Pernahkah kau berpikir tentang hancur dan berakhirnya sebuah kehidupan di bumi?
Selia pernah memikirkan hal itu. Pertama kali hal itu terlintas di otaknya adalah ketika para kakak kelas melabraknya hanya karena ia tak sengaja menyenggol lengan salah satu dari teman mereka. Tidak ada alasan jelas, kakak kelas itu hanya bilang bahwa Selia sangat angkuh dan sok cantik. Selia bahkan tak pernah sekalipun berlagak di hadapan siapa-siapa dan ia tak habis pikir dari mana pemikiran itu bisa hidup di dalam kepala kakak kelas tersebut.
Namanya memuncak sejak perkelahian itu terutama karena ia melawan balik. Efeknya, Selia dikucilkan, tak pernah ada yang berani berteman dengannya, dan ia terus-terusan mendapat tekanan dari para kakak kelas yang tak menyukainya.
Saat itu ia merasa bahwa dunia lebih baik berakhir saja, mungkin kedatangan Alien yang menghancurkan bumi akan terasa lebih baik, atau bencana alam yang mampu menewaskannya dalam sekejap.
Ia berharap bahwa hal-hal seberat itu bisa membawanya pada sebuah kecelakaan tragis yang mampu merenggut nyawanya.
Namun Selia bertahan.
Kali keduanya adalah ketika ia masih duduk di kelas 10 tahun lalu. Saat ia memutuskan untuk memperbaiki segalanya, mulai berteman baik dengan siapa pun di SMA dan malah berakhir dikhianati, dipermalukan di depan umum, dan lagi-lagi memberinya rumor buruk yang membuat semua orang memandang rendah dirinya.
Saras dan Devan adalah orang pertama yang membelanya mati-matian. Hanya mereka berdua, bahkan ketika semua orang mempertanyakan mengapa Saras dan Devan harus sepeduli itu padanya, mereka tidaklah ragu untuk memaki orang-orang yang menyepelekan Selia.
Selia tak lagi pernah memikirkan bagaimana jadinya jika dunia berakhir setelah memiliki dua sahabat seperti Saras dan Devan. Ia merasa hidupnya telah cukup baik, dunianya sudah cukup adil untuk ditinggali.
Namun ... kini semua sudah berakhir.
Ada bunyi puluhan gelembung yang pecah dan disusul dengan suara desing sebelum akhirnya Selia berhasil membuka mata. Gadis itu memandang sekeliling, ada banyak orang tertidur di lapangan dengan gelembung yang mengurung tubuh mereka, semua pepohonan, semak-semak, hingga atap bangunan berwarna hitam, seperti sedang dilapisi salju hitam.
Satu buah gelembung pecah tak jauh di hadapannya.
Gadis itu mencoba beranjak berdiri saat matanya menangkap sesosok manusia yang kini berjalan ke arah murid yang baru saja bangun itu. Selia tak pernah ingat mereka punya murid laki-laki dengan rambut putih layaknya kapas seperti itu. Seluruh bagian kaki dan tangannya berwarna hitam pekat dengan kuku panjang yang tajam, ada beberapa bunga berwarna merah menempel di bahunya, juga mata yang kini sepenuhnya berwarna hitam.
Makhluk itu menghampiri murid yang baru saja bangun, mencengkeram bahunya, dan ... “Apa—“ Mata Selia menyaksikan sendiri bagaimana makhluk berambut putih itu menggigit tengkuk anak tersebut, mengoyak kulitnya dan menelannya. Makhluk itu melakukannya berkali-kali, hingga anak yang ada dalam cengkeramannya itu tak lagi mampu bergerak.