***
Keesokan harinya diwaktu matahari tidak tampak di langit timur. Awan kelabu terus menutupi sinarnya. Sepertinya beberapa waktu lagi hujan akan turun, tetapi tidak tau kapan pastinya. Rin sudah bersiap dengan seragam putih abu-abu khas sekolah negeri ditambah dasi dan tas ransel yang menyampir di pundak. Sebelum berangkat ke sekolah, Rin tak lupa berpamitan dengan Bunda.
"Rin berangkat ya, Bun." Ujarnya sambil menyalami tangan Bunda. Kemudian Bunda mengantarkan sampai ke depan rumah, tidak lupa pula memberikan nasihat. "Kalau hujan berteduh ya, Rin. Jangan main-main di bawah hujan." Bunda memperingati. Rin hanya mengiyakan.
Setiap hari Rin berjalan kaki ke sekolah, padahal jarak antara rumah dan sekolah cukup jauh, dan bisa menghabiskan waktu 25 menit untuk jalan kaki. Beberapa kali bunda menawarkan agar Rin membeli sepeda atau sepeda motor sebagai alat transportasi pribadi, namun setiap penawaran bunda dibantah dengan sebuah alasan klasik, ‘Berjalan kaki membuat lebih sehat dan tidak menambah polusi di atmosfer bumi.’
Suasana sekolah sudah ramai dipenuhi oleh siswa-siswi yang baru datang. Maklum, sudah pukul. 07:25. 5 menit lagi lonceng sekolah akan berbunyi pertanda pelajaran akan dimulai. Rin berjalan santai melewati halaman sekolah yang cukup luas itu.
SMA Cendekia, tempat dimana Rin mengenyam pendidikan sejak dua tahun lalu merupakan salah satu sekolah ternama di kota tempat tinggalnya. Sekolah yang dijadikan wadah mengenyam pendidikan oleh semua kalangan, miskin sampai kaya, beasiswa sampai membayar iuran dengan jumlah tak terkira. SMA Cendekia bagi sebagian kalangan dikenal memiliki citra gemilang karena menghasilkan lulusan berprestasi dan mampu diterima di seluruh perguruan tinggi Indonesia. Mungkin karena alasan itulah Bunda mendaftarkan Rin untuk bersekolah disana, berharap anak gadisnya menjadi salah satu siswa berprestasi yang dapat dibanggakan oleh keluarga.
Tiba-tiba seseorang memanggil namanya dari belakang. "Rininta" kata suara itu. Sontak Rin yang merasa namanya terpanggil berhenti sejenak, lalu menoleh ke belakang. Gadis itu terkesiap mendapati seorang pria berlari kecil ke arahnya. Saat berhasil menyejajari posisi Rin berada, pria itu berhenti dan menyapanya. "Selamat pagi, Rin.." Senyum mengembang, tatapannyan nampak ramah..
Rin terpaku di tempat, sedikit keheranan melihat pria itu menyapanya dengan ramah. Menurutnya baru kali ini ada orang yang bersikap ramah padanya dan tidak menganggapnya orang yang sombong karena tidak banyak bicara. Sikap orang itu seperti sudah kenal lama dengannya, sejenis teman dekat atau sahabat.
Rin membalas dengan sebuah anggukan. Ia pun bergegas pergi meninggalkan pria itu. Rin terus berjalan dengan semua fokus yang dimiliki, berharap semoga pria itu tidak mengejarnya. Juga menjauhkan segala pikiran yang mengkhwatirkan bagaimana tanggapan pria itu yang telah ia tinggalkan, sendirian pula. Namun, rasa penasarannya terus memuncak sampai ke ubun-ubun hingga tanpa sadar ia menoleh ke belakang.
Halaman sekolah dimana ia berjumpa dengan seorang pria yang menghampirinya sudah nampak lengang dan kosong. Batang hidung pria itu sudak tidak terlihat lagi. Kini dari halaman luas itu hanya terlihat para siswa dan siswi yang baru datang dari gerbang.
‘Syukurlah’ batin Rin seraya menghela napas lega. Kecemasannya tidak menjadi kenyataan. Sepertinya pria itu juga segera berlalu pergi setelah ditinggalkan tanpa pamit oleh Rin. Menyadari hal itu, Rin pun kembali melanjutkan langkahnya menuju kelas di ujung lorong.
***
CAKRA POV:
Rininta Reinassen. Begitu namanya tertulis di atas saku seragam putih abu-abu. Gadis manis yang irit bicara. Bahkan saya pun yang teman satu klub literasi tidak pernah diajak berbicara olehnya. Ia terlalu pendiam hingga tidak memiliki teman. Semua orang menganggapnya aneh, bahkan ia dilabeli dengan nama "Si Bisu dalam rintik hujan." Mengapa dijuluki demikian? Karena semua puisi yang ia tulis menggunakan nama pena 'Rintik_Hujan'.
Tapi jangan salah, bagi saya Rininta memiliki kelebihan yang istimewa. Ia adalah seorang penulis puisi handal. Hampir setiap puisi yang ditulisnya selalu ditempel di mading sebagai karya siswi terbaik di sekolah. Yang saya tahu semua siswa yang mengemari dunia literasi mengidolakan dirinya, bahkan banyak siswa baru yang ingin menjadi anggota klub literasi agar bisa berguru dengannya. Namun, setelah mereka tahu siapa penulis puisi-puisi itu, mereka seakan tersadar dari hipnotis dan mulai membicarakan sikap Rininta yang agak sombong dan acuh pada orang lain. Tapi, sebenarnya Rininta adalah gadis baik walaupun tidak diketahui semua orang.