***
Rimba baru keluar melewati pintu gerbang bersamaan dengan siswa di SMA Cendekia yang telah mengakhiri pelajaran hari itu. Rimba yang tengah asyik bercengkrama dengan temannya, mendadak diam-menghentikan pembicaraan sebab disaat itu ada seorang teman Rimba yang bernama Ghandi berujar kepadanya, “Rim, itu orang yang ngalahin lo waktu olimpiade akuntansi, kan?” Ghandi menunjuk pada salah satu siswa Cendekia yang berperawakan tinggi dan tampak tak asing dimata Rimba.
Siswa yang dimaksud oleh Ghandi itu terlihat baru menuruni tangga gedung depan, dengan gaya santainya bersama kedua siswa lain yang saling merangkul. Mereka bercengkrama sesaat, namun saat hendak melalui kantin, tiba-tiba sosok yang ditunjuk Ghandi tersebut berhenti melangkah. Pandangannya mengarah pada seorang siswi yang melintas persis di depannya. Kepala siswi tersebut terlihat menunduk, terfokus melihat jalanan yang ditapaki oleh sepatunya.
Rimba pun mengalihkan pandangan ke arah yang ditunjuk, lalu mengangguk membenarkan ucapan Ghandi. Benar, jika lelaki itu yang menjadi rivalnya dalam hal kejeniusan, serta semua perlombaan yang pernah diikuti oleh Rimba. Karena orang itu pula, Rimba nyaris tidak pernah mendapatkan juara pertama jika musuhnya adalah dia. Dia selalu menjadi bayangan kemanapun Rimba ada. Dia seperti cermin, namun pantulan dan auranya lebih hebat dari dirinya sendiri. Dialah... Cakrawala Jingga.
Rimba yang semula biasa saja melihat kemunculan Cakra. Ya, hanya sedikit mendengus karena teringat luka yang tidak pernah sembuh karena kekalahan. Namun, sorot matanya perlahan berubah menjadi kejengkelan saat melihat Cakra berusaha untuk mengejar seorang siswi yang mengenakan tas ransel abu-abu bertulisan rintik hujan. Matanya menyipit, menelisik lebih rinci pada keduanya.
Dalam beberapa detik Cakra dan gadis itu seperti terlibat pembicaraan, dan itu membuat amarah Rimba semakin memuncak. Mereka terlihat cukup dekat. Walaupun gadis itu hanya sesekali menatap lawan bicaranya, lebih sering menunduk. Namun, Cakra sepertinya ingin memberitahukan sesuatu kepada gadis itu, hingga akhirnya ia menganggukan kepala. Seusai mengakhiri pembicaraan, keduanya pun berpisah, Gadis itu lebih dulu meninggalkan Cakra menuju seberang jalan, pulang. Sementara Cakra, selama beberapa saat ia masih setia merelakan punggung sang gadis yang kian menjauh, namun dua siswa lain yang bersama dengannya menghampirinya lagi, merangkul bahunya dan berjalan ke arah parkiran.
“Woi, Rim. Lo napa bengong gitu? Kesambet baru tau rasa.” Ujar Ghandi sembari menepuk pundak Rimba. Lantas Rimba tersadar dari lamunannya dan menaikkan bahu.
“Gue cuma gak habis pikir, gimana seorang cupu kaya Cakra bisa lebih terkenal daripada gue.” Tutur Rimba yang mendapat anggukan setuju oleh teman-temannya.
“Gak usah dipikirin lah, Rim. Gue yakin perlombaan bulan depan, lo pasti yang jadi juaranya. Dan lo bisa lebih terkenal daripada si cupu itu.” Ujar siswa dengan ransel yang disampirkan di pundak itu secara yakin. Dia bernama Remi.
“Supaya dapetin si Chika juga. Ya kan Rim?” Sahut Gandhi dan siswa lain ber-badge name Laos berbarengan.
Rimba hanya menampilkan smirk di sudut bibirnya. Teman-temannya itu ternyata sangat tau tentang dirinya, juga tentang tujuan mengapa ingin sekali mengalahkan Cakra, yaitu Chika Emelda-siswi cantik dan jenius dari kelas 12 IPA-1. Siswi terjenius dari kelas IPA, dan sering terlibat dalam berbagai perlombaan yang mengharumkan nama sekolah. Tebak saja siapa yang sering disandingkan dengannya. Tidak lain tidak bukan adalah Cakra.
Sesaat keempatnya bersorak, lalu saling ber-tos ria. Ketiga sahabat Rimba memang sangat mengerti dengannya, terutama rasa ketertarikannya pada Chika. Juga rasa kesalnya pada Cakra yang selalu di-idolakan berdampingan dengan gadis pujaannya. Pastilah Rimba ingin menyingkirkan posisi Cakra di segala aspek, dengan berbagai cara yang tidak jarang membuat tercengang.
“Terus, kita makan dimana?” Gandhi membuka suara.