Rintik dan Rincik

Eka Retnosari
Chapter #6

AFiYET OLSUN (SELAMAT MAKAN)

BUKU harian yang biasa ditulisinya telah tiba di halaman terakhir. Kedua anaknya telah bermain tanpa saling mengganggu di ruangan tengah. Ia tergerak untuk mencari pena yang isinya telah tersisa sebanyak dua puluh lima persen dari yang semula ada. Ia menyobek selembar kertas dari buku catatan keuangan yang masih memiliki sepuluh halaman terakhir. Ia menulis sehalaman surat yang ditujukan untuk ibunya yang tak pernah ia ketahui kabarnya dalam satu tahun terakhir. Dalam perjalanannya menuju pena, ia melihat mobil van itu kembali berada di sana. Di bawah pohon yang tidak digantungi oleh satu pun anak-anak tetangga yang tak ia ketahui namanya. Zehra Hakan berlalu dari jendela. “Selim, Ehsan, apakah kalian ingin kue?” tanya Zehra Hakan. Di tangannya, telah ada stoples kue yang dibuatnya sejak pagi. Keduanya menyambut dengan bahagia. Pena biru tipis itu dibawanya ke dalam kamar lalu ditulisinya kertas bergaris itu. Disapanya ibunya dengan kata yang biasa ia ucapkan kepadanya. Surat-surat yang tak akan pernah tiba di kantor pos akan dilipatnya saat ia telah tiba di sebuah titik. Ketika penanya membubuhkan titik, terdengar derung sepeda motor melintas dengan kecepatan tinggi, dengan suara yang memekakkan. Ehsan dan Selim berlari ke arahnya dengan tangan menggenggam kue yang remahannya jatuh ke lantai. Sambil memeluk Ehsan dan Selim, diliriknya pembersih debu di pojok ruangan. Ketika ia menoleh lagi ke jalan, ke bawah pohon yang tak digantungi, mobil van biru itu telah menghilang.  

Mobil van biru dengan burung merpati putih di sudutnya telah tiba di garasi pabrik kain Nedir Aras. Ia terlambat satu jam dari jadwal. Setan-setan itu melintasi jalanan luar jendela untuk memancing penghuni rumah agar mereka mau meninggalkan kursi yang menjadi tempat tinggal mereka selama bertahun-tahun. Rumah yang mereka tinggali, tempat tidur nyaman yang menjadi alas tidur pada malam ataupun tengah hari. Dapur yang biasa mengepulkan makanan yang mereka santap tanpa sisa. Setan-setan yang selalu menjanjikan dan mengiklankan segala janji tentang gemerlap dunia luar. Tentang hal yang tak bisa mereka temukan pada keseharian mereka di rumah. Mereka menertawakan kemampuan mereka menampakkan wajah di jendela atau mengintip melalui lubang kunci, mengawasi bayangan yang muncul di bawah pintu, di cahaya lampu yang menebar, melebar hingga ke dinding rumah yang dilapisi kertas motif berperekat. Sesekali, berkali-kali, mereka akan melintasi pintu rumah atau jendela sekadar memberitahukan aroma parfum yang bisa tercium oleh rongga hidung. Mereka akan memperdengarkan, selebar apa tawa yang bisa mereka hasilkan saat mereka telah berhasil melangkahkan kaki ke luar rumah. Gemerlap lampu di kanan dan kiri jalan. Rumput basah yang disiram secara otomatis setiap pagi pada pukul delapan. Wajah orang-orang tak dikenal yang selalu memiliki bentuk dan warna bibir yang tak sama. Ada seseorang yang memiliki bibir seperti pulau yang rapuh dan hampir kopong. Dengan seoles mentega yang dibawanya dari roti panggang setelah dikudapnya dalam perjalanan dari mesin cuci ke ruang gosok gigi. Dari kaca jendela yang ditutupi tirai, mereka akan melihat bagaimana bahagianya berlompatan di atas jerami yang dijatuhkan oleh sekawanan lelaki yang bertugas untuk memelihara domba-domba dan kuda-kuda yang tak liar. Anak usia Sekolah Dasar yang bahagia dengan sepasang rambut kepang dua, memakai mantel dan syal warna merah, pun terbiasa membawa senter yang akan diperlukannya sewaktu-waktu. Tiba-tiba hari telah malam. Pukul dua belas. Namun, mereka selalu menjanjikan bahwa semua yang dapat dilihat dari balik jendela rumah selalu indah. Pastilah indah. Mereka lupa pada ributnya angin, pada kisaunya dahan, pada segala kemungkinan untuk bisa bertemu dengan retakan salju yang terinjak oleh bobot tubuh yang berlebih. Pada ributnya percakapan sore hari, saat jalanan telah penuh oleh orang-orang yang mengabaikan pendatang dari tempat terjauh yang pernah dijangkau oleh sepasang kaki manusia. Ketika mereka telah berhasil menarik penghuni rumah itu untuk keluar, mereka tak akan mendapatkan apa-apa. Tidak berlembar-lembar uang yang bisa dihitung dalam rekening bank ataupun tepuk membahana di ruang kedap suara yang dipenuhi orang-orang pendamba kartu undangan. Tangan yang semula mereka ayunkan untuk mengajak dan menarik siapa pun untuk ke luar rumah, akan mendadak kembali ke dalam saku baju, mantel, atau jaket. Mereka akan berbalik arah, memunggungi mereka yang terkejut, untuk kemudian berjalan. Menghilang ke mana pun. Saat mereka tersadar bahwa tak ada apa pun di luar sana selain bayangan tubuh mereka sendiri, mereka akan melakukan hal yang sama seperti yang dilakukan oleh orang-orang itu, pengajak itu. Berbalik arah dan mencari siapa pun yang muncul di balik jendela, bayangan yang paling mudah terlihat.   

*  

Lihat selengkapnya