Rintik Hujan dan Asap Kopi

Tianaqila
Chapter #9

9-Indra Keempat

***

Rin diberikan hadiah sepeda oleh Bunda. Sepeda berwarna hijau dengan keranjang di depan. Awalnya Rin menolak, namun bunda bersikeras memberikannya agar Rin tidak berjalan kaki terus ke sekolah. Bunda sebenarnya tidak tega kepada Rin, karena di hari ulang tahunnya, Rimba dibelikan sebuah sepeda motor versi terbaru oleh Ayah, sementara Rin tidak diberikan apa-apa. Bunda sengaja menyisihkan uang belanja dan hasil dari berjualan kue yang dititipkan di toko kue tetangga, khusus untuk membelikan Rin sepeda.

Sejak hari itu, Rin menggunakan sepeda untuk kemanapun. Kota yang ditinggali oleh Rin juga sangat ramah terhadap para pesepeda ataupun pejalan kaki, sehingga tidak perlu khawatir dalam masalah berkendara di jalan.

Cakra yang setiap hari selalu menyapa Rin ketika gadis itu lewat di depan kafenya, beberapa hari kemudian malah tidak menjumpai Rin. Ia pun mencari tahu mengapa Rin tidak muncul di depan kafenya setiap pulang sekolah. Setelah dicari tahu yang ternyata Rin telah menggunakan sepeda untuk pergi dan pulang sekolah, kemungkinan Cakra melewatkan dan tidak melihat ketika Rin melintas di depan cafenya. Semenjak saat itu, Cakra malah ikut menggunakan sepeda ke sekolah dan meninggalkan motor sport yang selalu dibanggakan olehnya. Ia beralasan kepada para sahabatnya jika bersepeda adalah salah satu cara peduli terhadap lingkungan, padahal hanya alasan agar bisa membersamai Rin dan berkesempatan mengajak gadis "bisu dalam rintik hujan" itu mau berbicara padanya. Ya, paling tidak menanggapi ucapan Cakra, bisa dengan anggukan atau gelengan, meskipun tanpa senyuman.

--

Kring... kring...

Bunyi lonceng sepeda itu terus bergemuruh tak henti persis di belakang Rin yang tengah bersepeda menuju jalan pulang. Sejenak Rin hanya mengacuhkan bunyi sepeda itu, namun entah mengapa ia merasa jika pengendara sepeda di belakangnya malah mengikuti kemanapun ia pergi. Saat ia berbelok arah ke toko buku, bunyi sepeda itu masih terdengar, pun ketika ia memilih jalur sempit untuk memintas jalan bunyi itu lagi-lagi terdengar.

Rin mulai merasa takut jikalau pengendara sepeda itu adalah orang jahat yang hendak mencelakainya, jadi ia berusaha untuk mempercepat kayuhan sepeda secepat yang ia bisa. Ia memfokuskan pikiran untuk semakin mempercepat laju sepeda ketika rumahnya sudah tampak di ujung pandangan. Sembari merapal doa-doa penyelamat dalam hati, Rin mengutuki kenapa pesepeda itu masih terus mengikutinya hingga kini. Bukankah ia tidak memiliki apa-apa untuk diambil, apalagi ia tidak pernah merasa memiliki masalah dengan orang lain yang mampu menyebabkan pembalasan dendam. Selama ini ia berperilaku sangat baik pada semua orang, tidak pernah berperilaku kasar dan menyakiti orang lain, begitu keyakinannya.

Kayuhan sepeda Rin perlahan melambat seiring jarak yang mendekat pada tempat tinggalnya. Tangannya mulai menarik rem untuk mengurangi kecepatan sepedanya yang tidak biasa. Ketika persis sampai di depan pagar rumah, tiba-tiba saja seseorang dari belakang menepuk pundaknya. Rin mendadak tercekat napasnya. Pikiran ketakutan langsung menyergap otak dan batin Rin. 'Tuhan selamatkan aku dari orang jahat.'

"Rin..."

Suara panggilan itu terdengar lembut namun tidak asing di telinga Rin. Seperti suara laki-laki pemilik cafe di depan kompleks, juga sang mentor yang sudah lama tidak ditemuinya, lelaki itu bernama...

Lihat selengkapnya