang bisa digunakan. Kipas angin, teko pemanas air, setrika, dan segala perabotan rumah tangga yang mengalami korslet karena arus listrik yang tak bisa ia kendalikan, pada akhirnya menempati balkon yang ukurannya tak pernah bisa memuat kursi dan meja dari bahan kayu yang telah diberikannya kepada salah seorang tetangga. Perabotan tak berfungsi itu dibiarkan di sana, sampai akhirnya seorang tukang rongsokan datang untuk mengambil dan menukarnya dengan dua puluh lima TL yang berharga. Dari dua puluh lima TL itu, istri Zeki Hakan dapat memperpanjang usia kompor dapurnya dengan empat potong roti bundar dan beberapa selai yang terasa lebih nikmat saat diolesi mentega. Informasi tentang lowongan pekerjaan yang didapatnya melalui obrolan tanpa segelas teh dan permen, belumlah akan bertukar dengan penerimaan. Telah bertahun-tahun istri Zeki Hakan tidak berpergian dengan jarak yang jauh yang ditempuh dengan menggunakan kereta. Ia tak lagi memiliki kartu yang biasa dipergunakan oleh seluruh warga Istanbul untuk membayar ongkos perjalanan. Sejak menikah, dolmus adalah kendaraan yang biasa digunakannya untuk berpergian ke pasar dengan jarak lima kilometer atau toko pakaian pada satu minggu menjelang bayram. Hari raya. “Aku bisa membersihkan apa pun,” ucap istri Zeki Hakan. Namun pagi itu, ketika tetangganya telah selesai memanggang cabai hijau dan tomat merah beserta isinya dan menghidangkannya di atas lantai rumah yang tak memiliki karpet sehelai pun, secarik kertas bertuliskan nama dan nomor telepon kerabatnya tak juga ditemukan. Kotak kardus setinggi dua puluh lima sentimeter dengan permukaan warna hitam dan gambar teko berkilau yang tekonya telah menempati balkon itu tak menyisakan satu pun sampah. Kulit bawang merah dan daun bawang berserakan bersama kotak gula yang tak menyisakan remahan. Zeki Hakan sangat tahu bahwa istrinya sedang mencari kertas yang memiliki kemungkinan untuk membawanya pada hari esok yang lebih baik. Uang selalu menjadi bahasan utama orang-orang di Istanbul. Terlebih di rumah yang setiap dindingnya memiliki ketipisan yang lebih dibandingkan dengan dinding rumah atau apartemen penduduk lain. Zeki Hakan tengah duduk di atas bantal segiempat biru, dengan kaki bersila dan tangan yang tak sibuk. Setrika kedua yang dipegangnya sedang menantangnya untuk segera memperbaikinya agar tumpukan pakaian di dalam kamarnya dapat segera berpindah ke dalam lemari. Seseorang masih ingin mendengarkan radio. Lagu telah berganti dengan salah satu musik Ömar Faruk yang pendengarnya tidak hafal bahwa itu adalah musik yang dikomposisikan olehnya. Volume suaranya dapat menembus setiap dinding rumah. Ia menjadi semacam musik latar dari setiap penghuni yang bertarung sendiri-sendiri dengan pagi yang juga sendiri. Istri Zeki Hakan kembali memasukkan sampah ke dalam kotak yang ia namai sebagai tempat sampah. Sekilas diliriknya Zeki Hakan yang tidak bersuara. Dengan langkah yang tidak terlalu cepat, ia menyapa tetangganya yang memiliki kerabat seorang petugas kebersihan apartemen. Ia sedang berbincang dengan burungnya yang mungil dan memiliki nama Papağan padahal ia bukanlah burung beo. Ia sangat mendamba seekor burung beo yang dapat menemaninya hidup setelah suaminya pergi ke kota yang lain dan tidak pernah kembali. Ia tidak bisa mengingat nomor, terlebih alamat kerabat yang bekerja sebagai petugas kebersihan. Orang datang dan pergi pada setiap minggu. Ia mengatakan semua sebagai kerabatnya. "Kapan ia akan kembali lagi? Apakah ia akan kembali lagi?" "Aku tidak tahu," kemudian terciumlah aroma telur bersama mentega yang tidak terlalu banyak. Ömar Faruk masih di radio seseorang. Istri Zeki Hakan kehilangan satu kesempatan untuk mendapatkan pekerjaan. Ketika ia kembali ke rumah, didapatinya suaminya sedang ikut menyenandungkan musik yang didengarnya. "Setrika itu telah berhasil kuperbaiki. Kau bisa memakainya lagi hari ini," Zeki Hakan membuka lemari dapur dan mengeluarkan kantung teh yang merupakan salah satu dari kantung-kantung yang isinya adalah serbuk teh yang dikantongi oleh istrinya pada minggu sebelumnya.   

