---
Jujur, Cakra pun sebenarnya sudah sangat lapar. Perutnya pun sudah berbunyi sekian kali sejak beberapa menit lalu. Iya, sebelum ia melihat Rin didorong dengan sengaja sampai tersungkur oleh beberapa siswa yang berasal dari kelas yang sama. Segera saja Cakra berlari secepat kilat dari lorong kelas di lantai 2 menuju titik Rin berada. Ada sebuah dorongan yang membuat perasaannya sedih melihat gadis itu diperlakukan semena-mena, hanya karena dia tidak bisa melawan. Ingin rasanya ia melakukan hal yang sama pada kelima siswa itu, tapi ia sadar bahwa sekarang ia berada di lingkungan sekolah, tentu tidak ingin perbuatannya tersebut harus dipermasalahkan di depan Bu Mala. Duh, pasti kacau ...
Degup jantungnya terus berpacu cepat tadi, mengkhawatirkan kondisi Rin. Apakah gadis itu terluka? Apakah gadis itu baik-baik saja? Dan syukurlah, setelah ia tiba di depan Rin, melihat kondisinya tidak ada terjadi suatu hal yang serius. Ia pun bisa menghembuskan napas selega mungkin. Pikirannya kepalang dipenuhi oleh rasa khawatir sampai bisa mengalahkan rasa lapar di perutnya yang kian bergejolak. Semua rasa laparnya sirna seketika. Hanya dengan melihat Rin, menatap netranya yang sendu, namun berbicara banyak hal. Dari netra coklat muda itu, Seolah-olah Cakra bisa mengerti maksud dalam pikiran Rin, tanpa perlu ia ucapkan sama sekali. Apakah mungkin hal itu yang dinamakan telepati? Telepati pengikat hati, mungkin.
“CAKRAAA” Mika dan Anggar bersamaan menepuk pundak Cakra, berusaha menyadarkan lelaki itu dari awang-awang yang tengah naik menuju langit ketujuh.
“Apaan?” Cakra merasa agak kesal atas tingkah keduanya.
“Jadi makan gak, kita lapar!” Sekali lagi Anggar menepuk perutnya. “Dan haus.” Sambung Mika.
Cakra mengangguk, “Jadi...” Jeda. “Tapi, gue antarin buku ini dulu ke perpus. Nanti gue nyusul.” Katanya, dan segera melenggang pergi menuju gedung paling depan dari bangunan SMA Cendekia. Ia baru sadar jika masih memegang buku milik Rin, dan ia pun harus mengembalikan kepada pemiliknya kan, siapa tau perlu?
Keduanya lantas melongo, kemudian saling melemparkan wajah bingung satu sama lain. Hanya sebentar, sebab setelahnya suara perut mereka kembali berbunyi nyaring.
Mika yang menyadari laparnya perut yang semakin menjadi, lantas berjalan mendahului Anggar, ke arah kantin. “Kantin, Gar!” Ajaknya.
“Woii Cakra! Lo mau makan apa?” Anggar berteriak pada Cakra yang sudah jauh didepannya. Ia pikir Cakra tidak akan mendengar, namun ternyata Cakra malah berbalik, lalu berucap, “Kaya biasa, ketoprak.” Suara Cakra tidak kalah menggelegar, sampai beberapa siswa mengalihkan perhatian pada keduanya, Anggar dan Cakra yang bersikap seperti tengah berada di hutan rimba-berteriak semaunya. Tanpa peduli wibawa dan rasa malu di diri mereka.
Mika yang mendengar teriakan tarzan mereka, sempat berhenti sebentar, lalu berlanjut jalan karena rasa malu yang masih dimilikinya karena sudi berteman dengan Anggar dan Cakra yang lebih tepat dibilang Tarzan sekolahan.
--
Rin menumpukan seluruh buku tebalnya pada tubuh bagian kiri-seperti mendekapnya, sementara tangan kanannya hendak meraih gagang pintu gedung perpustakaan. Namun, tindakannya didahului oleh sebuah tangan yang lebih besar, lebih dulu mendorong gagang pintu tersebut hingga pintu terbuka.
“Silakan masuk duluan!” Perintah orang yang telah membukakan pintu untuk Rin.
Netra Rin menelusuri siapakah gerangan orang itu, dari lengan sampai wajahnya dengan senyum lebar. Beberapa detik wajah itu tidak terlihat dengan jelas akibat daya pantul sinar matahari yang menembus pada kaca lalu menuju pada wajah orang itu. Hingga sinar itu meredup perlahan seiring awan yang menutupi sang raja siang, maka terbentuklah wajah itu dengan sempurna. Wajah seseorang yang baru dilihatnya beberapa saat lalu. Tanpa disadari, kedua netra mereka bertemu di satu titik, hingga keduanya terdiam seolah waktu berhenti berputar.
“Cakra?”