Rintik dan Rincik

Eka Retnosari
Chapter #7

OZUR DiLERiM (MAAF)

SEPULUH tahun yang lalu, Nedir Aras mendapatkan tamparan pertamanya. Tak ada satu pun kasus yang sedang ditangani oleh Mirac Aras. Pada bulan-bulan sebelumnya, ia telah menuai kemenangan dari perkara yang sengaja dibuat untuk mengangkat popularitas seseorang yang menjadi terdakwa. Tamparan di pipi anak ketiganya tak mendatangkan rasa sesal. Nedir Aras naik pitam. Kedua tangannya tak bisa membalas tamparan yang dilayangkan oleh ayahnya. Ia tak mempertanyakan tentang sebab. Mirac Aras memanggil anak pertamanya yang dijadikannya sebagai pembanding. Bahwa ia tak hanya anak yang berbakat. Tapi juga taat, patuh, dan tidak menghadirkan panutan lain dalam hidup selain ayahnya sendiri. "Ia mengikuti setiap kata yang kuucapkan. Ia membaca buku-bukuku. Hanya bukuku," Mirac Aras membelakanginya. Menghadapi tumpukan buku tentang hukum yang telah ia tulis selama hidup. Anak pertamanya yang memiliki wajah paling bersih dan postur tubuh yang sangat membanggakan, berdiri di antara kerah kemeja yang tegak di samping leher yang tak pernah berdaki. Aroma parfum khas lelaki mengingatkan siapa pun pada kesegaran hutan hujan yang memiliki akar pohon, juga batang yang tak pernah kering, tercium hingga jarak terjauh dari pintu masuk ruang kerja yang memiliki pendingin ruangan. Mirac Aras tidak berbohong. Sejak kecil, anak pertamanya selalu melihat ke arah matanya setiap kali ia memintanya untuk duduk demi menyimak kata-kata. Ratusan piagam yang pernah diraihnya, ia letakkan di atas meja kerja. Tidak sekaligus. Karena jumlahnya yang banyak, ia meletakkan beberapa saja. Anak pertamanya yang memiliki rambut halus, rapi, dan garis lurus di samping kanan, baru saja memasuki usia tujuh tahun. Mirac Aras menceritakan dengan sangat lengkap, setiap cerita yang mewakili lembaran piagam. "Saat itu, aku masih berusia dua puluh empat. Mereka tak hanya mengundangku sebagai seseorang yang duduk di bangku pengamat dan pendengar. Mereka memintaku untuk berbicara," kemudian dua jam waktu yang berlalu akan terlalui begitu saja. Anak pertamanya akan melontarkan pertanyaan untuk hal yang tak ia mengerti. Hal yang membutuhkan konfirmasi. Mirac Aras dengan semangat penuh, akan menjelaskan dengan memutar ulang cerita. Bagaikan menyimak ulasan sepak bola di layar kaca, anak pertamanya menyimaknya dengan tanpa melewatkan satu pun kata. Seusainya, anak pertamanya itu turut membantu ayahnya merapikan lembaran piagam penghargaan. Setiap lembar memiliki lapisan pelindung sendiri. Pun ruang untuknya menyimpan. Jumlahnya lebih dari satu album. "Baba, bolehkah aku memasuki kamarku untuk belajar?" tanyanya. "Tentu saja boleh, anakku sayang," Mirac Aras mencium kepala anak pertama sambil mengusapnya dengan penuh cinta. Mirac Aras mengantarkan puteranya ke depan pintu kamar kemudian membiarkannya berkutat dengan buku. Ia memiliki lemari buku yang tak hanya lebar. Ia memiliki ruang yang cukup untuk menampung komik, buku cerita bergambar, yang pada awalnya adalah sebuah perkenalan pertamanya dengan buku. Temanya tak jauh dari kisah tentang trio detektif atau cerita berbau misteri. Ia dapat membaca dengan saksama. Matanya mulai bisa membaca kata demi kata, kalimat demi kalimat sejak usia lima tahun. Ia masih bersekolah di Taman Kanak-kanak. Dibandingkan dengan anak-anaknya yang lain, anak pertamanya menjadi anak pertama yang bisa membedakan cara membaca setiap huruf. Hal itu membuatnya terpukau. Mirac Aras semakin bersemangat membelikan lebih banyak buku. Membeli buku menjadi kegemarannya saat ia bertugas ke luar kota karena suatu lawatan. Atau pada akhir pekan, meski tidak setiap minggu dan setiap bulan. Mirac Aras membolehkan anak pertamanya untuk memilih buku apa pun yang diinginkannya meski tidak semua buku selalu berujung di meja kasir. Hanya beberapa buku saja yang akhirnya tiba dengan selamat di meja belajar. Pada usianya yang tujuh tahun, anak pertamanya telah terbiasa membaca buku cerita dengan jumlah halaman lebih dari seratus. Satu buku