*  

Zehra Hakan tertidur dalam sebuah tidur siang yang tak pernah dilakukannya kecuali dalam keterpaksaan atau ketidaksengajaan. Kepalanya tiba di atas bantal berukuran 15x15 sentimeter yang setiap serat kainnya memiliki harum bunga mekar merah muda yang tahan lama. Ada air liur di sudut bibirnya yang gincu di ruas kanannya telah menodai permukaan bantal tak bersalah. Selim telah lebih dulu memasuki mimpi. Di atas karpet dan truk pemadam kebakaran merah beragam ukuran, ia terbaring dengan tubuh terlentang tanpa memakai kaus kaki. Mulutnya dalam keadaan terbuka dan siap untuk dimasuki hewan yang melintas tanpa sepengetahuan Zehra Hakan. Kaus belang-belang hijau abunya telah memiliki noda cokelat di dada dan perut sebelah kiri. Angin musim panas yang kering, menyelinap lewat jendela yang terletak tepat di atas kepala Selim yang rambutnya belum berjumpa dengan tukang cukur. Dengkurannya yang halus bersahutan dengan dengkuran Zehra Hakan yang tertidur dalam keadaan duduk. Tak jauh dari Selim, Ehsan yang tidak memakai kaus belang-belang hijau yang sama sedang menemukan kebahagiaan baru dengan krayon, spidol, dan cat air yang tubenya telah berhasil ia buka. Ehsan tak lagi mempertimbangkan antara satu warna dengan warna lain. Ia memilih hijau untuk membuat motif baru bagi permukaan dinding ruang bermainnya yang masih putih dan tak memiliki satu pun noda. Ia begitu girang ketika dengan jari telunjuk dan telapak tangannya, sebuah gambar telah tercipta. Tak ada yang mengganggunya. Coretan hijau itu telah bertemu dengan warna-warna lain. Oranye, ungu, merah, kuning dari krayon dan dua pensil warna yang dipilihnya secara acak. Tingginya belum mencapai satu meter. Namun, dengan tangan kanan yang direntangkan, ia mampu membuat lukisan yang melampaui kepala dan rambut yang belum bertemu dengan tukang cukur. Karena kedua kakinya enggan diam dan bertahan lama dalam posisi duduk bersila, maka diinjaknya kemasan cat air yang pada akhirnya mengeluarkan semua isi beserta kebahagiaan sesudahnya. Ehsan bersuara, menyebut itu sebagai cat air yang tentu saja segera diserbu dan dipindahkan ke permukaan dinding. Beberapa waktu lalu, Zehra Hakan pernah mengajaknya untuk melakukan hal serupa pada kanvas segiempat berukuran 30x30 sentimeter. Selim bertanya, gambar apakah yang harus ia buat untuk menyenangkan hati.   

"Tak harus gambar. Kau boleh menuangkan apa saja di permukaannya," ucap Zehra Hakan yang pernah mendapatkan cerita dari Ferah tentang anaknya yang telah berhasil membuat lukisan tanpa bantuannya. Selim yang telah bersekolah selama delapan bulan itu bercerita bahwa salah seorang guru pernah memintanya untuk melakukan hal yang sama. Membuat gambar dari pensil. Namun, karena saat itu ia lupa untuk membawanya dan tak seorang pun teman sekelas yang mau meminjamkannya pensil, akhirnya dibuatnya lukisan tanpa goresan sebelumnya. Ia membuat truk hijau yang memiliki jendela dalam keadaan terbuka. Sama seperti jendela rumahnya siang itu. Ehsan melepaskan kaus kaki di kaki kiri. Kaki kanannya tak berkaus kaki. Ehsan melepaskan kaus kaki dengan kaki kanan. Ketika kaus kaki itu telah terlepas, digunakannya kaus kaki itu sebagai pengganti kuas yang telah berhasil membuatnya bosan. Ehsan membuat lukisan yang belum pernah tergantung di permukaan dinding rumah yang selalu dibersihkan dengan lap yang sama, setiap pagi, setiap hari. Bahkan, pada hari libur. Permukaan dinding tak lagi putih polos. Setiap corak yang ada di dalamnya, membuat Ehsan lebih bahagia dari sebelumnya. Spidol biru muda kemudian dipilihnya untuk membuat berbagai macam bentuk yang telah berhasil dihafalnya. Lingkaran, segitiga, persegi panjang, dan bintang. Pada menit berikutnya, Zehra Hakan yang rambut dan kepalanya tertutupi kain semi sutra bunga-bunga dan bergaris, tiba-tiba mendengar desingan peluru yang pernah didengarnya pada suatu malam. Ia terbangun dengan kejut yang luar biasa. Desingan peluru itu seperti melintas tepat di lubang telinga yang tertutupi kain. Dengan napas tersengal, Zehra Hakan bertanya ada apa. Air liurnya yang tak terencana, masih tersisa di sudut bibirnya yang dua jam lagi harus segera ia timpa dengan polesan baru yang lebih memukau, segar, dan awet. Perlu waktu beberapa detik hingga akhirnya ia tersadar bahwa suara tembakan peluru yang didengarnya pada malam ketika ia melakukan kesalahan adalah ingatan dari rasa takut yang masih tersisa. Ia telah mengucapkan maaf. Maaf yang lebih dari satu kali. Maaf yang tak bertukar dengan suara dari Nedir Aras yang sangat hafal dengan jadwal suara letusan. Zehra Hakan mendapati dirinya baru saja terbangun dari tidur yang kelak dapat membuatnya kembali harus mendengarkan desingan peluru.   

Lihat selengkapnya