Rintik Hujan dan Asap Kopi

Tianaqila
Chapter #1

1-Rintik Hujan

***

Rintik hujan, bagiku adalah sebuah kesenangan. Melihat tetes demi tetes air hujan yang jatuh ke tanah, wangi yang tiada habisnya, dan suara-suara merdu yang terdengar syahdu. Sungguh membuat hatiku damai. Begitu indah memanjakan indra manusia. Dan aku adalah salah satu manusia itu.

**

Kalimat itu ditulis Rininta pada aplikasi memo di ponselnya. Sedari tadi ia bosan menunggu hujan yang tidak hentinya mengguyur sore itu, hingga membuatnya terjebak di tepi jalan di depan sebuah cafe entah bermenukan apa saja. Ia hanya berdiri disana. Tubuhnya sedikit menggigil karena kebasahan sewaktu pulang sekolah 1 jam yang lalu. Satu-satunya tempat untuknya bernaung adalah cafe itu, C’Coffee Shop.

Rininta Reinassen punya kehidupan sendiri bersama rintik hujan yang ia nikmati dan resapi. Ia tidak peduli bahkan ketika hujan berganti akan timbul pelangi. Ia hanya peduli pada tetesan air yang turun perlahan dari gumpalan awan hitam. Baginya setiap rintikan hujan itu seperti sebuah partitur musik yang menimbulkan harmoni yang indah dan memberi kesan damai di hati. Dunianya telah sempurna dengan kesendirian dan diam.

"Hei, kamu Rininta kan?"

Rininta menoleh. Ia sedikit terkejut mendapati seorang pria jangkung berdiri disampingnya. Wajahnya seperti tidak asing dilihat. Cukup tampan dengan sebuah lesung pipi di sebelah kiri. Senyumnya mengembang, tapi sayang Rin tetap memasang raut datar tanpa ekspresi.

 

"Kamu itu Rininta yang sering nulis puisi di mading sekolah, kan?" Pria jangkung itu bertanya sekali lagi yang kali ini benar-benar membuat Rininta terkejut bukan main.

 

Siapa dia sebenarnya? Apa teman satu sekolah dengannya?

 

Rininta menggeleng cepat, Tidak. Rin jadi merasa tidak nyaman berada disana. Karena perasaan tersebut terus menggelayuti batinnya, ia pun bermaksud untuk pergi dari sana dan jalan satu-satunya adalah menembus hujan. Asal tahu saja, Rin sebenarnya tidak ingin terlalu berlama-lama dengan orang asing yang tidak dikenal, mungkin belum dikenal.

Pandangan Rin menatap tetes-tetes air yang semakin turun cepat, seperti air terjun di pegunungan. Sejenak ia menelan ludah, tak yakin pada keputusannya untuk menerobos hujan sebab ia sama sekali tidak membawa atribut pelindung hujan, payung contohnya. Kaki Rin nampak bergeser seakan hendak melangkah dari pijakan semula, sejurus dengan itu sebuah tangan menahannya.

Iya, tangan pria itu mencegah kepergian Rininta, menahannya untuk tetap tinggal. "Mau kemana? Lagi hujan deras." Tanya pria itu sekaligus memberitahu.

 

Rin menggigit bibir. Bimbang yang dirasakannya berlipat, pertama karena tidak memiliki jalan lain untuk tetap tinggal, dan yang kedua ia merasa risih dengan tangan pria itu belum juga terlepas dari tangannya. Dengan gerakan pelan, Rin pun mencoba melepaskan tangan dari pria itu, agak sedikit menyentaknya. Namun, syukurlah pria itu mengerti.

Lihat selengkapnya