dapat dilahapnya selama satu hingga tiga minggu. Pada Minggu sore, jika tak ada jadwal untuk pertemuan, Mirac Aras akan menanyakan apa saja yang dibacanya dari buku-buku itu. Lalu anak pertamanya akan menuturkan dengan kata dan bahasa yang tertata rapi. Kenangan bersama anak pertamanya, kelak menjadi pengalaman pertamanya belajar berbicara. Belajar mengajukan pendapat, juga bertanya. Ketika tiba masanya untuk bersekolah, berbicara dengan bebas, mengeluarkan pendapat tanpa ada rasa takut kepada lawan bicara. Pun kepada guru yang mengajarnya, kepada teman-teman sekelasnya. Ia menduduki kursi pertama, barisan pertama ruang kelas. Kepada teman di samping kanan dan kiri, ia selalu memiliki sempat untuk bertanya. Tentang kabar meskipun sekadar berbasa-basi. Seperti Nedir Aras, ia memiliki tulisan yang rapi. Deretan huruf dan kata yang dicatat dengan tegak, namun tidak tersambung. Mirac Aras selalu memeriksa buku catatannya kapan pun ia memiliki waktu. Lagi-lagi ia terpukau pada kemampuan anaknya dalam membuat catatan. Pada rentang antara pukul sembilan hingga dua belas malam, ia akan membiarkan lampu kamarnya menyala. Anak pertamanya akan dengan sangat tekun melahap kembali catatan-catatan sekolah. Tak heran jika kemudian ia tumbuh menjadi anak yang sukses dengan menorehkan banyak prestasi. Ia menjuarai lomba debat ketika usianya memasuki angka empat belas. Piala pertamanya berlanjut dengan piala-piala berikutnya. Pada akhir usia dua puluh, seluruh dinding kamarnya penuh dengan piala. Piala lomba menggambar, menulis puisi, yang setiap karya yang dihasilkannya ditempelkannya di koridor kamar lantai dua rumah. Puisi dan gambar pemandangan alam serta gedung-gedung bersejarah di kawasan Sultan Ahmet itu dibingkai dengan elok, dengan segiempat warna emas yang terang. Tak hanya itu, anak pertamanya kemudian membawanya menuju lomba-lomba baru yang mengharuskannya untuk berbicara lebih banyak. Untuk mengeluarkan pendapat lebih panjang dari biasanya. Sesekali, diputarnya video orang-orang yang pernah menjadi lawan bicara. Ketika ia masih muda dan berstatus mahasiswa. Dengan kacamata baca yang tak terlalu tebal, di hadapan buku-buku tebal yang membahas tentang hukum pidana dan perdata, ia berbicara. Tentunya dengan mata yang menatap lurus setiap lawan bicara. Saat anak pertamanya dihadapkan pada pilihan, tak ada kegamangan seperti gamang yang tiba di hati Nedir Aras. Ia memilih jurusan yang sama dengan jurusan yang pernah ditempuh oleh ayahnya. Jurusan itu kemudian ditempuhnya selama enam tahun hingga ia lulus dengan gelar sarjana dan master dalam bidang hukum. Ia mendapatkan limpahan kasus pertamanya yang berhasil ditanganinya selama satu setengah tahun. Setelahnya, ia menempuh pendidikan doktor. Orang-orang berdecak kagum dan menepuk punggung Mirac Aras karena berhasil mencetak seseorang yang sangat serupa dengannya. Tak hanya paras dan cara berjalan. Suara, sorot mata, bentuk bibir, dan keberhasilan. Di sudut ruangan, anak ketiganya, Nedir Aras menyimak dengan saksama dan merekam setiap detil percakapan. Ia menghafal dengan sangat baik setiap orang yang berbicara kepada Mirac Aras dan kakak pertamanya. "Tentu saja ia mirip denganku. Ia adalah anakku!" seru Mirac Aras kepada seseorang yang tak henti-hentinya memberikan pujian. Nedir Aras mengusap pipi ketika ia kembali melakukan kesalahan dengan menghilangkan setengah dari modal cadangan yang ia simpan dalam rekening. Aib itu ditutupinya dengan perayaan yang dikaitkan dengan beberapa hari besar. Hari ulang tahun pernikahannya dengan Sebnem Yağmur yang bertepatan dengan ulang tahun cucunya yang adalah anak dari anak pertamanya. Hampir saja kegagalannya dalam memimpin dan mengelola pabrik kain tercium media. Mirac Aras adalah seseorang yang tak pernah berhadapan dengan kegagalan. Maka, tak seorang pun dari anak-anaknya yang harus merasakan kegagalan. Satu kali, ketika Nedir Aras memilih untuk menjadi seorang pengusaha. "Ia memiliki jalannya sendiri," ucap Mirac Aras kepada orang-orang yang bertanya kepadanya.  

