Rintik Hujan dan Asap Kopi

Tianaqila
Chapter #20

20-Oasis

***

Kepulangan Rin dengan niat berlibur, dikacaukan oleh kedatangan ayah yang tiba-tiba. Disaat yang bersamaan juga, Rimba mengambil jatah liburan dari kuliahnya di Semarang. Lengkap sudah mood Rin yang sedang buruk menjadi tidak karuan.

 Di hari minggu yang seharusnya dijalani dengan keriangan dan canda tawa, ternoda oleh pertengkaran ringan antara Rin dan Rimba. Rimba baru menyadari ada banyak perubahan yang dialami oleh Rin, salah satunya adalah sikapnya yang dulu sering mengalah dalam hal yang sepele berubah menjadi tidak penurut nan pembangkang. Rin yang lebih dulu sampai di toilet untuk mandi diserobot oleh Rimba yang egois memakai kamar mandi tanpa rasa bersalah.

Awalnya Rin memaklumi, namun kata makian dari Rimba sungguh menusuk hatinya. Rimba tega menyebut Rin sebagai anak narapidana dan menyebut jika di rumah ini yang berkuasa adalah dirinya karena Rin dan ibunya hanya menumpang tinggal disana.

Refleks Rin menampar pipi Rimba. Pengendalian emosi dan ketenangan psikologis yang ia praktikan selama dua tahun berkuliah di jurusan psikologi seakan sia-sia. Emosi Rin meluap-luap begitupun dengan Rimba. Keduanya adu pukul, hingga tak sengaja Bunda yang berusaha melerai terkena tonjokan keras dari Rimba. Wanita paruh baya itupun tersungkur ke lantai. Suasana sangat kacau saat itu, apalagi ayah yang melihat semuanya berteriak marah, sementara Rima menangis sesenggukan seraya membantu sang ibu untuk bangun.

Ayah mengumpulkan semua di ruang keluarga. Rimba masih terus mencacu Rin dengan sikap angkuhnya yang menyebalkan. Pun dengan Rin yang tidak mau kalah dengan argumennya untuk membela diri. Rin tidak habis pikir mengapa sikap Rimba semakin menjadi-jadi bahkan setelah pertengkaran besar 2 tahun lalu. Ia kira Rimba akan berubah kian dewasa, tetapi apa yang terjadi, Rimba malah berkembang jadi kurang ajar. Begitu pikir Rin.

"Lo tuh bukan siapa-siapa Rin. Cuma cewek bodoh yang gak guna. Bokap lo aja di penjara gara-gara penipuan, pantas anaknya kaya lo." Rimba mendecih, meras menang telak atas perkataannya yang merendahkan Rin.

Kepalan tangan Rin tergenggam erat mendengar cemoohan tak pantas dari mulut Rimba. Hatinya panas membara. Amarahnya sudah mendidih sampai ke ubun-ubu yang tinggal menunggu waktu untuk mengeluarkan bara panas. Kalau saja Bunda dan Rima tidak menahan kedua sisi tangannya, pastilah sebuah tonjolkan keras sudah melayang di wajah Rimba.

Lihat selengkapnya