*  

Angin paling dingin menerpa wajah. Mobil van itu terhenti di tengah hutan, di samping universitas yang lampu-lampu tepi jalannya tidak menyala. Sama seperti lampu belakang mobil. Zehra Hakan masih terbaring dengan dahaga dan perut yang dilanda rasa lapar. Pohon-pohon setinggi lima puluh tiga meter menjulang, berderet rapi seperti barisan. Terdapat tujuh lampu dengan sinar yang meredup pada dua bola lampu di depan aula yang biasa dijadikan seminar ataupun konferensi. Lima ratus meter dari aula, terdapat gedung asrama yang terdiri atas sembilan belas lantai. Pada masing-masing lantai, terdapat koridor sepanjang lima belas meter dengan pintu kamar berpasangan. Gedung abu-abu, gedung merah muda, dan gedung biru muda. Tidak semua gedung memiliki lampu-lampu yang menyala. Hanya beberapa gedung dan beberapa kamar saja yang nyala lampunya dapat terlihat dari tempatnya berdiri. Salju yang turun selama empat jam, tak membuat lapangan luas di universitas itu menjadi putih. Ia tetap berwarna hijau segar meskipun dingin. Ia tak memakai jaket. Telah lama ia kehilangan kemampuan untuk membedakan rasa dingin. Abai pada hal yang akan menimpa dirinya. Lelaki itu mengusapkan pandangan mata, memastikan tak ada satu pun manusia yang berkeliaran di luar sana. Lolongan anjing terdengar kemudian. Disusul dengan suara serigala, beradu pesan dengan kabutnya malam yang hampir tiba pada angka satu malam. Jalan telah demikian sepi dari kendaraan. Hutan di samping universitas itu lebih mirip dengan hutan yang berderet di Kutub. Rasa dingin tiba-tiba menerkam batang leher. Punggung tangannya mengusap dingin itu, menepis rasa yang hinggap di hati. Letusan senapan terdengar tiga kali dari arah hutan. Lelaki itu menebak, mungkin saja seseorang sedang membidikkan senapan ke salah satu serigala. Membidiknya tepat ke kelopak mata dan tengah perutnya kemudian membawanya ke tengah meja untuk menghadirkannya sebagai sebuah hidangan. Tak ada asrama polisi yang mengelilingi kampus tersebut. Bayangan hitam seorang perempuan terlihat dari arah depan pintu asrama yang memiliki cahaya lampu redup. Paling redup di antara semuanya. Lelaki itu berkacak pinggang. Merasakan perih di perut. Perih paling dalam dari yang pernah ia rasakan. Dari kejauhan, lelaki itu dapat melihat Istanbul yang semula gemerlap. Perlahan, satu persatu lampu itu redup. Nyalanya tidak seterang seperti ketika pertama kali melihatnya. Dalam waktu yang nyaris bersamaan, lampu-lampu itu padam satu persatu sehingga Istanbul benar-benar menyerupai malam. Di samping kiri gemerlapnya lampu, terdapat danau yang tak lagi sering diperbincangkan oleh orang-orang. Biasanya, tiap akhir minggu, sebagian penduduk Istanbul akan pergi ke sana untuk berakhir pekan. Membuat roti atau memanggang paha ayam sambil menerbangkan balon gas ke udara. Hidungnya menangkap aroma kotoran manusia yang membusuk. Perutnya terasa mual. Berpadu dengan perihnya rasa lapar. Lelaki itu muntah. Ia memuntahkan air minum yang ditenggak dari botol yang tak pernah sampai kepada Zehra Hakan. Kembali ia mendengar letusan senapan dengan jarak yang begitu dekat. Suaranya terdengar seperti serangan bertubi. Ia mengeluarkan telepon genggam untuk menghubungi Nedir Aras. Ia ingin mengonfirmasi apakah Nedir Aras telah bisa mentransfer uang sejumlah satu juta dari yang dimintanya. Namun, panggilannya tak berujung dengan jawaban. Tak ada sinyal yang mampir di telepon genggam. Tak ada suara yang terdengar di telinga. Truk penggiling semen melintas dengan sangat lambat. Lelaki itu menatap truk itu hingga ia menghilang di bahu jalan. Ia memikirkan langkah selanjutnya. Dilongoknya Zehra Hakan yang masih terbujur dalam diam. Diam-diam ia mempertanyakan segala hal yang membuatnya diam. Ia mempertanyakan apakah perempuan itu dapat berbicara dengan Nedir Aras. Dengan kata dan bahasa apa mereka berbicara. Seperti apa suara mereka saat berada di kamar tidur. Apakah mereka memiliki anak. Bagaimana bisa mereka memiliki anak. Lelaki itu memuntahkan isi perutnya sekali lagi. Setelahnya, ia merasa kepalanya berputar. Hampir saja ia jatuh pingsan.  

Lihat selengkapnya